Minggu, 28 Februari 2016

SUMUT POS MEMUAT 2 PUISI



Sempat berkali bulan Ruang Sastra dan Budaya SUMUT POS hanya mendompleng sajak-sajak dan Esai yang sudah dimuat Harian Indopos Jakarta. Hal ini terjadi sejak Dachlan Iskan mengakuisisi Koran ini. Penggiat Sastra di Sumut mestinya berduka atas peristiwa tersebut. Puluhan tahun Sumut jadi barometer perkembangan Sastra di Indonesia, pelan-pelan menyerah dalam perangkap kapitalisme yang juga merasuk media.

Syukurlah, hal tersebut tak berlarut. Kurang lebih  3 bulan lalu, Redaktur Sastra Koran Sumut kembali merdeka menerima dan menyeleksi karya cerpen dan puisi guna diterbitkan di Harian SUMUT POS. Respon yang cukup positif dari penggiat sastra dari seantero Indonesia. Terlihat dari beragamnya asal penulis cerpen dan puisi yang dimuat Harian ini. Penulis yang juga sudah melanglang buana di banyak media kesohor negeri ini.

Aku yang mendambakan kejayaan penulis-penulis asal Sumut merasa antusias untuk berbagi karya ke koran ini. Kukirimlah beberapa puisi ke hadapan redaksi. Puji Syukur, dua minggu setelah pengiriman, ada 2 puisi yang layak terbit pada tanggal 28 Februari 2016, sebagaimana yang kupampang di bawah ini. Semoga Sastra Koran Tak Mati




PAGI YANG TERKUTUK


sampah mengetuk-ngetuk pintu bibirku
di pagi bengkeng seharum menepi
aku menyumpah
siapa mengirimmu jadi santapan hati
bagi hariku sebuta ini

gigi mencoba  bertahan
sedaya kesabaran
kelimpung  menahan remuk
tapi serapah   tergoda makin membuta
segala sesal terjerembab gelap

sampai mulutku banjir sampah
hatiku banjir sumpah
meluap luap berbau bangkai
di hanyut  segala tabah





HUJAN YANG BERKABAR SORE HARI

mata yang memilah-milah derai dari bulirnya
berkehendak menyentak bumi sore itu
tapi linang  terpantul-pantul 
tak mampu bergesek di sempit lorong hujan 
airmata  pertama perdana pernah  kuselip 
menengadah iba setinggi gunung  awan
dijatuh bayu tak mempan dirayu
tak ada peninggalan mataku di tempat teratas
terterima mata tuhan
hanya pemancing gemuruh, tak iba  ternganga
perihku  mengumpul pada gumul  gemertak ratap

aku cemburukan  anak-anak melambung tawa   
patah gelombang tangisnya dipedang hujan.
Bersama lumpur  sesal sempurna terbilas hujan
tak ada kecut sisa mimpi basah  tadi malam
dikecup-kecup bahagia  sepenuh  lidah  mata pedang langit itu
mengucur lagi kemanisan merasuk dada

anak-anak lalu mengemaskan terimakasih
dengan menepuk-nepuk kaki menatah hujan
bebas menarikan perjumpaan
tak terasa jejak  sesaat sudah  memadat kenangan
mati gemuruh menggertak keberanian

hatiku pula diamuk gemuruh  tak setulus  anak-anak kecil itu
hanya berani menerka-nerka makna semimpi bunyi getir hujan
berkekal  tanya paling jerit di sendi doa takut digodam cuaca.
lihat, air mataku lepas dari gantungan harapan  pulang dari pucuk awan
jatuh terisak berkaram tanah hilang selama-lamanya
tuhan betul-betul tak menawar masin sembarang luka
tak membasuh perih tanggung di langit. apa harus kubelasah lagi
cara mendapat hakikat si tua pemeram tanya?

Sabtu, 27 Februari 2016

SUARA KARYA MEMUAT 3 PUISI TANGGAL 27 FEBRUARI 2016

Tercatat tahun 2015 sampai dengan Februari 2015, sudah 4 kali Koran Suara Karya memuat Puisiku. Aku berterimakasih kepada Redaksi yang masih menyimpan arsip attachment puisi yang saya emailkan. saya pun sudah lupa pada pengiriman ke berapa puisiku yang dimuat tanggal 27 Februari ini. Tapi yang jelas puisi ini saya emailkan pada tahun 2015. Mungkin sudah lebih dari 5 bulan. Beberapa kali diksi sudah mengalami editan sejak pengiriman. Dan hasil editan tersebutlah yang saya sampaikan di blog ini.





CENDEKIA RANTAU YANG MEMUJA PIKIRANNYA



ada yang  memaknai mata angin ujung petuah semua langkah
arah cita-cita  berlari membekap tuah
suluh menerang pikirannya mengantar sampai ke timur
mencari cahaya, cahaya yang mesti disergap
menukang suram sejarah tua sejak moyang
bahan takjub handai tolan di atas kagum jaring pikiran

bertahun berburu cahaya tubuh masih gelap tanpa gemerlap
tenggelam ke  kantung mata mau menambal jurang pencarian
tapi kalbu memastikan kenyataan menggelapkan kobar  pikiran 
jelaga dari kepala menguap  nisan sesal semangat redup
ikut ke sesat angin terhempas  kitab terbaca
di delapan mata penjuru  tertipu gairah menunggu
lupa berapa putaran bumi  meraba azimuth yang sama
suluh pikiran tambah kerontang tertiup-tiup harap, oleng digiring waktu
sesatlah  notasi ubun-ubunnya menafsir sebab
kenyataan mana mesti dibacakan bila bertemu jalan pulang:
alibi kepada sepasang induknya yang susah-susah mengeram 
dari bibit setitik  menumbuhkan  dua tangan 
tapi tak mampu menggenggam cahaya


SEBAB-AKIBAT RINDU
: tuan JW

kau sangkakan  sumpahku mudah  khianat
pada rindu sepakat
bila  persetujuan ini  makin enggan padamu dekat
bukan dukaku terpikat  ke masa lewat
menyesali ketergesaan  mengikat  itikad  
tak pula  sebab lupa  menimang  berat murni  nyalimu
memikul sangsi   yang kami bebankan  sejak dulu

kutempuh semua akibat  tak berandai-andai

kupikir masa depan  mengangkatmu dari  semua  sengkarut
merelakan dengung lebah mengucap liar sengat
pada jaring-jaring yang kita simpul erat
kubayangkan  satu-satu kepercayaaannya mengambang  terpikat
kau ingat sebagai jerat bertuah
tapi tanpa sesaji mana ada yang tak lapuk
di silih berganti  amuk  dan tangis langit

seperti menanggalkan semua akibat tak berandai-andai

keyakinanmu sudah mengikatkan aku pada nubuat
maklumat mengiakan semua pasti berlalu cepat
satu sumpahmu akhirnya lebih tiga kali  kau lumat-lumat
semangat telanjur meninggalkan bangkaiku  ikut berkebut
lupa hakekat rindu kita dimana tertinggal merambat
hanya bimbang raut persekongkolan kau ingat-ingat
kau bilang bakal mimpi menyayat-nyayat

tak kau tanggalkan semua akibat berandai-andai

aku bersama rindu  masih diasuh sumpah
memandu harapan mulai sesat dan kau hilang langkah
jauh jarak persekutuan kita berjejak dibelah keluh
tergerus keyakinan perlahan meleleh

lalu kutanggalkan semua akibat berandai-andai


LIMIT MENUJU NOL


tiap-tiap sedihnya terbenam ke mata lalu
orang berkira   darahnya luar biasa mengguling rindu.
jauh di celah mati membesar bercak merangkak
membatui kemanisan menggerus perih
meniup-niup pekabaran  kalah di mata

satu-satunya yang  pergi dari lilit hati
disangka orang bilangan punah  merangkum suci
jauh  dari negeri terjamah menduga kekal sembunyi
tapi pecah-pecah tubuh setelah waktu tiba mati
meremah muka, memamah duka

sampai namanya  mengembara melewati tapal mati
orang menyangka hentinya sempurna ke gigir abadi
bercakap-cakap melangit ringkih mengekalkan ha ha hi hi.
Melepas jangkar dari sauh bumi. sebaris gelap menanti-nanti seikat janji
dengan tanda apa nyali akan bersua taman atau  makian api

semua raib dari hati
entah sembunyi
di dasar mata
di dasar mati
           
                        

Kamis, 25 Februari 2016

5 PUISI DI MAJALAH SUARA HKBP

Aku mengucap syukur pada Tuhan. Meskipun tak banyak, paling tidak di tiap bulan sejak pertengahan tahun 2015 sampai sekarang ada saja puisiku yang dimuat media. Seperti di minggu-minggu penantian selama Februari ini akhirnya terjawab oleh Majalah Suara HKBP, Majalah di bawah naungan Gereja Protestan dengan jemaat terbesar di Indonesia ini.

Sebelumnya aku tidak tahu bahwa HKBP sudah menerbitkan sebuah majalah yang  ternyata memiliki layout dan tata sampul yang sangat bagus. Bermula dari perkenalanku lewat facebook dengan Pak Hotma Di Hita Lumban Tobing, penulis senior yang saat ini bertugas di Kementerian Keuangan. Beliau Penulis cerpen tahun 70-an di Rubrik Sinar Remaja Harian Sinar Indonesa Baru (SIB), Waspada dan Harian Analisa  Medan dan sampai saat ini masih semangat menulis. Meskipun baru beberapa bulan berkomunikasi dalam dunia maya, keakraban kami cepat merambat ke perbincangan lewat SMS dan Telepon. Kami banyak bertukar pengalaman dan cerita soal dunia kepenulisan, soal kehidupan beragama di kalangan etnis batak, soal kehidupan keluarga dan soal apa saja yang bisa jadi topik perbincangan. Dari percakapan itu terbersit juga bahwa beliau di sampin aktif menulis cerpen, opini dan kadang puisi di berbagai media ternyata juga mendapat tanggung jawab sebagai salah satu anggota Redaksi Majalah Suara HKBP. Meskipun majalah tersebut sudah terbit selama 12 tahun, ternyata minat jemaat untuk menyumbangkan tulisan berupa opini, cerpen dan puisi sangat rendah. Alhasil, majalah tersebut sampai saat ini lebih banyak diisi berita aktivitas gereja resort, aktivitas Distrik dan terutama aktivitas ephorus. Opini lebih kerap diisi oleh redaksi secara bergantian. Padahal menurutku  Tampilan majalah ini tak kalah dengan layout majalah Forum dan Tempo. Barangkali sangat kurang dorongan dari parhalado, khususnya pendeta dan guru huria mensosialisasikan kehadiran majalah ini.

Sebelumnya, akupun agak segan mengirimkan puisi ke majalah ini karena dalam pikiranku puisi-puisi yang diterima hanya yang berbahasa Batak sedang diriku sangat sukar menulis puisi berbahasa batak. Di sampin itu aku pun bukan lagi jemaat HKBP tetapi sudah 19 tahun jemaat GKI Sumut Medan. Tetapi setelah Pak Hotma mengirimiku beberapa majalah tersebut yang pernah terbit, kutahulah bahwa majalah ini majalah berbahasa Indonesia, meskipun juga sesekali ada puisi dan cerpen berbahasa batak. Lalu aku menyatakan minat mengirim puisi ke majalah Suara HKBP. Puji Tuhan, pada Edisi 128/Februari 2016 Tahun XII ada beberapa puisi yang dimuat. Puji Tuhan juga, begitu kabar gembira yang kuterima ini kusampaikan juga dalam laman facebook, ito Marina Novianti, salah seorang penulis wanita Batak yang cerpen dan puisinya bertebaran di banyak media bahkan sekelas koran  Sinar Harapan, Koran Tempo, Tabloid Nova dan Majalah Horison menyampaikan niat ingin berbagi karya di Majalah Suara HKBP sebagai bagian menjadi garam dan terang dunia, khususnya etnis batak. Semoga terwujud.

Di bawah ini salah satu puisiku yang dimuat berjudul "Orang-Orang Bersaksi" seperti yang saya sampaikan di bawah ini. Dan seperti yang sebelumnya, puisi yang kutampilkan berbeda dengan versi majalah oleh karena perenungan lagi, selalu muncul keinginan mengubah diksi agar semakin cocok menurut nilai rasa kataku.





ORANG-ORANG BERSAKSI


dari puncak dosa ia tenggelamkan
buah kejahatannya ke sungai penyerahan
tempat tiap orang mencebur masa lalu
seketika merasa terbasuh
pulang menggadang jubah tuan guru
sepotong bukti tanda didaur dari sampah tercelup

dari satu hati bermutu gerabah
ia gagas hari menggegas sumpah
sekekal dapuk wangi tubuh bertabur bahasa baru
pandai berseru-seru atas nama masa lalu 
dikulumnya kesangsian di mata tertuju
tak ada yang mempersoalkan  seperti apa bayang-bayang  kelam
pernah berhamburan memagarnya
sekarang  sebagai saksi mujizat mengaku terpugar dari kusam abad lalu
seperti berkah tenggelam di sungai pembuangan
dari tubuh kelam, lubang dukanya subur menampang cahaya
yang dipercaya pencari-cari  kebenaran di keramaian tempatnya berdiri
hampar tanah terpanggil tempat mengumpul tujuan
hanya orang-orang merasa dipilih matanya
mengaku pasti menerima

di pasar segala perkara wanita
ia pisah-pisahkan buah dan domba mesti berkurban
dalam takaran selayak ia melewati lubang perasaannya sendiri.

sekaranglah ia panggil dosa dan doa  gigih sedaya pekik
bersekutu  dari bebal jarak dua kutub
dengan itikad masih saling mengenyahkan
di tangannya tergenggam sebagai penglihatan mujizat
mutasi terkini dari kemustahilan
terterima pula  bagi orang-orang terpilih sebagai upah lebih
semakin berani, bahkan ia  mulai pandai menulis-nulis nubuat

anak iseng yang menonton cctv tiba-tiba membisikkan:
“dia hanya terlihat menenggelamkan
buah kejahatannya mati di sungai Jordan
buah yang sesungguhnya diam-diam
ditelan bulat-bulat sesembunyi perut
sesaat sebelum ia  celupkan penyesalan
bermaksud ia kecambahkan sebagai delik peneguk ludah
yang tak tahan bergumpal rahasia di perut”

duh, baru saja kepadanya kujual hidup!