Kamis, 28 April 2016

2 PUISI DI HARIAN RAKYAT SUMBAR 23 APRIL 2016



Tak disangka dan tak dinyana, puisi yang kukirim tahun 2015 ternyata masih ada dalam arsip karya masuk di Harian Rakyat Sumbar, Padang. Email redaktur masuk ke smartphoneku pada hari jumat, 22 April 2016 konfirmasi rencana pemuatan puisi sekaligus mohon pengecekan mana yang sudah pernah dimuat dari 5 puisi yang pernah kukirimkan ke Harian tersebut. Puji Tuhan, hari Sabtu 23 April 2016 2 dari 5 puisi yang saya kirimkan akhirnya dimuat. Hari ini, jumat 29 April, koran cetak Harian tersebut kuterima di tanganku berkat kebaikan sobatku Pak Ahmanuddin Bayer, teman sesama rimbawan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bertugas di Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Agam-Kuantan di Padang. Kali kedua beliau yang baik hati ini berkenan mengirimkan koran cetak Harian Rakyat Sumbar.

inilah salah satu puisiku yang dimuat Harian Rakyat Sumbar, yang bersumber dari rasa duka ketika diriku kehilangan nenek tercinta.


OBITUARI
: nenekku

Tiba juga waktu itu
dongeng tua, perempuan tua kan pulang
pergi sendiri, menuju tanah Adam
di negeri ‘mana’
genaplah tiap amanat diturunkan

‘Dongeng tua, perempuan tua yang rapuh
berjalan di keterasingan
Aih, dukanya si buyung menitis mata kakeknya
Perempuan tua, senyumnya hitam!
dongeng tua ini bukan miliknya, besok
Ibu si Buyung yang punya

Meskipun dongeng ini dongeng tua dan selalu ada
duka si Buyung di matanya luluh
perempuan tua kan berjalan sendiri?
dongeng tua, negeri mana tak punya batas
negeri mana tak punya akhir
perempuan tua tak ada perhentian
(Si Buyung membesar dukanya)
di pundaknya perempuan tua punya perhentian

Ketika si Buyung di tepuk bapanya
dukanya berhamburan
dongeng tua, dongeng tua
kemana perempuan tua






Minggu, 10 April 2016

PALAGAN SASTRA DAPUR SASTRA JAKARTA, ANTOLOGI BERSAMA PUISIKU KE-2




Mestinya ada sebanyak 3 Antologi Puisi Bersama yang telah memuat karyaku. Tetapi oleh karena Panitia abal-abal Seni Indonesia Berkabung yang tak knjung menerbitkan antologi Puisi Di Bawah Payung Hitam hasil pilihan Sastrawan ternama Indonesia Joko Pinurbo, Gunawan Maryanto dan Prof Dr Farouk HT, maka setelah Antologi Puisi 175 Penyair dari Negeri Poci, maka sebagai Buku Kumpulan Puisi Kedua yang memuat beberapa karyaku ada Kumpulan Puisi Palagan Sastra yang merupakan kumpulan Puisi Komunitas Dapur Sastra Jakarta yang diterbitkan oleh Penerbit Teras Budaya Jakarta. Dapur Sastra Jakarta merupakan Komunitas tertutup Group Facebook dengan admin penulis kesohor Adek Alwi, Iverdixon Tinungki, Nunung Noor El Niel, Riri Sastria dan Remmy Novaris DM. Ada sebanyak 65 anggota Dapur Sastra Jakarta yang menyertakan karyanya dalam antologi bersama ini. Beberapa nama kesohor yang sudah menebarkan karyanya di media cetak nasional antara lain Bresman Marpaung, Dedet Setiadi, Din Saja, Eddy Pranata PNP, Endang Supriadi, Iverdixon Tinungki, Muhammad Lefand, Nunung Noor El Niel, Remmy Novaris DM, Sus S Hardjono.

Ada 5 puisiku yang termaktub dalam kumpulan Puisi Bersama ini, yaitu 'LAGU SINGA-SINGA', 'MUKA KACA PENUH LUKA', 'SEBATANG KAYU TERENDAM', 'KELAHIRAN' dan 'BEGITU BANYAK KATA-KATA YANG ADA, BEGITU BANYAK YANG HILANG'. Enpat puisi pertama sebenarnya sudah pernah diterbitkan Harian Analisa baik di Rubrik Rebana hari minggu maupun rubrik Puisi hari Rabu. Kebetulan Admin mengijikan puisi yang sudah pernah dimuat media cetak untuk diterbitkan sebagai antologi bersama. Puisi yang kelima merupakan puisi yang belum pernah dimuat oleh Surat kabar atau majalah.


Inilah salah satu puisiku yang terdapat dalam antologi puisi bersama ini:





Rabu, 06 April 2016

KALI KEDUA PUISIKU DI KORAN TEMPO






Setelah berlalu 1 April yang disebut di negeri seberang sana All Fools' Day atau dengan nama lebih beken April Mop yaitu hari yang di negeri Barat sana merupakan hari kesempatan berbohong, berlelucon, mengerjai dan membuat kejutan pada orang lain dari dinihari 1 April sampai menjelang siang, maka kejutan tapi bukan lelucon dan kebohongan dan tanpa niat mengerjai kudapat tanggal 2 April 2016. Bermula dari membaca pesan inbox di FB ku dari Maulidan Rahman Siregar dan Maymoon Nasution yang mengabarkan ada puisiku yang terbit di koran Tempo. Setengah tak percaya, lalu kucek di group SASTRA MINGGU tempat biasa aku melihat info terbitan sastra/budaya di media sepanjang jumat, sabtu, minggu atau menurut hari terbit karya sastra/budaya di suatu media (sebagaimana sumber info dari Maulidan Rahman). Benar adanya info Maulidan Rahman bahwa Mas Bamby Cahyadi yang menginfokan terbit puisiku di Koran Tempo yang melahirkan rasa penasaran dan keingintahuan lebih lanjut sebab info Mas Bamby tanpa keterangan judul puisi. Dan di Medan, biasanya Koran Tempo Edisi Akhir Pekan (menurut loper koran langgananku) baru tiba pada hari minggu. Maka rasa penasaranku masih berlanjut satu hari lagi dan sengaja kubiarkan tanpa meminta info tambahan kepada Mas Bamby. Lalu ketika koran tersebut dapat dicari loper koran langgananku di distributor yang menurutnya ada di sekitaran Sambu, rasa penasaranku pun berakhir sudah. Kulihat pada lembar sastra koran tersebut bahwa judul puisiku yang terbit adalah 'EMPAT PERKABUNGAN BERSINGGUNGAN'. Puisi ini sebenarnya sudah pernah saya ikutkan dalam LOMBA CIPTA PUISI SENI INDONESIA BERKABUNG dan terpilih sebagai 39 PUISI PILIHAN oleh Dewan Juri Joko Pinurbo, Gunawan Maryanto dan Prof. Dr Farouk HT. Kata Panitia puisi pilihan akan diterbitkan dalam Antologi berjudul 'DI BAWAH PAYUNG HITAM' . Ternyata panitianya tukang ngibul kalau tidak disebut penipu. Dari janji diterbitkan, kesanggupan panitia turun jadi hanya mampu membuat terbitan katalog seluruh event yang dilombakan (Poster, puisi, teater), lalu dengan alasan tak punya biaya cetak turun lagi kemampuan mereka jadi hanya berencana memberikan e-katalog kepada kontributor. Ketika aku berkomunikasi melalui FB Seni Indonedia Berkabung milik panitia itu maka jawaban yang kuperoleh hanya pembelaan diri yang sulit diterima. Pertama mereka mengaku merupakan kolaborasi 4 Perguruan tinggi hebat di Yogyakarta seperti Universitas Sanata Darma, Universitas Dutawacana, Universitas Atmajaya dan Universitas Gajah Mada. Selanjutnya mereka juga menyebut-nyebut KPK sebagai penyantun mereka, sebab event lomba yang mereka organisir adalah dalam rangka mendukung pemberantasan korupsi. Sungguh tak masuk akal jika betul mereka sudah berkolaborasi dengan universitas dan KPK biaya cetak mereka jadikan alasan kegagalan terbit Antologi Puisi Pilihan Lomba Cipta Seni Indonesia Berkabung sebagaimana mereka tulis dii Pengumuman Lomba yang mereka sebar di group-group facebook. Hari demi hari dari bulan Oktober-Desember 2015, kemarahanku selalu bertambah setiap berkomunikasi dengan panitia abal-abal itu. Selalu kudapat jawaban hanya untuk berkelit dan melepaskan tanggung jawab. Di Bulan Desember 2015 laman FB Seni Indonesia Berkabung itu mati suri tak pernah lagi melakukan pembaruan berita hingga saat ini (Silahkan pembaca buka). Dan semua tanya jawabku yang penuh kemarahan kepada panitia abal-abal tersebut mereka hapus. Yang tersisa adalah berita lama yang memuat sisi kesuksesan mereka menyelenggaran event Seni Indonesia Berkabung.

Syukurlah Koran Tempo berkenan memuat puisiku tersebut meski pada lembar akhir puisi sudah saya sebut bahwa puisi EMPAT PERKABUNGAN BERSNGGUNGAN ini sudah pernah diikutsertakan lomba, terpilih sebagai 39 Puisi Pilihan oleh Dewan Juri kelas nasional dan sedang menanti untuk terbit jadi Antologi Puisi Pilihan. Kekecewaanku oleh tipu-tipu panitia abal-abal Seni Indonesia Berkabung terobati. Inilah puisiku tersebut:


EMPAT PERKABUNGAN BERSINGGUNGAN


1
apa yang  kau dengar bila serigala dan luwak
berbisik di punggung  bulan
selain berbincang jubah paling cemar
memintal dari mangsanya
samar memerangkap mangsa  lain

pernahkah mereka terdengar  jujur
bertukar rahasia memalukan
tentang bulu ayam yang tak lagi sempurna
membalut muslihat
atau bulu domba  kuning menangkap
tabiat  serigala?

atau mereka  berbagi pengakuan tentang
darah anak domba  di celah taring
merintih tak jemu  memanggil inang
di setiap tubuh  terhempas
hingga kekejaman mereka  tersungkur
tertikam belas kasihan
membiarkan  lapar jemu lalu hilang kesadaran
bulan phobia maksud bulan
bersemu tiap memancing gairah
sampai sujud melolong-lolong  pengampunan?

Pertemuan luwak dan rubah ini tak biasanya
di saat bulan pucat hilang darah
telah   pula berlalu  gairah  jam-jam pengintaian
ayam paling jantan telah subuh  terjaga
memanggil-manggil persekutuan waktu

mufakat apa yang tak perlu rahasia?
astaga, mereka bertukaran kepala!

2
domba yang tergoda
tak bercita-cita layu di penjagalan
tapi kekal harus  jatuh kepada hiruk pikuk
langit penawar
terbeli nasibnya dari pecah ketuban
sampai diiris hak veto
hanya ditimbang  rasa lapar,
jadilah kami tumbang bakaran
yang tak pernah dikorban sungguh-sungguh
domba putih pembasuh masa lalu

domba sesat kami. memang
tapi tak sekali pernah mengingkar  suratan
hanya termangu dalam jurang bingung
memanggil-manggilmu sedalam khusuk perih
hai gembala dari lembah kekinian
pabila membawa tongkat keberanian
menjulurkan cahaya ke ujung muasal  sesalku

domba dan gembala biasanya
beriringan ke hamparan nasib berbatu
menghalau rasa lapar mengintai 
sampai ke ujung senja
berhitung sama-sama  dengan segenap apa
melumpuhkan rasa takut
jangan kawanan tercecer hingga sedarah

kalaupun domba mengerangkan puting
disesah masa nifas
jeritnya masih mengalirkan  susu suci  darah paskah
bagi kawanan gembala
hanya letih menguras air tubuhnya
terhalau serigala ke gunung sunyi

pertemuan yang tak biasa gembala dan domba
saling memunggung menilik  matahari
jangan  kemana menukik semangat


3
Gembala dan tuan yang sepakat
menyeret domba ke kejauhan
berbisik  hal rahasia peruntungan nasib
sekawanan  seharkat bulu dan daging
hingga pandangannya jauh
semua mesti tampak  lumrah.
kebiasaan  menenangkan domba
 jika takdir  saatnya  menungkup

sesekali gembala dan  tuan memotong
tatap dengan senyum  lambai
dengan mantra penenung mata domba
bila  terlanjur curiga
sampai sepenuhnya  lupa petaka  menghadang
bila tuan datang
menghalau gembala pada sabtu dan minggu

bermulalah awal cerita kepunahan
tetua domba kata tuan mesti ikut berlibur ke kota
tapi tak pernah pulang-pulang.
hanya gembala yang kembali dengan kubis dan bungkil
mengasup lenguh kawanan  sebukit kenyang
lupa menduga-duga

seperti besok rerumputan menyibukkan mereka
sambil gembala bermain  tongkat memedi


4
pada jurang paling malam
dombalah menubruk  cahaya
dari mata bingung membandingkan
beberapa  perkawanan warna
ada hijau selain  rerumputan
bungkil dan kubis memantulkan sedap
jalangnya  baru akil akhirnya
tergoda mengecap

seturut lapar  mendidihkan  berahi
melajulah hasrat mematah tongkat gembala
yang acap melayar pantangan  ke atas pikirannya.
seketika seikat persekutuan tertebas dari amanat
rindu  dendam dilarikan menungkap cahaya memikat
melupakan naluri  kuat:  domba mesti berserikat

Hup! domba itu tertangkup di palung cahaya
sebuah rupa tiba-tiba terlihat sesungguhnya.
memagut sepenuh gairah semua mata sadar
tak sempat sesal  menyusup 
membawa kabar pada darah terkucur
tangis menempel di sisa tubuh
terlunta sia-sia ke rumpun bebatuan

gembala hanya  terbangun meraung-raung
jika jumlah semakin ganjil
dengan tongkat patah bingung memetakan  arah
tak terdengarnya  dimana sesal memanggil-manggil