Sabtu, 31 Oktober 2015

LAGI PUISIKU TERBIT DI SUARA KARYA


­Minggu terakhir Bulan Oktober masih membawa hujan suka cita bagi puisi-puisiku. Setelah dapat kabar dari Komunitas Seni Berkabung lewat facebook lewat pengumuman Dewan Juri Lomba Cipta Indonesia Berkabung yang mengabarkan puisiku termasuk diantara 39 Puisi terpilih dari seleksi 1.441 puisi (335 penyair) yang akan diterbitkan dalam Antologi berjudul DI BAWAH PAYUNG HITAM, maka lewat informasi dari Messenger, cerpernis SAM SEMBIRING menginformasikan bahwa ada puisiku dimuat oleh Harian Suara Karya. Aku sempat bertanya-tanya dalam hati puisi mana kira-kira yang dimuat harian itu pada tanggal tersebut, mengingat tak ada kukirim puisi baru sejak 3 puisi telah dimuat Suara Karya pada 22 Agustus 2015. Kejelasan kuperoleh dari info Kang Endang Supriadi lewat FB Sastra Minggu. Kubaca bahwa 3 puisiku dimuat di Harian Suara Karya 31 Oktober 2015 adalah yang berjudul “ KUNCI CINTA”, “LELAKI DI POHON ARA’ dan “YANG BERGURU SEUMUR-UMUR’. Lebih yakin lagi setelah kubuka Suara Karya Online. Surprised, Koran tersebut memuat ulang lagi puisi Kunci Cinta dan Yang Berguru Seumur-Umur. Tetapi tetaplah kusyukuri. Kuanggap saja Suara Karya begitu mencintai puisiku tersebut. Lagi pula masih ada satu puisi yang baru dimuat. Mengingat dua judul yang sudah pernah dimuat sudah kuulas pada tayangan blogku beberapa waktu lalu, maka kali ini cukup kutayangkan puisi LELAKI DI POHON ARA. Puisi yang kutayangkan sedikit berbeda dari versi terbit di Suara Karya karena memang kupikir puisi tersebut tak bakal tayang lagi di Suara Karya sehingga kuniatkan dikirim ke media lain dengan diksi dan metafor yang telah kuperbarui.
LELAKI DI POHON ARA                             

siapa yang terkantuk-kantuk
meratapi  pohon ara mematuk-matuk kutuk
berharap menangisi luka bertakik
menggusarkan Musa lalu  gampang bersungut
sampai  menggusur  sepasukan lebah
agar langit terbuka menabur sari searoma paling jantan
pengatup  berahi  carang perawan  menganga menahun

berkali bulan hinggap ke peraduan  meluruskan senja
tergaris langit dan laut belum  membelah penantian
lelaki di pohon Ara selalu bersungut sebab tak ada asa dipungut
sepuluh musim carang rontok, sepuluh musim daun bebal
sepuluh musim putik rubuh berkatup berahi

lihatlah janggut lelaki itu setinggi akar memagut
sekukuh penunggu abad berlalu
bibir telungkup menangkup bulan sabit
renta mengumpat redup dan kuncup
mencemburui tuan Natanael dikukuhkan penjaga ara setia
hanya sekejap taat dari khianat taman tapi diberi rejeki tertawa
di laut memungut buah mengerut, diberi azimuth ke langit.
sedang dirinya patok kekal dihanyut waktu
di persekutuan lapuk merayu peluh
tak dapat siasat  membelah lolong masa terjepit
resah mengadu ke langit tak bertampuk
Ia kah yang harus menunggu sungut  mendahului Musa
menjemput kutuk sebatang ara yang ingin benar-benar berbagi?

sepuluh musim berkejaran, sepuluh musim berpulangan
lelaki di sepohon ara gelap terjerat senyap
tak pernah ia berpikir jalan itu bukan laluan guru atau nabi
jalan  memanggil si anak luntang ternanti



Minggu, 25 Oktober 2015

DI HARIAN ANALISA MEDAN 25 OKTOBER 2015 DUA PUISIKU DIMUAT

Rencanaku mau lihat karya sastra apa yang dimuat di Rubrik Rebana adalah pada hari Minggu dini hari sekitar pukul 00.30 WIB. Namun aku ketiduran kira-kira sejak sabtu 24 Oktober pukul 23.30. Begitu terbangun di minggu pagi sekitar pukul 6.30 WIB, maka bagai tersentak segera kucari smartphoneku ingin mengetahui karya siapa saja yang dimuat di rubrik Rebana, baik puisi, cerpen dan esai. Sebenarnya tak berharap bakal ada puisiku yang dimuat, mengingat puisi yang kukirim pada bulan Agustus 2015, sebagian besar sudah dimuat pada Bulan September 2015. Di bagian atas rubrik Rebana terpampang 3 puisi Boegies O Sonhodor. Begitu mataku tertuju pada puisi keempat, ouww berbinarlah retinaku. namaku ada terpampang, lalu di bawahnya tertulis juga judul puisiku. Demikian juga di puisi ke lima, ternyata masih milikku. Pada tanggal 25 Oktober 2015 ini ternyata ada 2 puisiku yang nongol. Terimakasih buat Redaktur yang telah berjerih pikir dan tenaga dalam menyeleksi dan memutuskan memilih 2 puisiku tersebut. Puisi yang masih bertema politik dan kritik sosial. Inilah Puisiku tersebut masing-masing berjudul 'PRIMUS INTERPARES PICISAN' dari pengiriman sekitar bulan Agustus 2015 dan 'KEPADA PARA PEMBUAL' hasil pengiriman puisi sekitar bulan Mei 2015.




PRIMUS INTER PARES PICISAN

Sedikitpun kami tak khawatir roda ini mangkat berputar
membunuh nasib dan keberuntungan. ada dan tiada  selalu berulang
ditiap kami hidup dengan nafas seharga sama. tanpa menghitung berapa jarak
harapan dan putus asa yang sudah berlalu toh  tak berbeda jauh
gertak dan iba yang ditentangkan. tiap kami menangis
 senasib sepenanggungan hidup pun selalu beruntung

kami khawatir beribu-ribu waktu berlalu.
Roda berputar  lupa dihitung berapa kali menangis dan tertawa.
di pusat sumbunya rasa sakit tak pernah hilang
terdengar dari ratapan
penunggang dan  penumpang berganti dengan marah yang sama.
bertentang tanpa iba menyesatkan perjalanan dari jarak tercatat.
lupa keberuntungan. roda berputar jauh melaju
tak bisa kemana pulang apalagi bertemu harapan.


KEPADA PARA PEMBUAL

Masihkah kau  mainkan pertanyaan usang itu:
“yang paling merdeka silahkan mematahnya mati”
lalu satu persatu pencemooh pulang membiarkan tawananmu dalam jerat
meninggalkan batu rajam sebagai tanda malu.
menghimpun kemudian sebagai mezbah sesembahan.

engkau kan bukan penanya tua itu yang bebas dari debu tubuh
bebas dari jejaring lusuh di rambutnya menjerat kepolosan dan
semua kesempatan. lafalmu  terbata  menandai kau peniru bukan
sempurna titah paling suci dari semua derajat hapalan
baumu dipercik wewangian murah para sundal, memperjelas  selidik
engkau bukan juga sufi mendapat nubuat,  apalagi nabi
penunggu tuaian sebagai tawanan terikat.
mereka rapal sepenuh ingat
mereka catat mana yang tak tepat
tak hanya dia, engkau dulu yang pertama disesah

kalau kau tak percaya,mainkanlah pertanyaan usang itu
di ujung umur kau kan mengangguk:
penjerat sudah terjerat

                          Medan 9 Februari 2015


Sabtu, 17 Oktober 2015

KORAN TEMPO, KORAN NASIONAL KEDUA MEMUAT PUISIKU





Seperti terinspirasi teori bubur panas maka demikian juga kulakoni dalam mengirim puisi. Bubur panas mulai dimakan dari pinggir piring sebab disitu bubur berawal dingin. Baru pelan-pelan kemudian sesendok demi sesendok mulai ditangguk  menuju tengah piring. Percaya diri yang tak seberapa membuatku juga mengawali langkah mengirim puisi dari media terdekat. Kumulai dari Harian Analisa Medan. Setelah dimuat, rasa percaya diri naik sedikit, lalu kutuju Harian Medan Bisnis. Bertambah percaya diri, kutapaki Harian Banjarmasinpost, lalu ke Buletin Jejak Forum sastra Bekasi, ke Harian Go Cakrawala, Jurnal Santarang Komunitas Flobamora yang dipimpin Mario F Lawi. Percaya diri yang menaik membuatku mulai berani mengirim puisi ke Media Nasional dan Media di luar Provinsi Sumatera Utara yang kuanggap tingkat kompetisinya juga ketat. Puji Tuhan, meski tidak semua koran yang kukirimi meloloskan karyaku tapi beberapa diantaranya memuat puisiku. Suara Karya adalah koran nasional pertama yang memuat 3 puisiku. Lalu ada Koran Pikiran Rakyat Bandung, Harian Rakyat Sumbar dan tanggal 17 Oktober 2015 ini media kaliber nasional Koran Tempo sudi juga memuat 3 puisiku berjudul 'BERGURU KEPALANG AJAR', 'TAFSIR DUA PEJUANG' dan 'BERHITUNG SETEBAL IQRA'

Beberapa penyair teman facebook dapat kujadikan teladan dalam meningkatkan mutu puisiku. Sebutlah Mas Budhi Setyawan Penyair Purworejo. Selain penyemangat dari kelas usia yang sama, aku banyak belajar dari metafor yang dihasilkan beliau yang selalu berhasil menemukan diksi yang pas untuk analogi puisinya. Lalu dari orang muda aku juga banyak belajar, seperti dari Maymoon Nasution yang sudah menemukan jati diri pada diksi 'begu', 'podang' dan 'datu yang selalu dimuat Harian Kompas'. Dari Muhammad Asqalani eNeSTe sudah sudah menerbitkan 4 Buku Antologi Puisi, aku belajar keberaniannya memakai diksi spontan dan seperti gol yang tak terduga dalam sepak bola. Dari Marsten L Tarigan, aku belajar gelora puisi anak muda yang matang dalam tema dengan diksi mempesona. Dari Marina Novianti aku belajar ketekunan mengamati situasi dan mencermati pengalaman yang dipadatkan menjadi puisi manis. Dari Mario F Lawi dan Cyprianus Bitin Berek aku belajar memakai kata-kata alkitabiah yang mempesona jadi puisi dan memudahkan pemahaman manusia tentang sebuah dogma. Dari penyair idola WS Rendra dan Chairil Anwar aku belajar menulis puisi dari situasi politik dan sosial terkini yang mesti dipuisikan. Dari Joko Pinurbo aku mulai belajar berhumor dalam diksi meski dalam tema memilukan. Dari Hana Fransisca aku belajar pesona diksi keseharian seperti bumbu dapur yang jadi wah di tangannya maka kucoba kuikuti menjadi diksi rimba yang akrab dalam pengetahuanku. Lewat karya Seorang Nurul Ilmi Elbanna aku juga belajar frasa yang sedap didengar dan diucapkan. Dan banyak lagi penyair yang kuanggap beken pantas kuteladani seperti Yudhistira Massardi, Sapardi Joko Damono, Dami N Toda, Remy Silado, Hasan Aspahani, Ook Nugroho, Endang Supriadi, Kiki Sulistiyo, Abu Nabil Wibisana, Isbedy Z Setyawan, Ramoun Aopta yang sering terbuai aku membaca puisi-puisi mereka. Semoga di umur 47 tahun aku masih dapat menyerap ilmu berpuisi dari mereka. 

Inilah 3puisiku yang dimuat oleh Koran Tempo



BERGURU KEPALANG AJAR
: ke negeri singa


1/
kutuju batu penjuru
batu terpungut dari babel itu
beranak tinggi dipercik peniru
kamilah terpendam pukau
yang silap-silap berguru kalbu

2/
hingga di bugis street
kutebus tubuhku berdada singa
seharga dua sesat pikiran
berendam  amuk perasaan
jatuh semuka
seperti tandan semangsa

3/
dari Little India peluh inang
subuh mengumpul-ngumpul remah
sebelum senja disusun jadi siasat kaum papa
sim salabim tiga tukang sulap
menujumnya  sewaktu gelap-gelap
dijelmalah semacam rejeki
senilai terbeli nasib di pekan negeri

4/
ke orchad, semeja interniran
mendongak-dongak kepalan
terungkit bagai duli kehormatan
tapi matanya  sehina lapar
bagai kaum gemar bercemar
penjual siapa saja demi apa saja

5/
sampai di sentosa anakku terpulau cerita
demensia batu moyang
dikupak seharga remah
besarlah ia kelak tak tahu amarah
selempar batu ke seberang
laut moyangnya terjerang


            Medan, September 2015


TAFSIR DUA PEJUANG


kau jelmakan tangga
untuk menyebut semangat dikebut
merekat  serpih patah tulang belikat
pintas lenguh pikirku menempuh.
bukan, bukan kataku. hanya penggoda
benihku petarung hendak disesat

lalu jubah bertabal nama  itu
tersebut marwah kau berikan
sungkup ke luka panjang moyang
upah perih  tubuh tabahku berkurban
buuukan, buuukan  gagapku. hanya pesolek
kelak rupa laluku lesap

kau kembang ranjang sepetak itu
menyebut-nyebutnya tujuan amin
hentian keluh mengaduh
buuuukaaaan, buuuukaaaan hardikku. hanya semimpi
pasti  merayuku senyap


                   Medan,  September 2015


BERHITUNG SETEBAL IQRA

aku hendak faham  sepanjang apa aksara mengikat ruh
selembar kata kutempuh,  sekejap kau cemas
belum kusebut soal khatam cinta semakna 
kau bilang aku pasti tertawan sekat paling rahasia
pucuk yang tak faham persembunyian ikhlas

akupun jadi enggan menghubungkan niat kepada  tanda baca
seperti memanjangkan tali seutas dengan ketabahan mudah retas
katamu pula  surga terbuka bukan sebab panjangnya kusambung suara
tapi setipis-tipis perut menapis ingin sampai angin tak mampu mendesis
kalau mau tercurah Amin

tapi aku bukan berhajat mengguruimu Tuan!

                                          Medan, Januari 2015