Kamis, 11 Desember 2014

PUISIKU DI RUBRIK REBANA HARIAN ANALISA


Dulu saat di zaman SMA, aku mendambakan puisiku bisa lolos seleksi dan dimuat di Haran Analisa. Pada saat itu naluri pencarian jati diriku bergumam: Puisi dimuat di Rubrik  Rebana Analisa atau di Rubrik  Budaya Waspada menjadi tolak ukur disebut penyair Sumut. Dan memang hampir semua sastrawan nasional asal Sumut pernah menulis puisi di harian tersebut.

Namun sampai aku tamat SMA niatku tak kesampaian untuk menampilkan puisi di kedua rubrik. Satu kelemahanku: kurang percaya diri! Tak kutahu penyebabnya apakah disebabkan secara lahiriah aku bukan lahir dari keluarga intelek atau orang kaya. Padahal secara darah, di tubuhku juga mengalir titisan Raja Ihutan Simanjuntak dari Sigumpar yang berputrikan nenek yang melahirkan ibu. Namun khusus di Harian Waspada besar juga rasa percaya diriku  tumbuh. Karena puisi yang pernah kukirim ke Harian itu malah terbit di Majalah Dunia Wanita yang masih satu group usaha dengan koran itu. Bahkan kebanggaan ku itu masih tersimpan karena Redaktur Sastra di Majalah Dunia Wanita itu adalah Bang Raja Mulia Nastuion yang kukenal saat kami sama-sama sebagai pemenang pada Lomba Cipta Puisi RRI Nusantara I dalam HUT Kemerdekaan RI Tahun 1985.

Tahun 2014 hasrat menulis puisi di Harian Waspada kuurungkan karena kulihat Rubrik  Budaya terlalu royal menerima puisi sehingga puisi yang terbit kebanyakan seperti puisi remaja. Jauh dari level puisi para penyair yang penuh kematangan dalam diksi, rima dan irama. Rubrik Budaya Waspada dalam penglihatanku sudah seperti  di zamanku sering menulis di Harian SIB dulu, sedang diriku sudah bertambah tua. Namun  hasrat mengirim puisi ke Rubrik Rebana Harian Analisa tetap ada karena seleksi yang cukup ketat oleh Bang Idris Pasaribu selaku Redaksi masih kuat karena hanya 3-5 puisi yang lolos seleksi untuk diterbitkan setiap hari Minggu. Dan syukurlah, rasa percaya diriku tidak lagi selemah zamanku remaja hinga terbitlah puisiku di Harian Analisa Rubrik Rebana pada tanggal 3 Agustus 2014 seperti di bawah ini





MUKA KACA PENUH LUKA


muka kaca penuh luka
di atasnya wajah putih berbalut duka

muka kaca penuh luka 
dahan ranting menggoresnya
di atasnya wajah kita pisah dua

muka kaca penuh luka
langit bumi tak tergambar
lebih buruk dari tahi mata
di wajahmu

muka kaca penuh luka
dari semalam tak bermuka

muka kaca penuh luka
kau bawa entah kemana



KELAHIRAN
dirgahayu Yemi dan Like (Keke)

dari pijar bulan menggairah tubuh sinar
lalu  tiap warna jadi ritus
aku tahu bunga mekar juga di sinar ke sepuluh
lalu warna jadi sakral.
makin suci dari tubuh bianglala

warna bunga jadi menggairah juga
di sinar ke sepuluh betapa agung kuncupnya,
kuncupnya mengecup angin dikecup kupu
aku tahu juga bunga tak akan tersipu
menggairah juga suara
“cepatlah mulai upacara, cepatlah
karena sinar kesebelas warna tak nyala
tak lagi ritus cepatlah mulai, cepatlah
karena: betapa agung kuncup menganga”
(adikku menujum lilin jadi nyala)

Rabu, 03 Desember 2014

DISANDERA






Setelah menjadi anak sekolahan SMP sampai perguruan tinggi diriku termasuk yang malas bepergian keluar rumah kecuali saat kelas 2 sampai dengan kelas 3 SMA (saat aku aktif menulis di koran dan punya teman karib sesama penulis yang tinggal di jalan KemiriSiantar, seperti Albert Marbun, Togar Sinaga, Charles Purba, Leonard Marbun). Namun di masa sekolah dasar sekitar tahun 1979-1981, diriku termasuk anak energik sedikit bandel menurut istilah sekarang dan suka bermain ke luar rumah hingga jauh. Di masa kecanggihan teknologi dan transportasi yang belum sehebat sekarang, area permainanku tak sebatas di wilayah tempat tinggal di gang Pitola. Selain teman satu sekolah di SD HKBP Tomuan yang berasal dari beberapa kelurahan, aku juga sudah punya jaringan pertemanan sampai jalan Silboga, Jalan Nias, jalan Nusa Indah dan jalan lain yang ada di Siantar yaitu para temanku yang les bahasa inggris di Gandhi Memorial jalan Sutomo. Sebutlah temanku di tempat les itu antara lain Aqua Dwipayana (sekarang motivator di lingkungan TNI dan juga tim seleksi menteri versi DETIK.COM). Aku juga punya teman si anak nias bermarga Zulu bahkan  seorang tionghoa yang sudah lupa namanya pernah memberiku obat panas bermerek juan cit. Teman-teman SD yang sangat akrab denganku antara lain: Tunggul Maurits Pandapotan Lubis, Jonly Simanjuntak, Parlimanson Siallagan dan Fridato Dolianto Sitohang..Untuk berjumpa dengan teman-temanku tersebut maka jarak yang cukup jauh selalu kutempuh dengan berjalan kaki. Selain aku tak punya sepeda sebagaimana lazimnya kebiasaan anak kecil sekarang, rute kendaraan umum pun tak seperti sekarang ini yang sudah over rute sampai ke gang tak berpenghuni. Di zaman kami SD rute angkutan kota masih sebatas Jalan Meredeka-Jalan Sutomo-Jl Medan-Parluasan. Seringkali ibuku khawatir dan mencari kesana kemari, bertanya ke setiap kawan kalau-kalau ada dirumahnya, padahal aku bermain sampai ke lain keluarahan tanpa memberitahu ibuku.

Pernah di suatu masa itu, aku, Fridato, Jonly Simanjuntak dan Parlimanson Siallagan bermain  di rumah Jonly Simanjuntak di Tomuan A. Biasanya kalau kami bermain ke rumah Jonly, hanya bisa bertahan satu jam di rumahnya. Setelah itu kami akan ngelayap ke persawahan yang tak jauh dari kediamannya. Apalagi yang kami kerjakan kalau tidak masuk ke saluran air untuk menangkap ikan sepat, ikan gabus, ikan lele atau syukur-syukur bisa dapat ikan mas. Demikian juga di suatu hari, setelah bermain di rumah Jonly beberapa jam, lalu kami sekawanan, memutuskan ingin mandi di Siabal-abal suatu tempat sekitar 1 km dari rumah Jonly. Meskipun jaraknya hanya 1 km  tetapi ketika itu Siabal-abal masih masuk wilayah kabupaten Simalungun. Wilayah siabal-abal ini (kampung masa kecil Nurdin Tampubolon Anggota DPR dari Hanura).  pada masa itu panoramanya lebih mirip panorama persawahan di Tapanuli. Masyarakatnya pun berkomunikasi dengan nuansa batak yang kental baik dalam percakapan maupun adat istiadat. Bahkan ternak babi berkeliaran di sekitar rumah penduduk maupun jalan perkampungan. Sekarang Siabal-abal sudah padat rumah, sawah berkurang drastis, bahkan kolam besar alami pun sudah tak ada lagi. Kami memutuskan ke Siabal-abal karena ingin melihat kolam besar alami seluas 1 Ha (Dalam bahasa batak kolam besar ini disebut Ambar) yang mengalirkan air pancuran sejuk di salah satu sudutnya. Orang kampung Siabal-abal biasa mandi di pancuran tersebut. Konon katanya di kolam besar (bahasa Batak:Ambar) banyak ikannya namun tak seorang pun penduduk  berani menjala atau memancingnya karena beredar cerita bahwa kolam itu tempat paru hantu berkumpul. Kalau ada yang menangkap ikan disana katanya bisa sakit demam mendadak dan mati. Bahkan Kalaupun ada yang berhasil menangkap ikan dan membawanya pulang maka ketika dimasak ikan itu tetap mentah dan orang yang memasaknya pun bisa mati tiba-tiba.Wallahuallam.

Setelah kami puas melihat-lihat pancuran tersebut yang terkesan cukup angker karena penuh belukar di sekelilingnya kecuali di area pancuran, kami pun cuci muka di pancuran tersebut. Meski air pancuran tersebut bening dan dingin menyegarkan, kami tidak mandi disitu karena berniat  akan mandi di salah satu bendungan kecil di pinggir kampung Siabal-abal. Di pancuran kami tak bisa berenang dan melompat-lompat ke air sehingga kami anggap kurang asyk mandi di pancuran tersebut. Alasan lain karena kami pun agak takut dengan suasana angker kolam besar tersebut.

Akhirnya tibalah kami di bendungan kecil itu. Kami berempat pun segera melepas pakaian tanpa malu-malu. Lalu tertawa haha hihi sambil melompat ke air, lalu bercerita dan teriak-teriak pula dengan senangnya. Ada sekitar setengah jam kami lakukan hal tersebut. Ketika sudah merasa cukup mandinya akibat mulai kedinginan, kami pun naik ke darat untuk memakai baju dan celana. Olala, celana hilang tak ada di tempat kami meletakkannya. Pada saat kami mengitari bendungan itu, tiba-tiba seorang remaja berusia anak SMA yang badannya lebih besar dari kami menghadang. Lelaki itu mengertak sambil memegang celana kami. Dengan lagak seperti preman dia menginterogasi dan menakut-nakuti kami. Lalu kemudian pria tersebut merogoh kantung celana kami yang dipegangnya. Karena tak menemukan uang di saku celana kami itu, dia mengancam menyandera  dan menyuruh Jonly pulang untuk ambil uang tebusan.Kami pun bermohon-mohon agar dilepaskan dan bilang kami memang tak punya uang. Laki-laki itu semakin membentak kami. Tiba-tiba Jonly teriak-teriak histeris dan menangis kencang. Pria tersebut rupanya takut juga dengan suara kencang Jonly akan terdengar orang kampung. Pria itu lalu melempar pakaian yang dipegangnya ke arah kami. Tapi sebelum pergi, dia mengetuk kepala kami satu persatu.

Aku berupaya tidak mengingat peristiwa itu sampai dua minggu kemudian Jonly cerita padaku: "Dendam kita sudah terbalas", katanya. Aku bingung. Lalu dia melanjutkan ucapannya: "Kemarin pria yang menyandera kita lewat dari depan rumahku. Begitu kukenal wajahnya, aku teriak panggil iparku dan bilang pria itu telah menyendera, memukul dan mengompas kita (mengompas dalam istilah anak siantar memeras). Lalu iparku menangkap pria itu lantas menginterogasi dan menggebukinya". Aku pun jadi mengerti kalimat yang dimaksud Jonly dan aku pun tersenyum puas karena dendam kami terbalaskan.

Beberapa bulan kemudian aku pun melihat pria yang menyandera kami lewat dari depan sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga yang dekat rumahku. Diam-diam kulempar batu kerikil kepalanya dan sesudahnya aku berlari kencang menuju rumahku.

Sekarang kami berempat terpisah jarak. Dengan Fridato aku masih bisa berkomunikasi lewat FB. Dan Fridato yang lulusan ITB sudah jadi orang hebat di Bandung sana. tetapi dengan Jonly dan Parlimanson putus sudah komunikasiku.