Sabtu, 10 Desember 2016

SATU PUISI DI TIFA NUSANTARA 3




Kalimantan Selatan bagai tanah lelulur kedua buatku. Setelah lahir dan besar hingga usia lulus SMA di Pematangsiantar, maka perkembangan kematangan pikiran kulanjutkan di Kalimantan Selatan, tepatnya di Banjarbaru. Selama periode Agustus 1987-April 1992 aku menuntut ilmu hingga menjadi Insinyur Kehutanan dari Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat.

Ketika direncanakan Perhelatan  TIFA NUSANTARA 3  akan dilaksanakan di Kabupaten Barito Kuala (BATOLA), tepatnya di Marabahan maka aku langsung bersemangat. Di zamanku kuliah untuk mencapai Marabahan harus menggunakan sejenis kendaraan di sungai yang disebut kelotok. Dan aku belum pernah menyinggahi kota tersebut selama kuliah. Kesempatan mengunjungi kota itu baru tercapai tahun 2014 di saat aku bertugas di Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II-Sumatera Kalimantan. Tahun 2014 ternyata sudah berdiri jembatan cukup megah untuk menghubungkan Batola dengan Banjarmasin. Kupikir, aku mendapat kesempatan kedua lagi mengunjungi Marabahan sambil bertifa Nusantara dan makan ikan saluang jika puisiku lolos kurasi panitia.

Lalu sekitar 31 Juli 2016 lewat siaran facebook Tifa Nusantara yang ditaja Mas Syarif dan Mbak Anna Maryana 2016 kuperoleh jawaban bahwa puisiku berjudul "NUBUAT RIMBA" adalah salah satu yang lolos kurasi dari sebanyak 1.872 puisi. Ada  250 puisi yang lulus kurasi.

Bahkan ketika Mas Syarif meminta konfirmasi kehadiran peserta di Marabahan, saya pun menyanggupinya. Namun apa daya, sebelum puncak acara tanggal 28-30 OKtober 2016, saya harus menjalankan kewajiban tugas dari kantor baru saya Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera dua minggu berturut-turut ke Bogor dan ke Duri. Batallah kesempatan pergi ke Marabahan.

Kekecewaan tak bisa pergi ke Marabahan akhirnya terobati setelah kuterima Buku Antologi IJEJELA Judul dari NUSANTARA 3. Inilah dia

NUBUAT RIMBA

selumbar berbelah  sembilu  dikepang  gagak gugup  kemana-mana
ikhwal nubuat rumpun kenangan kita terkepung gelagah
ingin kutangkai tapi gagak lagak berkelit  di mustahak  petaka
kami yang percaya takhyul  burung hitam penabur firasat mati
suntuk dan bergolak  di kota tiba-tiba  berwarna abu. biru jadi kelabu
punah juga setandan  ingatan seumbar merah tembaga
tempat kita gagal mencatat dan mencatut kenangan raya
jeram dan kelam datang bergulung mengurung kota

semassa benda  belantara tinggal citra relung
hilang tampak diusung trending topic ahli hisab
dibakar-bakar, sebentar  moksa  menjelma  kabar bimbang
sebagai abu, meski  terbang tampi hampa seghalib ruh
gaib disamun  penekuk yang mahir merekat-rekat alibi
ingatan anak-anak tumbuh berkerut dan lupa soal hikayat
bapanya  si penakut tak kuat  melipur  layar ke rimba  pikiran
tersesat ke masa lalu tiada, memekik di seputaran ilusi alumina
”siapa butuh kicau burung gagu, pitak rabung lumbung  retak
kusen terhuyung , dan pintu kesunyian?”

lalu kata bergurun  hilang jejak ampuh  meneduh
gegar  hijau  dimakan api, merah tak mereda-reda amarah
di kota penuh ambisi  biru pilu bersubtitusi penipu sembab kelabu
hujan peniru-niru  ikut sedang menipu-nipu hijau
sejak bunga kuning tak kunjung bunting

anak-anak tumbuh berkabut. tak ingat warna hikayat.