Rabu, 21 Januari 2015

PUISIKU DI BANJARMASIN POST




Kalimantan Selatan adalah Provinsi yang menyimpan banyak kenangan. Ada masa-masa ku culun di sini, ada masa-masaku serius kuliah,ada masa-masa jatuh cinta, ada masaku menikmati itik alabio panggang yang khas termasuk juga masa-masa diriku sangat aktif menulis puisi. Pada Periode 1987-1992 meski aku tak pernah mengirim karya ke koran, tetapi karya puisi dan cerpenku rutin mengisi halaman Warta Sylva yaitu buletin kampus Fakultas Kehutanan Unlam, dimana aku duduk sebagai salah satu redaksi. Di samping buletin tersebut, aku juga rutin mengirim karya puisi ke Radio Mercu Clan (kemudian berubah nama menjadi Bahana Nirmala). Hampir tiap minggu puisiku dibacakan oleh berganti orang yang ditunjuk pengasuh Ruang Sastra Radio itu yang bernama Fakhrudin. Setelah puisi dibacakan, maka Bung Fakhrudin akan mengulas puisi itu. Dia begitu paham teknik apresiasi puisi sebagaimana dia paham banyak penyair nasional dan karya-karyanya. Dia juga punya banyak sumber bacaan filsafat, sastra dan buku humaniora lainnya sebagai rujukan untuk membahas puisiku. Ya, pada masa itu orang Kampus mengenalku sebagai si Pembuat puisi, si pembuat cerpen disamping si Mahasiswa Berprestasi III Tahun 1990 Fakultas Kehutanan UNLAM

Pernah suatu ketika ada permintaan dari Ketua Senat yang mengharapankan siapa saja yang bisa mengarang puisi dapat menulis puisi buat dibacakan pada saat pelepasan kakak kelas yang telah jadi sarjana. Aku mengirim puisiku  dan terpilih dari beberapa puisi yang masuk. Tepat pukul 00.00 WITA di suatu subuh, puisi itu kubacakan dikelilingi kakak kelas yang sudah lulus hanya dengan diterangi senter yang dipancarkan sahabatku Benyamin Situmorang di Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Unlam di Mandiangin (Sekarang bagian dari Taman Hutan Raya Sultan Adam). Puisi itu pun beberapa waktu kemudian kukirim juga ke Radio Mercu Clan. Seperti biasa puisi itu dibacakan dan diulas dengan serius oleh Bung Fakhruddin.

Hingga suatu ketika aku mendapat undangan untuk menghadiri Temu Sastra Radio Mercu Clan di suatu Gedung Serba Guna di bilangan Martapura. Aku sudah lupa namanya. Ternyata temu sastra itu dipandu oleh Sastrawan Nasional Asal Kalimantan Selatan bernama Ajamuddin Tiffani. Beliau pada kesempatan itu menyampaikan ulasan terhadap seluruh karya puisi yang masuk ke Radio Mercu Clan sepanjang tahun tersebut sekitar tahun 1991. Ketika ada kesempatan diskusi aku sempat berdebat cukup lama dengan sastrawan tersebut tentang beberapa hal dimana kami berbeda pendapat. Setelah debat kami selesai, teman-teman penyair lain yang diundang memberi tepuk tangan meriah. Aku menyangka bahwa temu sastra itu hanya pertemuan rutin untuk pembelajaran dan sharing menulis puisi saja. Ternyata Pertemuan itu adalah juga untuk penilaian 20 Karya Terbaik Puisi yang dibacakan sepanjang tahun itu di Radio Mercu Clan. Dan puisi yang berjudul DI TEMPAT INI KEMENANGAN ADA yang pernah kubacakan di hadapan kakak kelas yang sudah jadi sarjana termasuk diantara 20 Puisi Pilihan. Itu baru kutahu setelah beberapa bulan kemudian, Sondang Dairi Manullang, adik kelasku di Fahutan Unlam menyerahkan Piagam penghargaan atas namaku. Ternyata baru kutahu, Bung Fakhruddin menyewa salah satu kamar di rumahnya. Dan baru kutahu juga Bung Fakhruddin ternyata adalah mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat juga.

Sekarang aku tak tahu dimana Bung Fakruddin berada dan Radio Mercu Clan yang berubah nama menjadi Bahana Nirmala pun sudah almarhum, demikian halnya dengan Bapak Ajamuddin Tiffani sudah menghadap Tuhannya. Puisiku yang termasuk 20 puisi terbaik itu pun tak kutahu dimana keberadaannya karena aku tak memegang arsipnya lagi. Tertinggal di banjarbaru, kemudian hilang bersama klipingan puisi dan cerpen ku yang lain ketika Kakakku sekeluarga pindah ke rumah baru saat aku sudah mulai bekerja sebagai PNS di Medan. 

Mengenang Kalimantan Selatan yang penuh dengan pengalaman indah membuatku memberanikan diri mengirim puisi ke Banjarmasin Post beberapa waktu yang lalu. Alasan itulah yang kuungkapkan mengawali kalimat di emailku yang kutujukan pada redaksi. Puji Tuhan, karyaku layak muat pad atanggal 18 Januari 2015. Serasa aku hidup di masa muda di Banjarbaru. Ada 2 puisiku, yaitu: 'KETIKA AKU BACA SURAT KABAR INI' dan "DI PASAR SIMPANG LIMUN"



KETIKA AKU BACA SURAT KABAR INI


Hari ini dua puluh anak Teweh
telah merdeka dari bayang-bayang
Di jantung Teweh
telah mengalir darah beku
menyusur sungai-sungai
sampai juga matahari bara
menusuk kusut kabut
Ada karnaval menggaungkan lagu anak-anak merdeka
dan derap yang teratur disusui komando
Dengarlah, anak-anak itu tak nampak tulang rusuknya

Hari ini juga ada dua puluh anak Teweh
terbelenggu di Kusir
sia-sia berontak kepada peradaban
yang menikam di jantung indera
Dengarlah, tak ada requiem menggaung menggesek kamboja
lalu burung-burung kecil itu entah kemana
Hujan, hujan yang menangisi anak-anak itu
(Mestinya mereka tahu, anak-anak itu
tinggal punya tulang rusuk)


 DI PASAR SIMPANG LIMUN

Hey,  inang  jumpa lagi senyummu.
pagi ini, entah berapa hitung minggu
aku memilih keberuntungan yang kau jaja
selalu kita sepakat walau dimulai argumen tinggi rendah
sampai tangan kita akur, ikhlas   menukar untung masing-masing
sekepal daun kehidupan, pedas cabai rawitmu memuaskan  isteriku minggu lalu

Pindah dulu aku inang ke tempat  kakek itu menjual kehidupan
gerombolan dua puluh betina merah,  pinggulnya menggodaku
asal saja dia betina danau, kubawa pulang buat putriku
minggu lalu betina lumpur telah mengakhiri tawa kami.
sungutnya menjadi, untungku tak berarti

Di tiap persikuan petak ini aku belajar tahan uji
menakar   kejujuran, menaklukkan basa-basi inang dan kuli
menandai teriak  dua tiga anak kecil di pagi buta mengalihkan mimpi
berkelit mesti dengan banyak cara  mencuri-curi  
memastikan nilai tukar tawa  sama bernilai tinggi
memilih sayur, seonggok daging, sepasang sepatu bebas dari   gumpalan bual janji
agar ibu putriku tetap berdendang di pinggir kuali.

menakar  keberuntungan disini mesti  dengan  hati-hati
mana yang alibi, mana yang janji semua tampak seperti hakiki
setandan pisang wangi, kuning karbit  atau asli
perempuan setengah tua mulutnya lalu nyinyir
apakah sekedar gertak atau intimidasi  kita harus berkali

tak perlu surut nyali.











Rabu, 14 Januari 2015

TIGA PUISI KU YANG DIMUAT HARIAN ANALISA


Pada Tanggal 14 Desember 2014 lalu, tiga puisiku dimuat harian Analisa Medan pada Rubrik Rebana asuhan Bang Idris Pasaribu. Tentu rasa senang menghinggapi. Bukan persoalan honor, tetapi kepuasaan batin karena hasil kontemplasi dari campuran pemikiran dan sublimasi pengalaman yang dipadatkan menjadi puisi dapat dishare pada banyak pembaca, khususnya peminat sastra.

Ketiga puisiku tersebut adalah: Sejarah Timotya, Pencari Tuhan Yang Sesat dan Yang Ingin. Adapun sejarah lahirnya puisi tersebut dapat kuungkapkan sebagai berikut:
'Sejarah Timotya' lahir dari peristiwa duka dalam keluarga lae (ipar) saya, adik lelaki istriku yang harus pupus harapan oleh karena anak yang didamba bertahun-tahun mangkat sebelum lahir. Ya, Mangkat hanya dua bulan satu minggu dari rencana manusia. Tapi Tuhan pasti punya rencana terindah yang lain buat lae kami tetapi harus diuji loyalitas dan ketabahannya menjalani hidup. Tuhan mau loyalitas dan kepasrahan itu harus meningkat dulu. Karena jasad Timotya sudah sempurna sebagai manusia maka dia berhak dicatat dalam sejarah kehidupan ipar saya meskipun menurut Adat Batak belum terbilang. Biarlah lewat Puisi keberadaan Timotya akan senantiasa tercatat tanpa harus di Akte Kelahiran.

Puisi 'Pencari Tuhan Yang Sesat' berawal dari fenomena betapa mudahnya untuk mengaku seorang ulama di negeri ini. Dengan membungkus tubuhnya dalam berbagai simbol-simbol agamis, maka jadilah dia seperti pembawa suara kenabian. Tak perduli Sosok berjubah ini mencampuradukkan hal politik dan duniawi yang gemerlap sebagai sandingan surga yang maha suci. Tak sedikit yang terpengaruh, bahkan ikut menebarkan kesesatan tentang hakekat Tuhan, hakekat Surga dan hakekat kasih dan rahmat.

Puisi  'Yang Ingin' lahir dari upaya menemukan pasangan hati yang bertahun-tahun dimohon dan dipinta kepadaNya, akhirnya terkabul pada 4 Juli 1998 pada sesosok Melvi Juliwaty Sinaga, S.Hut, MSi. Puisi ini mengalami sedikit pengeditan oleh redaksi. Kata-kata YANG pada tiap bait puisi dipotong redaksi. 
Inilah Ketiga puisiku tersebut:



SEJARAH TIMOTYA

Di batas semua ada
rahasia kita rapi terjaga
tak kusangka mula  alifmu tertunda
Di separo hidupku manusia
meski tak bergaris sempurna
dalam diam kata
rohmu terbilang nyata.
Sekalipun sekedip mata engkau ada
di ruang waktuku jelas kubaca, kubaca.
Engkau membawa tuahku sememangnya tua
di jengkal kita berjarak aku bertambah nama
bahkan dalam lara yg terpeluk ada
sedang engkau kutitip tanpa nama
Timotya
Timotya.
aku dahaga

Stella Maris Medan, 4 Agustus 2014
RIP Timotya


PENCARI TUHAN YANG SESAT

Nyatanya kebenaran sudah tertentukan sebelum percaya seluas apa pikir Tuhanmu. 
meskipun dengan raung dan tanda-tanda lahir terpetakan,  pengakuan mana hendak  kau mula 
jika tak tuntas bersapa salah.
lalu apakah dalam pikirmu:  Yang  tak bermula  awal dan bertanda akhir  bisa dimulakan 
dan dihentikan dengan panjang kata  dan titik henti iqra   setinggi dalilmu saja?
Lalu semua  najis mana  yang minta kau lepas dari banyak  rahasia kata raga
jika maumu  sedu mu saja yang  jujur bersahaja  berbalas pahala.
sementara  batasmu kau  takarkan  pada  batasNya tak berbatas
terlalu banyak kata cintamu lebih benar  bahkan  lebih  dari penyamun
yang   menyerah tangis tak perlu kata.
Duh, Serupa seperti moyangmu, jahatmu mengulang latah yang sama
membatas surga  pada besar silsilah keluarga
dengan sejarah  direka-reka
melarang Tuhan datang pada semua
dengan rupa
dan tanda berbeda.
           
Medan, 15 Agustus 2014


                         
YANG INGIN

Yang ingin kurampok dari hatimu
Hanyalah kasih sayang
biar jadi kaya segenap rasa hatiku
biar tercampak segala kemiskinan sukacitaku.
dan aku bisa lelap dalam kasih sayang

Yang ingin kubangun dari hatimu
adalah rumah harapan
biar hadir jendela kenyataan dalam diriku
biar tercampak segala petualangan
Dan aku bisa diam dalam rumah kasih sayang