Minggu, 17 Mei 2015

ESAI SASTRA PERTAMA DI HARIAN MEDAN BISNIS


Setelah melalui perjuangan berliku, maka esai pertamaku ini terbit pada hari minggu 17 Mei 2015 di Rubrik Art And Culture Harian Medan Bisnis. Esaiku ini merupakan respon terhadap esai mas Zulfaisal Putera pada tanggal 18 Januari 2015 di Harian Banjarmasin Post Kalimantan Selatan, yang juga merupakan Redaktur Sastra Harian tersebut. Inilah Esaiku tersebut



ANGKATAN YANG LALAI MENULISKAN DAN MELAWAN ZAMANNYA
Oleh Bresman Marpaung


Pada Tanggal 18 Januari 2015 lalu saya tergelitik membaca sebuah esai seorang kawan. Inti esai beliau bagaimana pujangga dibedakan zamannya sehingga disebut Pujangga Lama, Pujangga Baru dan membuka kemungkinan sebutan Pujangga modern. Rasa tergelitik itu membuatku menelisik kembali periode kesusastraan Indonesia pada salah satu situs dan beberapa buku sastra. Kutemukan  catatan bahwa sampai  saat ini  periodesasi/pembagian zaman kesusastraan Indonesia dapat disenaraikan antara lain menjadi Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945,  Angkatan 1950-1960 an, Angkatan 1966-1970-an, Angkatan 1980-1990 an, Angkatan Reformasi, Angkatan 2000-an. Tergelitik juga saya menyimpulkan bahwa dari pujangga lama sampai dengan Angkatan 1966-1970 an. tulisan-tulisan sastra yang dihasilkan masih senafas dengan suasana kebatinan saat itu. para pujangga yang setuju dengan kondisi zaman itu telah menuliskan karya yang memuji dan memuja zamannya. Yang muak dengan kondisi zaman juga telah mengungkapkan  kritikan dan perlawanan melalui prosa atau puisi.  
Setelah angkatan 1945 atau lebih sering disebut Angkatan 45 masih ada 4 Angkatan yang terkena latah menyebut zamannya hanya dengan tahun numerik bukan dengan sebutan tematik alphabetic kecuali satu angkatan setelah zaman kemerdekaan. Padahal ada periode yang sangat khas dengan suasana kebatinan mengental pada periode 1950 sampai dengan 1990: Semangat perlawanan terhadap rejim Orde Lama hingga ke rejim Orde Baru. Mudah-mudahan ini suatu kebetulan bukan karena ketakutan atau kegamangan para pemrakarsa menegaskan tematik yang disuarakan angkatan tersebut.
 Angkatan Pujangga lama dengan karya-karya berbudi halus berupa pantun, syair atau gurindam memang sepadan dengan suasana kebatinan saat itu yang sangat dipengaruhi perkembangan Agama Islam sehingga ciri-ciri karya pun mayoritas bernafaskan keimanan walaupun tidak disebut Angkatan Sufi atau Angkatan Tassawuf.
Lalu pada periode 1870-1942 dikenal dengan istilah Angkatan Sastra Melayu Lama yang menjalar di pulau Sumatera khususnya kalangan Tionghoa dan Indo. Nama Angkatan ini masih dapat diterima dengan logika keilmuan karena memang Melayu  terhampar di pantai Timur Pulau Sumatera bahkan sampai melahirkan ungkapan ‘Takkan Melayu Hilang di Bumi’. Sementara  di pusat-pusat kota negeri di pulau Sumatera banyak Tionghoa dan  dan Belanda  menguasai peradaban. Bahkan tumbuh subur tabiat para Belanda mengawini  dara pribumi yang disebut Nyai. Cerita dan puisi yang berkembang saat itu pun memang sesuai dengan zamannya. Zaman kehidupan asmara para Nyai, zaman kehidupan Tuan Tanah Belanda yang tak sedikit menelantarkan para Nyai, zaman berahi yang mencari kepuasan, yang ditandai munculnya sastra peranakan dari penulis-penulis tionghoa.
Demikian halnya dengan Angkatan Balai Pustaka yang menurut Sarwadi (1999) awalnya merupakan sebuah penerbitan yang didirikan pemerintah kolonial untuk mencitrakan diri sebagai pemerintah berhati mulia. Tapi  para redakturnya pada awal penerbitan sungguh manusia yang jujur terhadap suasana kebatinan saat itu sehingga meskipun terkesan bersekutu dengan paham kolonialis tetap berani meloloskan karya pujangga yang memuat potret  perlawanan menuju bebasan.  Muncullah para pujangga yang setia sebagai pengamat dan pengawas zaman bahkan mampu menancapkan puncak dominasi pujangga dari  Pulau Sumatera  khususnya Sumatera Barat dan Sumatera Utara  dengan tokoh legendaris  Marah Rusli sehingga Angkatan ini disebut juga Angkatan Siti Nurbaya, di samping pujangga lain seperti , Armyn Pane, Nur  Sutan Iskandar, Muhammad Kasim, Abdul Muis dan lain-lain. Ya, angkatan ini angkatan yang melakukan  pemberontakan terhadap kawin paksa, perjodohan dan kekolotan. Ketika pemerintah kolonial mencermati semangat melawan kekolotan sudah mulai berkembang menjadi semangat kebangsaan dari satu dua tulisan yang diloloskan redaktur sehingga masyarakat mulai pintar mencari kawan, maka tekanan politik kolonial melalui  Balai Pustaka  mulai jeli untuk membatasi perlawanan pujangga terhadap zamannya dengan melakukan sensor secara ketat. Maksudnya tentu saja untuk mematikan  semangat kebangsaan pribumi. Untunglah zaman selalu melahirkan satu dua sosok pembangkang keras, demikian halnya dari sosok Angkatan Balai Pustaka satu persatu mulai meninggalkan penerbitan itu untuk menjadi redup dengan karya monumental walaupun Balai Pustaka tetap eksis sampai kini.
Takluknya kekolotan memunculkan semangat kebangsaan, semangat mencari pengetahuan yang kemudian malah melahirkan semangat individualistik. Di masa Angkatan Pujangga Baru lah suasana kebatinan itu tumbuh subur setelah bertunas di zaman Balai Pustaka. Dalam pemikiran saya meskipun saat itu Indonesia belum merdeka dari kungkungan penjajahan dan ada perlawanan dari kelompok Pujangga Baru lain (Amir Hamzah dkk) yang menginginkan seni hanya untuk seni,  tetapi pada masa ini pujangga Indonesia sepenuhnya merdeka sebagai ‘pujangga modern’  sekaligus menjawab  peluang yang ingin dimunculkan oleh oleh rekan sastrawan dalam esainya tersebut. Dalam dua kutub pujangga yang berlawanan ditambah kutub ketiga dari kolonial, satu kutub telah mengobarkan perlawanan tak sebatas pada kekolotan yang terjadi dalam satu suku negeri tapi sudah  mulai mengungkapkan beberapa hal ciri-ciri modernisme seperti kehidupan kota, penyampaian kosa kata baru, memunculkan kritik serta ungkapan  kegelisahan mengapa suku-suku yang berserak di banyak negeri tidak bersatu saja sebagai sebuah suatu bangsa yang bebas.
Angkatan yang paling setia memotret zamannya dalam pemikiran saya adalah Angkatan 45. Angkatan ini meskipun masih menyerpihkan sisa romantik-idealisme tetapi cita-cita, pertentangan dan pemujian yang mengambil suasana kebatinan zamannya paling realistis. Pencantuman Angkatan 45 pada pujangga masa ini pun terasa pas menggambarkan ciri khas angkatan ini yang ingin merdeka sebagai individu dalam satu bangsa. Tetapi meskipun pujangganya individualistik dalam memilih ungkapan tetapi geloranya untuk mengeksiskan negara, bangsa dan pemimpinnya sangat menonjol. Individualistiknya lebih berfokus kepada pemilihan kata agar lebih realistik bertutur dalam tulisan, gambaran semangat menyala-nyala yang tak bisa lagi dipadamkan siapa pun.
Di samping latah menamai angkatan pujangga berdasarkan kurun tahun, latah yang lain dalam penamaan angkatan  adalah mengkaitkannya dengan awal penerbitan suatu media sastra. Disamping penamaan Angkatan Balai Bustaka dan Angkatan Pujangga Baru yang bermula dari munculnya penerbitan Balai Pustaka dan Majalah Pujangga Baru, demikianlah halnya penamaan Angkatan 1950-1960 an yang berawal dari munculnya Majalah Sastra Kisah  asuhan HB Jassin dan Angkatan 1966-1970-an yang berawal dari terbitnya Majalah Sastra Horison yang didirikan oleh Mochtar Lubis. Pada hal dua periode Angkatan ini masih ditautkan oleh suasana pertentangan paham komunis-non komunis dan kesewenang-wenangan penguasa, pertentangan Lekra-Manikebu, pertentangan Orde Lama-Orde Baru. Mengapa Angkatan ini terpisah hanya karena munculnya 2 majalah, munculnya prosa dan puisi yang tak berisikan perkawanan atau pertentangan dengan suasana kebatinan zamannya? Begitu kuatkah pengaruh seorang HB Jassin -sampai Gayus Siagian menggelarinya Paus Sastra- dan Muchtar Lubis mencipta sejarah pada masa itu atau karena mulai permisifnya para pujangga menerima beragam aliran tulisan meskipun ada yang tak menyambung dengan tindak-tanduk zamannya?
Melencengnya pujangga memotret persoalan pokok kegelisahan  zamannya begitu kentara pada Angkatan 1980-1990. Padahal pada masa inilah rejim sangat represif yang semestinya membuka emosi, imajinasi dan intuisi pujangga seluas-luasnya untuk melahirkan karya-karya monumental berdasarkan suasana kebatinan zamannya sebagaimana karya pujangga Mesir yang melahirkan hadiah nobel sastra. Bahkan sebaliknya, angkatan ini begitu mudahnya menobatkan karya picisan  yang banyak dibeli anak muda buta sastra  sebagai karya sastra. Kalaupun ada yang menjurus ke perlawanan rejim, karya itu terlalu lembut untuk mengingatkan suatu zaman diktator dan lahirnya para kroni. Dalam pengalaman saya menjalani tahun-tahun tersebut, meskipun minyak negeri ini masih melimpah demikian juga hasil hutannya, tetapi kemelaratan ada dimana-mana, bahkan di provinsi yang paling tinggi Produk Domestik Bruto nya seperti Kalimantan Timur dan Riau kemiskinan dan kesenjangan itu begitu tampak. Tak pernah kutemukan sajak atau novel atau cerita bersambung tentangnya di Media. Kalaupun rejim otoriter begitu represif memberangus dan membreidel karya pujangga, apakah itu dapat mematikan kegelisahan para pujangga? Bukankah Pramudya Ananta Toer sudah berhasil memberi contoh yang baik bagaimana menghasilkan karya dalam rajaman dan derita yang mengancam kepada kematian? Dalam pemikiranku Angkatan ini banyak menulis dengan berpatokan kepada imajinasi dan pengalaman yang lari dari persoalan pokok bangsanya: kemiskinan, ketakutan dan penyelewengan.
Lalu di atas tahun 1990-an, walau hanya Widji Tukul yang berani menuliskan perlawanan kepada penguasa hingga hilang sampai kini lalu mengapa pula harus ada kelompok yang memproklamirkan Angkatan Reformasi. Bukankah para pujangga yang penakut pada tahun 1980-1990  hanya menjadi pengekor ramai-ramai menulis puisi dan cerita bernada kritik setelah tumbangnya rejim otoriter yang kejam itu? Mereka pula yang menerima berkahnya hidup sebagai Pujangga Angkatan Reformasi. Dapat honor dan kemahsyuran dari karyanya. Sedang Widji Tukul hanya dapat nama sebagai yang terhilang. Dan dalam pengamatan penulis bahwa sejak hilangnya Widji Tukul sampai tahun 2014 ini media nasional atau lokal begitu jarang menerbitkan karya-karya yang mengkritik zamannya. Zaman dimana begitu banyak bupati/walikota dan gubernur ditangkap, zaman dimana wakil rakyat begitu berkuasa, zaman dimana kesenjangan makin menganga. Mengapa media sampai saat ini masih seperti trauma menerima tulisan pujangga yang berkarya sesuai kegelisahan zamannya? Sungguh tidak mungkin tak ada karya pujangga yang satir memaknai zamannya. Untunglah Angkatan 2000 masih penuh pertentangan untuk dinobatkan sebagai Angkatan, sebab karya-karya yang ada belum mampu merespon suasana batinnya zamannya yang paling pokok. Bahkan sampai kini.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar