Sabtu, 10 Desember 2016

SATU PUISI DI TIFA NUSANTARA 3




Kalimantan Selatan bagai tanah lelulur kedua buatku. Setelah lahir dan besar hingga usia lulus SMA di Pematangsiantar, maka perkembangan kematangan pikiran kulanjutkan di Kalimantan Selatan, tepatnya di Banjarbaru. Selama periode Agustus 1987-April 1992 aku menuntut ilmu hingga menjadi Insinyur Kehutanan dari Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat.

Ketika direncanakan Perhelatan  TIFA NUSANTARA 3  akan dilaksanakan di Kabupaten Barito Kuala (BATOLA), tepatnya di Marabahan maka aku langsung bersemangat. Di zamanku kuliah untuk mencapai Marabahan harus menggunakan sejenis kendaraan di sungai yang disebut kelotok. Dan aku belum pernah menyinggahi kota tersebut selama kuliah. Kesempatan mengunjungi kota itu baru tercapai tahun 2014 di saat aku bertugas di Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II-Sumatera Kalimantan. Tahun 2014 ternyata sudah berdiri jembatan cukup megah untuk menghubungkan Batola dengan Banjarmasin. Kupikir, aku mendapat kesempatan kedua lagi mengunjungi Marabahan sambil bertifa Nusantara dan makan ikan saluang jika puisiku lolos kurasi panitia.

Lalu sekitar 31 Juli 2016 lewat siaran facebook Tifa Nusantara yang ditaja Mas Syarif dan Mbak Anna Maryana 2016 kuperoleh jawaban bahwa puisiku berjudul "NUBUAT RIMBA" adalah salah satu yang lolos kurasi dari sebanyak 1.872 puisi. Ada  250 puisi yang lulus kurasi.

Bahkan ketika Mas Syarif meminta konfirmasi kehadiran peserta di Marabahan, saya pun menyanggupinya. Namun apa daya, sebelum puncak acara tanggal 28-30 OKtober 2016, saya harus menjalankan kewajiban tugas dari kantor baru saya Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera dua minggu berturut-turut ke Bogor dan ke Duri. Batallah kesempatan pergi ke Marabahan.

Kekecewaan tak bisa pergi ke Marabahan akhirnya terobati setelah kuterima Buku Antologi IJEJELA Judul dari NUSANTARA 3. Inilah dia

NUBUAT RIMBA

selumbar berbelah  sembilu  dikepang  gagak gugup  kemana-mana
ikhwal nubuat rumpun kenangan kita terkepung gelagah
ingin kutangkai tapi gagak lagak berkelit  di mustahak  petaka
kami yang percaya takhyul  burung hitam penabur firasat mati
suntuk dan bergolak  di kota tiba-tiba  berwarna abu. biru jadi kelabu
punah juga setandan  ingatan seumbar merah tembaga
tempat kita gagal mencatat dan mencatut kenangan raya
jeram dan kelam datang bergulung mengurung kota

semassa benda  belantara tinggal citra relung
hilang tampak diusung trending topic ahli hisab
dibakar-bakar, sebentar  moksa  menjelma  kabar bimbang
sebagai abu, meski  terbang tampi hampa seghalib ruh
gaib disamun  penekuk yang mahir merekat-rekat alibi
ingatan anak-anak tumbuh berkerut dan lupa soal hikayat
bapanya  si penakut tak kuat  melipur  layar ke rimba  pikiran
tersesat ke masa lalu tiada, memekik di seputaran ilusi alumina
”siapa butuh kicau burung gagu, pitak rabung lumbung  retak
kusen terhuyung , dan pintu kesunyian?”

lalu kata bergurun  hilang jejak ampuh  meneduh
gegar  hijau  dimakan api, merah tak mereda-reda amarah
di kota penuh ambisi  biru pilu bersubtitusi penipu sembab kelabu
hujan peniru-niru  ikut sedang menipu-nipu hijau
sejak bunga kuning tak kunjung bunting

anak-anak tumbuh berkabut. tak ingat warna hikayat.





Selasa, 15 November 2016

PUISIKU DI BUKU DARI GENTAR MENJADI TEGAR, SENI INDONESIA BERKABUNG










Akhirnya, buku yg kutunggu tiba. Buku 'Dari Gentar Menjadi Tegar' yang memuat 38 Puisi Pilihan termasuk Puisiku berjudul 'EMPAT PERKABUNGAN BERSINGGUNGAN' yang merupakan hasil Lomba Cipta Puisi Seni Indonesia Berkabung yaitu seleksi dari 1.300 lebih Puisi. Lomba tersebut merupakan kerja sama Komunitas Seni Indonesia Berkabung dengan KPK dan 4 Perguruan Tinggi di Yogyakarta.
Setahun aku menunggu Buku ini dengan penantian yang sungguh berliku. Di selebaran awal Panitia, lomba Cipta Puisi akan memilih 70 Judul Puisi yang akan dibukukan dalam Antologi Puisi berjudul 'Di Bawah Payung HItam'. Lalu pada Pengumuman Dewan Juri disebutkan hanya layak sebanyak 38 Puisi. Pengumuman Dewan Juri dilakukan melalui web Radio Buku dan Facebook Seni Indonesia Berkabung. Biasanya Pengumuman Puisi Terpilih juga dikirim oleh panitia ke email masing-masing kontributor terpilih.

Awalnya, para kontributor dijanjikan mendapat Buku antologi puisi 'Di Bawah Payung Hitam'. Ketika kutanyakan lewat FB, panitia memintaku bersabar sekitar seminggu. Ternyata seminggu kemudian panitiamalah menyampaikan lewat FB bahwa kontributor hanya akan mendapat Katalog cetak seluruh aktivitas Lomba Seni Indonesia Berkabung. Lalu seminggu kemudian berubah lagi. Dengan alasan minim dana, kontributor hanya akan mendapat file pdf katalog. Lalu beberapa kontributor protes. Lalu laman facebook panitia mati suri tanpa pernah memutakhirkan informasi. Lalu aku pun melupakan kemungkinan memperoleh BUku antologi itu disertai amarah yang susah surut.

Untuk menghilangkan kekecewaan lalu puisiku tersebut sempat kukirim ke media dan ternyata dimuat Koran Tempo pada edisi akhir pekan 2-3April 2016.

Lalu sekitar 2 bulan lalu lalu pada laman facebook Raedu Basha termuat bahwa dia sudah mendapat katalog cetak Seni Indonesia Berkabung dengan judul 'Dari Gentar Menjadi Tegar' dengan salah satu Bab berupa Antologi Puisi Di Bawah Payung Hitam'. Lalu beberapa minggu ada email masuk ke emailku yang meminta konfirmasi alamat sebab akan dikirimi buku yang sama. Kurang lebih 10 hari kemudian, aku mendapat kriman tersebut.

Lalu kubaca isinya satu persatu. Ternyata benar, bahwa buku ini selain memuat puisi, juga memuat hasil kegiatan seni Indonesia Berkabung lainnya berupa Lomba Poster dan Teater. Dalam Buku ini juga ada beberapa Puisi Maestro Penyair Indonesia JOKO PINURBO yg menjadi salah satu Dewan Juri Lomba Cipta Puisi. Akhirnya terhibur juga hatiku. Inilah Puisiku yang terpilih dalam buku itu.


EMPAT PERKABUNGAN BERSINGGUNGAN 
(Terpilih sebagai salah satu dari 39 puisi pilihan pada Limba Cipta Seni Indonesia Berkabung dan juga telah dmuat Koran Tempo 2-3 April 2016)

 1

apa yang  kau dengar bila serigala dan luwak berbisik di punggung  bulan
selain berbincang jubah paling cemar memintal dari mangsanya
samar memerangkap mangsa  lain

pernahkah mereka terdengar  jujur bertukar rahasia memalukan
tentang bulu ayam yang tak lagi sempurna membalut muslihat
atau bulu domba  kuning menangkap tabiat  serigala?

atau mereka  berbagi pengakuan tentang darah anak domba  di celah taring
merintih tak jemu  memanggil inang di setiap tubuh  terhempas
hingga kekejaman mereka  tersungkur tertikam belas kasihan
membiarkan  lapar jemu lalu hilang kesadaran
phobia  maksud bulan bersemu tiap memancing gairah
sampai sujud melolong-lolong  pengampunan?

Pertemuan luwak dan rubah ini tak biasanya
di saat bulan pucat hilang darah
telah   pula berlalu  gairah  jam-jam pengintaian
ayam paling jantan telah subuh  terjaga
memanggil-manggil persekutuan waktu

mufakat apa yang tak perlu rahasia?
astaga, mereka bertukaran kepala!

22.2
2
domba yang tergoda
tak bercita-cita layu di penjagalan
tapi kekal harus  jatuh kepada hiruk pikuk langit penawar
terbeli nasibnya dari pecah ketuban sampai diiris hak veto
hanya ditimbang  rasa lapar,
jadilah kami tumbang bakaran
yang tak pernah dikorban sungguh-sungguh
sebagai domba putih pembasuh masa lalu

domba sesat kami. memang
tapi tak sekali pernah mengingkar  suratan
hanya termangu dalam jurang bingung
memanggil-manggilmu sedalam khusuk perih
hai gembala dari lembah kekinian
pabila membawa tongkat keberanian
menjulurkan cahaya ke ujung muasal  sesalku

domba dan gembala biasanya
beriringan ke hamparan nasib berbatu
menghalau rasa lapar bila mengintai  sampai ke ujung senja
berhitung sama-sama  dengan segenap apa melumpuhkan rasa takut
sebagai kawanan tak tercecer tinggal sedarah

kalaupun domba mengerangkan puting disesah masa nifas
jeritnya masih mengalirkan  susu sesuci  darah paskah bagi kawanan gembala
hanya letih menguras air tubuhnya terhalau serigala ke gunung sunyi

pertemuan yang tak biasa gembala dan domba
saling memunggung menilik  matahari kemana menusuk sengat

 3
Gembala dan tuan yang sepakat menyeret domba ke kejauhan
berbisik  hal rahasia peruntungan nasib sekawanan  seharkat bulu dan daging
hingga pandangannya jauh semua mesti tampak  lumrah.
kebiasaan  menenangkan domba jika takdir  saatnya  menungkup

sesekali gembala dan  tuan memotong tatap dengan senyum  lambai
dengan mantra penenung mata domba bila  terlanjur curiga
sampai sepenuhnya  lupa petaka  menghadang bila tuan datang
menghalau gembala pada sabtu dan minggu

bermulalah awal cerita kepunahan, tetua domba kata tuan mesti ikut berlibur ke kota
tapi tak pernah pulang-pulang. hanya gembala yang kembali dengan kubis dan bungkil
mengasup lenguh kawanan  sebukit kenyang .  lupa menduga-duga

seperti besok rerumputan menyibukkan mereka
sambil gembala bermain  setongkat cemeti


4
pada jurang paling malam dombalah menubruk  cahaya
dari mata bingung membandingkan beberapa  perkawanan warna
ada hijau selain  rerumputan, bungkil dan kubis memantulkan sedap
jalangnya  baru akil akhirnya tergoda mengecap

seturut lapar  mendidihkan  berahi
melajulah hasrat mematah tongkat gembala
yang acap melayar pantangan  ke atas pikirannya.
seketika seikat persekutuan tertebas dari amanat
rindu  dendam dilarikan menungkap cahaya memikat
melupakan naluri  kuat:  domba mesti berserikat

Hup! domba itu tertangkup di palung cahaya
dan tiba-tiba sebuah rupa terlihat sesungguhnya.
memagut sepenuh gairah semua sadarnya
tak ada sesal  sempat menyusup  pada darah terkucur
tangis menempel di sisa tubuh, terlunta sia-sia ke rumpun bebatuan

gembala hanya  terbangun meraung-raung jika jumlah semakin ganjil
dengan tongkat patah bingung memastikan  arah
tak terdengarnya  dimana sesal memanggil-manggil






Minggu, 23 Oktober 2016

PUISI DI BANJARMASIN POS 23 OKTOBER 2016




Sebutlah aku si penggerutu atau manusia skeptis sebab penuh tanya dan komentar sinis. Tapi aku cinta bangsa ini., Tak ingin rakyat dan tanah air ini menjadi permainan segelintir orang. Apalagi orang-orang yang bertampang pahlawan atau pendekar ternyata bertindak pemangsa. 

Tapi aku bukan pula pendekar yang siap bertarung fisik dengan orang-orang yang penuh anasir jahat itu. Hanya mampu kukabarkan lewat puisi sebagaimana dua puisiku yang terbit di Banjarmasin Post pada Hari Minggu tanggal 23 Oktober 2016.

Seorang Muhammad Daffa yang sudah rajin menulis puisi di Banjarbaru Kalimantan Selatan menelisikkku di FB, hal apa gerangan yang tersirat di belakang puisi itu. Sebenarnya dua puisi ini cukup gamblang. Hanya kupoles dalam metafor, frasa dan diksi. Temanya sesuai dengan judul " ADA KOTA YANG LAHIR SUNGSANG" dan "MENUNGGU NABI DI TRAFFIC LIGHT". Ku yakin pasti banyak orang yang punya pengalaman menakutkan di kota besar. Banyak orang telah menyaksikan aneka adegan setelah Traffic Light, baik yang terang-terangan maupun sembunyi-
sembunyi.

Minggu, 16 Oktober 2016

PUISIKU TERMASUK DALAM 100 PUISI PILIHAN SAIL CIMANUK



Selain mengirim puisi ke media cetak dan online, maka turut serta dalam Lomba Cipta puisi adalah upaya lainku untuk mengasah kemampuan mencipta puisi. Ya, mencipta puisi dengan tema tertentu yang ditetapkan panitia. Telah kuikuti beberapa Lomba baik yang berhadiah uang dan piala ataupun hanya seleksi dalam rangka Penerbitan Antologi Puisi.

Kali ini saya mengikuti  Lomba Cipta Puisi Sail Cimanuk yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Indramayu. Tema Lomba adalah "Sungai Cimanuk Sebagai Sumber Kehidupan". Adapun Dewan Juri antara lain Hamdi Salad, Kijoen dan Raudal Tanjung Banua. Nama-nama yang cukup familiar dalam kancah puisi. Maka sesuai persyaratan panitia, kukirimkan satu puisi sesuai tema dan 3 puisi sebagai pendamping yang tidak terkait dengan tema dan tidak mesti puisi baru sebagaimana puisi yang dilombakan. Barangkali sebagai pembanding. Puisi sesuai tema yang saya kirimkan berjudul "TETES PURBA DI URAT EMPAT LEMBAH". Saya perlukan waktu lebih dari seminggu untuk menyelesaikan puisi ini dengan beberapa kali perbaikan diksi, frasa dan metafor. Bahkan judul pun beberapa kali berubah-ubah. Sampai akhirnya merasa mantap walau tidak mantap sekali, kuberanikan mengirimkan puisi tersebut.

Dan Pengumuman pun tiba pada tanggal 8 Oktober 2016 pada beberapa wall fb teman-teman penyair. Puji Tuhan, dari 1.135 Penyair yang mengirimkan karyanya yang berasal dari Sabang sampai Merauke bahkan dari beberapa negara jiran,, puisiku masuk dalam 100 Puii Pilihan yang akan diterbitkan Dewan Kesenian Indramayu. Ya, aku bergembira meski tidak menyabet salah satu dari 6 juara dan hadiah uang yang disediakan panitia. Aku bersyukur mengingat baru 2 tahun ini kutekuni kembali menulis puisi setelah vakum selama 18 tahu akibat tenggelam dalam irama pekerjaan sebagai PNS.

Pada kesempatan ini saya tuliskan petikan puisiku tersebut. Sengaja hanya petikan saya tuliskan sampai kuterima Buku Antologi 100 Puisi Pilihan.

.......................
.....................
pada kisah malang  di malam paling berani
meniti sepanjang nadi pecah
sejarah melayang dari badan  dibelah-belah watak bedebah
sedalam kenangan kian tuntas  terkuras
Cimanuk berjuang rebah paling tabah
mengarungi genang linang
asal aib jangan terkabar mengambang di laut jawa

................
................................




Minggu, 28 Agustus 2016

PUISIKU DI NUSANTARANEWS.CO 28 AGUTUS 2016



Pada bulan Juli 2016 lalu, ada 3 puisiku yang dimuat Nusantaranews.co asuhan Mas Selendang Sulaiman. Lalu beberapa hari lalu, beliau menyampaikan pesan lewat inbox meminta kesediaanku agar tiga sisa puisi yang kukirim bersamaan dengan 3 puisi yang sudah dimuat dapat dimuat nusantaranews.co. Lalu ku 'ya' kan permintaan tersebut. Jadilah 3 puisiku ditayangkan disitus online tersebut. Salah satu puisi tersebut berjudul LALU SITOR ABADI DI TOBA NA SAE, seperti di bawah ini:


SITOR LALU ABADI DI TOBA NA SAE
: tanah leluhur


katamu:
atas nama yang belum selesai
mari memanen angin
berisik di perang dua bambu
bergulut kawan kawin
di sisa satu kelambu
berhimpit mencari pertemuan lampau
meski tak mampu menjinakkan arus berlalu

kubilang mari mencari  penari
sekencang tabiat mengkhusuk diri
memburu sembunyi mimpi
di sebelah  mekar  rambut padi
meski terguncang gantung bulir susu
bertangkai tak jadi-jadi

kini kemana pintamu dilayang angin
kemana penariku dipunah anai-anai
raib sebanyak rumpun-rumpun
lubang-lubang menganga menulis hampa

kaupun  menyendiri,
aku parasit lupa mantra pembelah diri 
angin dan penari anani
gaib diumpan perangai
sebisik-bisik pemaksud tak pasti
bersaji jampi di ladang mati

baik kurayu boraspati
mengawinkan padi-padi
seberahi tarian pemiara dua taji
membuntingkan berani
dari tempatmu mengekalkan sepi
agar berguru  aji melebihi kepalang  janji
agar tak selalu dibelasah ani-ani










KALI KEDUA DALAM TAHUN 2016 PUISIKU DI SUMUT POS




Ada beberapa hal yang mendasariku untuk semangat mengirim puisi ke SUMUT POS. Pertama, Koran ini sejak awal tahun 2016, telah memberikan ruang sastra yang mandiri dalam separuh halaman untuk puisi. Tahun 2015 koran ini masih menampilkan puisi-puisi yang dimuat oleh Harian Indopos, sesama group Jawa POS. Patut saya acungi jempol perjuangan Redaktur Bang Ramadhan Batubara hingga bisa mandiri memilih dan memuat puisi di Ruang Hari Puisi yang diasuhnya.. Kedua, koran ini juga lumayan menghargai jerih payak penulis, dengan mengirimkan sagu hati ke rekening penulis, tanpa perlu penulisnya merengek-rengek. Hanya beberapa koran yang saya ketahui mau mengirim sagu hati tanpa perlu konfirmasi berulang penulisnya yaitu Kompas, Koran Tempo dan Koran Sumut Pos ini. Ketiga, karena ini koran yang terbit di Sumut, secara emosional aku akan selalu tergerak memberi sumbangsih untuk meramaikan khazanah sastra orang Sumut.

Maka demikianlah dasar maksudku mengirim puisi di SUMUT POS dan telah dimuat redaksi pada Minggu 28 Agustus 2016. Ada 4 puisi yang dimuat, yaitu SEPASANG CINTA MENGGENGGAM DENDAM, MENUNGGU USIA IBU, SEHARI SEBELUM SABBAT BUNGSU dan TAK PUTUS DIRUNDUNG MALANG. Saya tampilkan salah satu puisiku tersebut di bawah ini


MENUNGGU USIA IBU
:83 kalender


akibat sejak muda tak pandai berhitung
tak faham berapa sanggup menyimpang peristiwa
ibuku bingung di loker mana ingatan bersisa
kenangan tinggal cita-cita setungkul
lupa wajah-wajah pemamah buah
menuduh tuan rabbi rampok
hendak menggunting usia

bisa tiba-tiba mencari-cari anak terkasih
yang sungguh sesunggukan di depannya
mengaduk-aduk hati tertusuk

di hari lain ibuku menenung
bagai pertapa agung
kupikir saatnya masuk pintu pikirnya
barangkali terbuka  ingatan mengayun-ayun  palungan
mulailah kuminta setandan berkat
bekal ajimat di itikad
tapi ibu tertawa menujukku si dungu usil
lancang  memperburuk wajah murung
menggagalkan percik kenangan

siapa ditenungnya, mengapa ia murung
membuatku benar-benar mutung
sebentar ia memanggilku anak sulung
sekejap mengumpatku kisanak buntung
mengeja ruang hatinya ia pun bingung
ragu dimana bilik dendam, bimbang menunjuk bilik kalam
tangan memapah dihujatnya beludak bersiasat
masa lalu dipandangnya teramat buram

hingga di suatu hari ibuku begitu ramah
bercakap-cakap tabah, bermata merekah
fasih menyebut kata-kata tuah  lama senyap
seperti membisik sesuatu pada kenangan terkarib
kutanya kepada  siapa ia mengucap-ucap
“ayahmu mengajak dari masa lalu
mengejekku terlalu lama mengusung-usung  waktu




Minggu, 26 Juni 2016

TIGA PUISIKU DI NUSANTARANEWS.CO



Kepada puisi-puisi Selendang Sulaiman aku banyak berguru tema, diksi, frasa dan metafor. Bahkan beguru diam-diam agar bisa menembus media nasional. Beberapa puisinya di Horison, Medan Bisnis dan Riau Pos dan kedaulatan Rakyat selain kunikmati juga kupelajari.

Lalu beberapa waktu lalu aku mendapat inbox dari beliau.  Perbincangan tentang  honor di satu media cetak di Medan. Menyusul lagi inbox periode ke-2 berupa perbincangan tentang permusuhan  ala anak-anak di kota Pematang Siantar yang disebut 'musuh bub-bab', yaitu suatu kesepakatan permusuhan antara dua anak yang berseteru karena suatu perkara. Kesepakatan dimana seorang anak berhak meninju bagian belakang tubuh musuhnya jika tangan kiri musuh itu alpa memegang bagian siku kanannya dari arah belakang tubuh.

Beberapa hari lalu masuk lagi inbox dari beliau. Prolog berupa percakapan basa-basi khas orang timur lalu sampai ke satu topik bahwa beliau saat ini mengelola rubrik sastra di media online bernama nusantaranews.co yaitu di rubrik inspirasi. Beliau mempersilakan saya mengirim puisi untuk dapat dimuat di media online tersebut. Sebelum ku 'ya' kan, maka kuselancar  dulu media tersebut. Ternyata isinya aduhai. Mulai dari persoalan politik dan hal-hal terbaru negeri ini, juga esai-esai budaya beliau sangat bagus dan pantas untuk pembelajaran bagi penikmat sastra dan budaya. Akhirnya kuputuskan mengirim beberapa puisi. Hari Minggu 26 Juni 2016, 3 puisiku berjudul 'RITUS AYAM', 'ASAL-USUL VOLKSRAAD NUSANTARA' dan 'HARIMONTING LELUHUR IBU' sudah tayang di nusantaranews.co/ritus-ayam-harimonting-dan-asal-usul-volksraad-nusantara/
Inilah salah satu puisiku tersebut yang merupakan puisi perdana yang tayang di media online tersebut.

RITUS AYAM


umurmu merasa berkarat menggempur kehendak waktu
sedang  aku menandai tapak  putus-putus
di bekas jembatan nasib, jejak menipis ke pucuk
segala bentuk kau baca, lupa kepalamu tinggal labirin
kepompong dianginkan pikiran sia-sia
dinding keyakinanmu  rapuh  diguntur siasat.
Jejak mulai oleng  menahan penat bertahun
keberanian jantungmu  sangsi  berguru bunyi-bunyi 
mengerat  kerak lusuh nasib yang melekat peluh segemar kesah

padahal pada wajahmu akan kupajang
pengakuan bersih sedatar kaca
menghampar maumu sampai  dipercaya
ingatan jangan lagi hanya memikirkan
cermin  pintar  menggandakan bayangan
membuat sembabmu yang sedih terlihat mengada-ada
seperti tawamu mengitari garis tangis
persis licik karat-karat yang melepuhkan
membangun tabiat sekuning hina

baiklah jangan kau percayakan mata dan perasaan
mari kita pergi menapaki  cara moyangku
memaknai perjalanan musim dari tubuh ayam
kiat temurun mengungkit mutu waktu
mengungkap  nasib karam terbenam dalam
mari seperti aku meyingkap  waktu
menyisir terang dan  gelap umur
bertubuh tampak sepanjang 17.167 ruas

mari  kutunjuk letak umurmu berkalut hitam
kuning jiwa terancam, buram keluh berdahak
jejakmu terhunjam pada masa  terjebak
kutunjuk dari sesobek perut ayam ini
terbaca  ruas demi ruas bulir panenmu
hanya dengan memaknai  usus terburai
lorong nafsumu tertebak menimbun dusta
gagal mengakali tanda-tanda
                                                                                                                       
jangan tanya ke hatimu kerap limbung
biarkan  kandung usia terurai di belahan dada ayam sesaji
seberapa timbul kelak merambatkan najis nafsumu
atau untungmu sejelas kapan terantuk batu-batu
upaya panjang batas-batas kesabaran terlihat dicerna
kuterka pada bentang 17.167 ruas umurku diagak
pasti tak jauh dari rongga kepastian itu
tak serumit caramu menghitung buah pikiran
lebih terukur jarakku setahun melaju
sebelum almanak yang kau susun-susun menunjukkan rupa

kutandai tanggal-tanggal hitam musim bermuram
tanggal-tanggal merah menyerahkan amarah
tengoklah, terpajang jadwal senyummu
persis selagak moyangku memilih musim tiba
hanya dengan sesobek dada ayam
kutandai musim tepat membuhul tunas

                        Medan, 2016




Minggu, 05 Juni 2016

SETELAH 3 TAHUN LEBIH BERJUANG, PUISIKU TERBIT DI HARIAN KOMPAS



Dari perbincangan dan dengar-dengaran dengan sesama penulis, beragam pengalaman mereka mengadu peruntungan di Media Cetak kelas nasional. Rata-rata berjuang lebih dari 1 tahun untuk menarik perhatian redaksi. Yang bertuah seperti 'Pedang' May Mon Nasution tak sampai tiga tahun untuk lulus pisau seleksi. Bang Jamil Massa harus bertarung selama 8 tahun baru dilirik harian KOMPAS meski sudah melanglang buana juga di Koran Tempo dan majalah beken lainnya. Bahkan cerita seorang sahabat, ada yang sudah menulis puisi dan cerpen selama 30 tahun tapi masih belum berjodoh dengan Harian Kompas.

Cerita kawan baik saya di dunia maya (menurut beliau hasil percakapannya dengan salah satu kartunis/ilustrator Kompas), bahwa rata-rata Harian Kompas menerima 5000 naskah puisi dan atau cerpen setiap minggu. sedangkan penulis yang laik tampil hanya seorang cerpenis dan maksimal 2 orang penyair. Jadi, untuk dilirik Redaktur memerlukan keunikan, kebaruan, kekuatan tema, tentunya juga kesabaran, kegigihan dan ridho Allah.

Maka tentu saja aku langsung memekikkan, "Luar biasa anugerah Tuhan buat saya" begitu membaca pesan inbox Bang Jamil Massa dan Anfalah Mulia yang mengabarkan ada dua puisi saya dimuat di Harian Kompas Sabtu 4 Juni 2016. Jantungku pun berdegup kencang, perasaan seperti orang melayang.  Perjuanganku belumlah apa-apa dibanding banyak para senior yang menurutku juga luar biasa hanya belum mendapat tuah dariNya. Berjuang 3 tahunan, 12 kali mengirim puisi, Tuhan sudah melayakkan diriku lewat pisau seleksi redaktur yang mumpuni. Dari 12 puisi yang saya kirim pada kali ke-12 pengiriman, akhirnya 2 puisi yang berjudul 'KEMATIAN HANG DI PAYAU DELI' ynag bertema lingkungan dan budaya Pantai Timur Sumatera Utara yang terancam serta 'CATUR VOLKSRAAD NUSANTARA' yang bertema situasi para politikus negeri ini dilirik Bli Putu Fajar Arcana. Terimakasih untuk jerih payahmu dan ketulusanmu menilai Bli.
Inilah puisi tersebut:


KEMATIAN HANG DI PAYAU DELI
  

1)
para tengku bersama hulubalang
barangkali juga angin keramat
selepas tumbuh  musim berburu laba
jatuh dibabat penyusup bernafsu pengerat

babah dan tuan kota pandai menyimpan rupa
memetik-metik rancak gelegak ombak
dihempang di kubang melintang
memetiki kelong, merongrong   parang garang
gedebum!  sejak kerontang jadi arang
rumah panggung malu berkaki panjang
diserbu  rayap bersayap gemerincing, berhati kering
petuah di tiang datuk dihempas berguling-guling
raungnya  diraun-raun pantun

ikan-ikan gagal menanam silsilah
pulang  di tengah musim
bersama arus-arus pembawa kepiting
dipalang  dada tanjung
terusir ke seberang
punah di palung

2)
payau segera mengubur rupa
dibunuh berbatang-batang  hantu perantau
dibawa pemuja  musim khalwat
tenar sekarang bergelagat di baris pantai
cepat dan pandai mengisi pundi
menguras masa lampau sekukuh mpu
penghulu ikut  terpukau
pemburu laut ramai-ramai diserbu racau
dirasuk pelarian hantu bakau
Hang pun  terkurung malu
gagu di  lorong lereng karang
berjaga tak segigih pasukan  kekar pelebur debur
sia-sia menunggu peziarah bertandang

siapa orang kampung kagum memandang
kalau tak bisa berkacak pendekar
sejantan dua pemarang memuncak perang?
pendekar  hanyalah nama tafakur
jika terhuyung membawa takdir
tinggal  tulang bergelimang gamang
pelan-pelan dikikis habis gerimis tangis

pengakar itikad sepanjang lengan
kekal bermusim-musim  menyekap perjalanan  selat
menggantang cermat rampasan sebunting tandan
seramai armada bertaji maut, serakus gerigis bergelut
menyeruput kering  air tubuh negeri gagah
terkubur si buyung  lupa berniat laksamana 

3)
selagak-lagak lanun berguru di pangkal
tuan Demang ikut berakal dangkal
serupa koloni tumbuh bermuslihat nakal
sepakat meliang-liang  maksud menggoyang hikayat
sunguh tak disangka pendek tirakat
nakal berbisik-bisik mengguling Hang 
menggulung  jasadnya  serahasia payau hilang
lihat, mesti banyak serempak doa berkalang
dalam sekejap tak  ada kubur penanda maut  dapat kau susur
ombak  terperangkap tak mau menunjuk sisa bencana
di tanjung  yang kau pikir asal hikayat
hanya kabar-kabar burung mati mengapung

penghulu kampung takkan membawa sesaji
tanda sepakat menyanjung  ruh jembalang laut
menghujat Hang dan laut sekedar penepi
pecahan sekutu ombak tak setia di musim maut
penyebab lambung sekampung borok berkarat
tak patut disanjung, sebab menggiring
hanya sekerat berkat dapat dijerat
di muara ramai pengerat

pada koloni menggantung pundi berikat-ikat
tuan demang, penghulu dan  sekampung sungguh kepincut
genap menyerah sembah, mau dipasung  mengusung-usung  mimpi
gadis-gadis  penunggu emas pun  rela menanggal cemas
bosan  menunggui Hang berjuang tiba
pulang paling merayu  di pantun purnama






CATUR VOLKSRAAD NUSANTARA


menabalkan akal, duli mengangkat kuli
raja tuli memungut siasat Sisah
percaturan satu serdadu  dituntun  jadi  tujuan
tujuh bidak jelata sudah kurban  membuka jalan
dua gajah mati di sisi petak satu dan delapan
dihimpit benteng idaman  di langkah sembunyi tiran

delapan tumbal  gugur satu-satu
menggenapi sejarah jengah  rubuh masa lalu
tak satu sempat menagih-nagih
janji semusim upah

di atas dua barak rubuh, dikubur  para serdadu
tumbuh  kastil penggiring penjuru
bidak tanggal belulang  dikurung waktu
raja berkilah itu menara dituju
jelma kemakmuran upah serdadu
dua tempat  raja dan ratu bercumbu
di dua persil  menteri perdana memetak  ragu
bermain umpet dan dadu
menakar-nakar peluang   tak tentu
dikawal dua jago tega sekebal batu penjuru
berkuda  inkarnasi bayangan 

tak nampak  murung mesti dibedaki
mata berlinang tak  melarung daki
hitam-putih di petak  tampak tumbuh serasi
sudah punah dataran hijau-kuning 
dua raja di luar kastil akur bermain seluncur kalbu
mengulur-ulur waktu
dalam perang tak kalah-kalah menunggang  ragu
kemenangan  tak jadi mangsa diburu-buru
dipakat cincai separo-separo