Kamis, 11 Desember 2014

PUISIKU DI RUBRIK REBANA HARIAN ANALISA


Dulu saat di zaman SMA, aku mendambakan puisiku bisa lolos seleksi dan dimuat di Haran Analisa. Pada saat itu naluri pencarian jati diriku bergumam: Puisi dimuat di Rubrik  Rebana Analisa atau di Rubrik  Budaya Waspada menjadi tolak ukur disebut penyair Sumut. Dan memang hampir semua sastrawan nasional asal Sumut pernah menulis puisi di harian tersebut.

Namun sampai aku tamat SMA niatku tak kesampaian untuk menampilkan puisi di kedua rubrik. Satu kelemahanku: kurang percaya diri! Tak kutahu penyebabnya apakah disebabkan secara lahiriah aku bukan lahir dari keluarga intelek atau orang kaya. Padahal secara darah, di tubuhku juga mengalir titisan Raja Ihutan Simanjuntak dari Sigumpar yang berputrikan nenek yang melahirkan ibu. Namun khusus di Harian Waspada besar juga rasa percaya diriku  tumbuh. Karena puisi yang pernah kukirim ke Harian itu malah terbit di Majalah Dunia Wanita yang masih satu group usaha dengan koran itu. Bahkan kebanggaan ku itu masih tersimpan karena Redaktur Sastra di Majalah Dunia Wanita itu adalah Bang Raja Mulia Nastuion yang kukenal saat kami sama-sama sebagai pemenang pada Lomba Cipta Puisi RRI Nusantara I dalam HUT Kemerdekaan RI Tahun 1985.

Tahun 2014 hasrat menulis puisi di Harian Waspada kuurungkan karena kulihat Rubrik  Budaya terlalu royal menerima puisi sehingga puisi yang terbit kebanyakan seperti puisi remaja. Jauh dari level puisi para penyair yang penuh kematangan dalam diksi, rima dan irama. Rubrik Budaya Waspada dalam penglihatanku sudah seperti  di zamanku sering menulis di Harian SIB dulu, sedang diriku sudah bertambah tua. Namun  hasrat mengirim puisi ke Rubrik Rebana Harian Analisa tetap ada karena seleksi yang cukup ketat oleh Bang Idris Pasaribu selaku Redaksi masih kuat karena hanya 3-5 puisi yang lolos seleksi untuk diterbitkan setiap hari Minggu. Dan syukurlah, rasa percaya diriku tidak lagi selemah zamanku remaja hinga terbitlah puisiku di Harian Analisa Rubrik Rebana pada tanggal 3 Agustus 2014 seperti di bawah ini





MUKA KACA PENUH LUKA


muka kaca penuh luka
di atasnya wajah putih berbalut duka

muka kaca penuh luka 
dahan ranting menggoresnya
di atasnya wajah kita pisah dua

muka kaca penuh luka
langit bumi tak tergambar
lebih buruk dari tahi mata
di wajahmu

muka kaca penuh luka
dari semalam tak bermuka

muka kaca penuh luka
kau bawa entah kemana



KELAHIRAN
dirgahayu Yemi dan Like (Keke)

dari pijar bulan menggairah tubuh sinar
lalu  tiap warna jadi ritus
aku tahu bunga mekar juga di sinar ke sepuluh
lalu warna jadi sakral.
makin suci dari tubuh bianglala

warna bunga jadi menggairah juga
di sinar ke sepuluh betapa agung kuncupnya,
kuncupnya mengecup angin dikecup kupu
aku tahu juga bunga tak akan tersipu
menggairah juga suara
“cepatlah mulai upacara, cepatlah
karena sinar kesebelas warna tak nyala
tak lagi ritus cepatlah mulai, cepatlah
karena: betapa agung kuncup menganga”
(adikku menujum lilin jadi nyala)

Rabu, 03 Desember 2014

DISANDERA






Setelah menjadi anak sekolahan SMP sampai perguruan tinggi diriku termasuk yang malas bepergian keluar rumah kecuali saat kelas 2 sampai dengan kelas 3 SMA (saat aku aktif menulis di koran dan punya teman karib sesama penulis yang tinggal di jalan KemiriSiantar, seperti Albert Marbun, Togar Sinaga, Charles Purba, Leonard Marbun). Namun di masa sekolah dasar sekitar tahun 1979-1981, diriku termasuk anak energik sedikit bandel menurut istilah sekarang dan suka bermain ke luar rumah hingga jauh. Di masa kecanggihan teknologi dan transportasi yang belum sehebat sekarang, area permainanku tak sebatas di wilayah tempat tinggal di gang Pitola. Selain teman satu sekolah di SD HKBP Tomuan yang berasal dari beberapa kelurahan, aku juga sudah punya jaringan pertemanan sampai jalan Silboga, Jalan Nias, jalan Nusa Indah dan jalan lain yang ada di Siantar yaitu para temanku yang les bahasa inggris di Gandhi Memorial jalan Sutomo. Sebutlah temanku di tempat les itu antara lain Aqua Dwipayana (sekarang motivator di lingkungan TNI dan juga tim seleksi menteri versi DETIK.COM). Aku juga punya teman si anak nias bermarga Zulu bahkan  seorang tionghoa yang sudah lupa namanya pernah memberiku obat panas bermerek juan cit. Teman-teman SD yang sangat akrab denganku antara lain: Tunggul Maurits Pandapotan Lubis, Jonly Simanjuntak, Parlimanson Siallagan dan Fridato Dolianto Sitohang..Untuk berjumpa dengan teman-temanku tersebut maka jarak yang cukup jauh selalu kutempuh dengan berjalan kaki. Selain aku tak punya sepeda sebagaimana lazimnya kebiasaan anak kecil sekarang, rute kendaraan umum pun tak seperti sekarang ini yang sudah over rute sampai ke gang tak berpenghuni. Di zaman kami SD rute angkutan kota masih sebatas Jalan Meredeka-Jalan Sutomo-Jl Medan-Parluasan. Seringkali ibuku khawatir dan mencari kesana kemari, bertanya ke setiap kawan kalau-kalau ada dirumahnya, padahal aku bermain sampai ke lain keluarahan tanpa memberitahu ibuku.

Pernah di suatu masa itu, aku, Fridato, Jonly Simanjuntak dan Parlimanson Siallagan bermain  di rumah Jonly Simanjuntak di Tomuan A. Biasanya kalau kami bermain ke rumah Jonly, hanya bisa bertahan satu jam di rumahnya. Setelah itu kami akan ngelayap ke persawahan yang tak jauh dari kediamannya. Apalagi yang kami kerjakan kalau tidak masuk ke saluran air untuk menangkap ikan sepat, ikan gabus, ikan lele atau syukur-syukur bisa dapat ikan mas. Demikian juga di suatu hari, setelah bermain di rumah Jonly beberapa jam, lalu kami sekawanan, memutuskan ingin mandi di Siabal-abal suatu tempat sekitar 1 km dari rumah Jonly. Meskipun jaraknya hanya 1 km  tetapi ketika itu Siabal-abal masih masuk wilayah kabupaten Simalungun. Wilayah siabal-abal ini (kampung masa kecil Nurdin Tampubolon Anggota DPR dari Hanura).  pada masa itu panoramanya lebih mirip panorama persawahan di Tapanuli. Masyarakatnya pun berkomunikasi dengan nuansa batak yang kental baik dalam percakapan maupun adat istiadat. Bahkan ternak babi berkeliaran di sekitar rumah penduduk maupun jalan perkampungan. Sekarang Siabal-abal sudah padat rumah, sawah berkurang drastis, bahkan kolam besar alami pun sudah tak ada lagi. Kami memutuskan ke Siabal-abal karena ingin melihat kolam besar alami seluas 1 Ha (Dalam bahasa batak kolam besar ini disebut Ambar) yang mengalirkan air pancuran sejuk di salah satu sudutnya. Orang kampung Siabal-abal biasa mandi di pancuran tersebut. Konon katanya di kolam besar (bahasa Batak:Ambar) banyak ikannya namun tak seorang pun penduduk  berani menjala atau memancingnya karena beredar cerita bahwa kolam itu tempat paru hantu berkumpul. Kalau ada yang menangkap ikan disana katanya bisa sakit demam mendadak dan mati. Bahkan Kalaupun ada yang berhasil menangkap ikan dan membawanya pulang maka ketika dimasak ikan itu tetap mentah dan orang yang memasaknya pun bisa mati tiba-tiba.Wallahuallam.

Setelah kami puas melihat-lihat pancuran tersebut yang terkesan cukup angker karena penuh belukar di sekelilingnya kecuali di area pancuran, kami pun cuci muka di pancuran tersebut. Meski air pancuran tersebut bening dan dingin menyegarkan, kami tidak mandi disitu karena berniat  akan mandi di salah satu bendungan kecil di pinggir kampung Siabal-abal. Di pancuran kami tak bisa berenang dan melompat-lompat ke air sehingga kami anggap kurang asyk mandi di pancuran tersebut. Alasan lain karena kami pun agak takut dengan suasana angker kolam besar tersebut.

Akhirnya tibalah kami di bendungan kecil itu. Kami berempat pun segera melepas pakaian tanpa malu-malu. Lalu tertawa haha hihi sambil melompat ke air, lalu bercerita dan teriak-teriak pula dengan senangnya. Ada sekitar setengah jam kami lakukan hal tersebut. Ketika sudah merasa cukup mandinya akibat mulai kedinginan, kami pun naik ke darat untuk memakai baju dan celana. Olala, celana hilang tak ada di tempat kami meletakkannya. Pada saat kami mengitari bendungan itu, tiba-tiba seorang remaja berusia anak SMA yang badannya lebih besar dari kami menghadang. Lelaki itu mengertak sambil memegang celana kami. Dengan lagak seperti preman dia menginterogasi dan menakut-nakuti kami. Lalu kemudian pria tersebut merogoh kantung celana kami yang dipegangnya. Karena tak menemukan uang di saku celana kami itu, dia mengancam menyandera  dan menyuruh Jonly pulang untuk ambil uang tebusan.Kami pun bermohon-mohon agar dilepaskan dan bilang kami memang tak punya uang. Laki-laki itu semakin membentak kami. Tiba-tiba Jonly teriak-teriak histeris dan menangis kencang. Pria tersebut rupanya takut juga dengan suara kencang Jonly akan terdengar orang kampung. Pria itu lalu melempar pakaian yang dipegangnya ke arah kami. Tapi sebelum pergi, dia mengetuk kepala kami satu persatu.

Aku berupaya tidak mengingat peristiwa itu sampai dua minggu kemudian Jonly cerita padaku: "Dendam kita sudah terbalas", katanya. Aku bingung. Lalu dia melanjutkan ucapannya: "Kemarin pria yang menyandera kita lewat dari depan rumahku. Begitu kukenal wajahnya, aku teriak panggil iparku dan bilang pria itu telah menyendera, memukul dan mengompas kita (mengompas dalam istilah anak siantar memeras). Lalu iparku menangkap pria itu lantas menginterogasi dan menggebukinya". Aku pun jadi mengerti kalimat yang dimaksud Jonly dan aku pun tersenyum puas karena dendam kami terbalaskan.

Beberapa bulan kemudian aku pun melihat pria yang menyandera kami lewat dari depan sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga yang dekat rumahku. Diam-diam kulempar batu kerikil kepalanya dan sesudahnya aku berlari kencang menuju rumahku.

Sekarang kami berempat terpisah jarak. Dengan Fridato aku masih bisa berkomunikasi lewat FB. Dan Fridato yang lulusan ITB sudah jadi orang hebat di Bandung sana. tetapi dengan Jonly dan Parlimanson putus sudah komunikasiku.



Jumat, 07 November 2014

ARTIKELKU DI HARIAN ANALISA MEDAN



Oknum vs Lembaga

Harian Analisa, Jumat, 7 November 2014 | Dibaca 59 kali
Oleh: Ir Bresman Marpaung. Bagi Umat Katolik kata oknum dapat bermakna suci, sakral atau setidak-tidaknya sesuatu yang positif. Kata tersebut merujuk pada penyebut diri Tuhan, kesatuan antara Bapak, Anak dan Roh Kudus. Perjalanan waktu dengan berbagai peristiwa serta persinggungan komunikasi, perilaku peradaban dan kebiadaban akhirnya mengakibatkan kata 'oknum' tersebut mengalami degradasi menjadi 'peyoratif'. Keagungan dan kehormatan kata 'oknum' tersebut menukik tajam menjurus hina, terlebih oleh ucapan pembelaan pemangku kewenangan, aparat, organisasi masyarakat (ormas), pers dan birokrat terhadap lembaganya menjadikan kata 'oknum' menjadi bermakna 'perseorangan', pribadi atau anasir yang kurang baik sebagai jalan keluar suatu tuduhan.
Kata 'oknum' menjadi sama populernya dengan kata 'kambing hitam' di negeri ini yang dipakai menetapkan dan membatasi penyebab peristiwa/masalah/kejahatan/keburukan kepada satu atau dua orang saja guna melepaskan diri dari jerat menggurita yang bisa menarik sekaligus banyak subyek bahkan seluruh subyek dalam lembaga.
Ketika seorang Ketua Partai diciduk Komi
si
 Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu, maka para petinggi partai lainnya segera melakukan konperensi pers guna klarifikasi bernada pembelaan bahwa penangkapan ketua partai tersebut tidak bersangkut paut dengan kehormatan dan kebesaran partai tetapi murni tindakan pribadi oknum yang bersangkutan. Untuk menegaskan bahwa perilaku jahat salah satu petinggi partai tersebut lepas dari sasaran dan tujuan lembaga, mereka menyatakan bahwa tindakan oknum itu tidak sepengetahuan mayoritas para petinggi partai lainnya. Pembelaan lembaga lalu mereka tingkatkan lagi dengan cara melakukan rapat 'luar biasa' yang memutuskan seseorang yang lain menjadi ketua partai baru. Ketua partai baru tersebut lalu berkeliling negeri untuk membersihkan citra lembaga lewat pernyataan oral. Bahkan ada partai yang tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap perlakuan kejahatan dari pemimpin partainya dengan bersembunyi di balik kalimat 'praduga tak bersalah' dan yang bersangkutan pun tidak mengundurkan diri sebagai keteladanan.
Lalu ketika beberapa anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) melakukan demonstrasi yang akhirnya menjurus anarkis yang menimbulkan korban, sejurus kemudian ketua organisasi partai tersebut membuat pernyataan di televisi bahwa ormas tersebut adalah ormas yang melakukan demonstrasi dengan cara damai dan mendapat ijin dari aparat.
Adapun tindakan tak beradab beberapa anggotanya adalah tindakan 'oknum' yang terpancing untuk emosi sehingga tanggung jawab anarkisme bukan tanggung jawab lembaga melainkan tanggung jawab oknum. Bahkan selanjutnya pimpinan lembaga itu mengeluarkan pernyataan bahwa kegiatan demonstrasi mereka telah 'ditunggangi' anasir luar yang memprovokasi terjadinya tindakan anarkis. Lembaga dan beberapa oknum mereka justru menurut pemimpin ormas tersebut hanya korban permainan pihak lain sehingga tak sepatutnya disalahkan.
Tidak Berani Sendiri
Lalu peristiwa lain dalam penangkapan pejabat teras suatu lembaga, besoknya pemimpin tertinggi lembaga tersebut segera melakukan jumpa pers untuk mengabarkan kepada khalayak bahwa perilaku jahat pejabat yang ditangkap tersebut bukan mewakili lembaga tetapi tanggung jawab pribadi oknum yang bersangkutan. Meskipun kemudian lewat proses pengadilan, masyarakat tahu bahwa proses kejahatan oknum tersebut tidak berdiri sendiri baik melalui bukti surat, rekomendasi, paraf, tanda tangan, rapat, telpon, sms ternyata kejahatan tersebut juga melibatkan banyak oknum di birokrasi, inspektorat (telah dinyatakan inspektorat kegiatan yang menjadi masalah hukum telah sesuai dengan prosedur dan peraturan), parlemen maupun dunia usaha. Masyarakat tetap dicekoki pesan oleh para petinggi lembaga yang terlibat bahwa peristiwa kejahatan oleh beberapa orang dari beberapa lembaga tersebut adalah peristiwa oknum, peristiwa perseorangan.
Pertanyaan: Dapatkah kejahatan 'oknum' tersebut dengan uang yang demikian besar yang menjadi persoalan dapat berlangsung senyap, sistematis dan berulang tanpa jabatan lembaga yang melekat padanya? Padahal di tiap-tiap lembaga ada garis komando ke atas berupa laporan dan perintah yang diterima dan koordinasi ke kiri dan ke kanan untuk menyamakan presepsi dan pemahaman serta kerja sama yang baik, yang tercantum dalam Prosedur Operasional Standard maupun struktur organisasi. Bukankah dalam kejahatan yang melibatkan berbagai oknum beberapa lembaga lainnya ada pola perilaku manusia yang mapan (jabatan yang melekat), interaksi sosial berstruktur dalam kerangka nilai yang relevan? Minimal kalaupun tidak terlibat aktif dalam memberi perintah yang salah maupun kerja sama yang tidak benar paling tidak ada pembiaran atau pendiaman. Ketika oknum yang melakukan kejahatan tersebut di atas ditanya hakim jawaban mereka tak ada yang bermaksud untuk memperkaya diri tetapi selalu berdalih sudah diketahui pimpinan, sudah disosialisasikan, untuk kepentingan umat, kepentingan partai, kepentingan rakyat terzalimi dan untuk kemajuan lembaga.
Lembaga yang disebut juga badan atau organisasi dicirikan oleh beberapa hal antara lain tujuan dan sasaran, keterikatan format dan tata tertib yang harus ditaati, adanya kerja sama dan sekelompok orang serta koordinasi tugas dan wewenang. Ketika polisi, jaksa atau KPK menangkap pemimpin partai, pemimpin ormas, kepala suatu instansi yang tidak menaati format dan tata tertib, menyalahgunakan wewenang dengan melakukan kejahatan dapatkah lembaga tersebut mengklaim bahwa itu hanya perbuatan oknum, sementara lembaga tersebut tidak berperan aktif dan sungguh-sungguh untuk mengawasi jalannya lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya? Lembaga tersebut baru merasa 'kebakaran jenggot' setelah aparat berwenang melakukan tindakan penangkapan atau pengungkapan terhadap seseorang dalam lembaganya.
Lembaga tanpa sumberdaya manusia di dalamnya tak berarti apa-apa. Bahkan suatu lembaga yang paling modern dengan perangkat komputer tercanggih tanpa sumber daya manusia tetaplah bukan lembaga. Suatu lembaga berhasil atau tidak mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh unsur sumberdaya manusia yang merupakan penggerak yang kuat terhadap unsur lainnya seperti peralatan dan lingkungan. Jadi bagaimana mungkin sumberdaya manusia yang tidak taat dan menyalahgunakan wewenang bukan merupakan aib dan kesalahan lembaga?
Lembaga yang terdaftar sebagai badan hukum pastilah dibentuk untuk mencapai tujuan yang baik dan benar, terlepas dari niat orang yang membentuknya apakah sebagai ajang legitimasi maksud terselubung atau memang sungguh-sungguh sebagaimana tujuan sebenarnya lembaga tersebut. Sangat naif jika lembaga baru dinyatakan turut bertanggung jawab jika seluruh manusia penggeraknya dinyatakan terlibat menyimpang atau tujuan lembaga secara jelas menyimpang dari hukum, norma dan atau etika.
Seorang pencetak gol yang membawa kemenangan dalam Tim Nasional Sepakbola Indonesia adalah kemenangan Indonesia bukan kemenangan si oknum pencetak gol. Seorang penjaga gawang Tim Nasional Indonesia yang kebobolan gawangnya sampai 5 kali tanpa balas bukanlah kekalahan kiper itu sendiri tetapi kekalahan Indonesia.
Demikian juga ketika suatu lembaga tidak dapat menemukan atau terkesan melakukan pembiaran ketidaktaatan dan penyalahgunaan wewenang dalam aktivitas lembaga tersebut, sehingga KPK atau kejaksaan atau polisi yang lebih dahulu melakukan tindakan hukum, tentulah ada permasalahan dalam fungsi manajemen lembaga tersebut. Permasalahan tersebut bisa disebabkan kesalahan dalam proses penetapan tujuan dan target lembaga. Sebagai contoh target partai dan ormas yang muluk untuk mencapai tujuannya sementara sumber keuangan produktif yang dibutuhkan untuk pencapaian tujuan tersebut tidak jelas secara hukum. Permasalahan berikut bisa terjadi dalam penetapan standard minimal, proses rekrutmen dan penempatan sumberdaya manusia yang tidak jelas sehingga cenderung berlangsung dengan faktor suka tidak suka, money politic, membeli kucing dalam karung. Permasalahan selanjutnya terkait dengan krisis kepemimpinan, bimbingan dan motivasi yang disebabkan pemimpin tidak punya integritas dan keteladanan yang baik, meskipun punya kompetensi teknis bagus.
Permasalahan yang terpenting adalah lemahnya pengawasan dan pengendalian meskipun dalam tiap-tiap lembaga sudah tersedia slot yang berupa Satuan Pengawasan Interen, Inspektorat, Badan Pemeriksa, Dewa Kehormatan, Mahkamah Partai, Dewan Etik dan lain-lain. Perangkat tersebut dibentuk tentunya dengan niat suci untuk memastikan semua unsur-unsur lembaga dapat berjalan lancar sesuai target, tujuan dan kewenangan. Namun permasalahan tetap terjadi yang disebabkan lemahnya kompetensi, keberanian dan integritas sumber daya manusianya. Bisa juga karena lemahnya kewenangan yang diberikan sehingga tidak menghasilkan keputusan yang bersifat memaksa tetapi hanya yang bersifat saran kepada pimpinan.
Beberapa organisasi pemerintah/BUMN/BUMS sudah ada yang mengarah menjadi lembaga yang baik dalam menemukan maling dalam internal lembaganya serta melaporkannya ke pihak yang berwenang secara hukum, disamping tindakan administratif dan etika di internal lembaga. Lembaga tersebut tidak membiarkan atau menutupi terjadinya penyalahgunaan wewenang sekalipun itu melibatkan middle dan high management. Lembaga tersebutpun aktif melakukan analisis, riset dan meningkatkan pengawasan untuk menghindari terjadinya kesalahan oknum berikutnya. Lembaga tersebutlah sebenarnya yang pantas mengklaim bahwa mereka bersih, tidak terlibat dalam permainan oknum. Lembaga lainnya, yang alih-alih menemukan 'oknum' pencuri dalam lembaga malah cenderung membentengi oknum dan lembaganya dengan berbagai argumen yang terkesan tergesa-gesa tanpa melakukan analisis mendalam dan melakukan tindakan evaluasi terhadap kinerja fungsi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan sebagai fungsi manajemen.
Sungguh tidak pantas orang yang berbicara atas nama lembaga menyebut tindakan oknum tersebut tidak menjadi tanggung jawab lembaga. Lembaga tersebut adalah lembaga puritan di zaman yang sudah begitu terbuka ini. Meskipun rakyat diam dalam perkataan, tetapi sebagian besar dari mereka tahu mana lembaga yang baik dan benar, mana yang buruk dan salah. Mana yang sungguh-sungguh, mana yang sekedar lips service. Rakyat sesungguhnya tidak diam seperti orang tidur. Sesama mereka banyak yang saling berbisik dan menyimpan memori kejahatan suatu lembaga dalam otak mereka meskipun pemimpinnya selalu menyanggah secara oral habis-habisan. Sebagian rajin membaca dan mencari fakta dan kebenaran serta membagi kebenaran itu pada yang lain. Sebagian lagi bila tiba masanya akan mengungkap kejahatan oknum dan lembaga tersebut melalui pilihan politik atau hukum.***
* Penulis saat ini aktif sebagai Pegawai Negeri Sipil di salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan, yaitu pada Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II Medan.

Minggu, 26 Oktober 2014

RASA TAKUT





Pada masa aku berumur 5 sampai dengan 11  tahunan, ada 3 hal yang memberi rasa takut mendalam  pada diriku. Pertama: gelap, kedua film yang ada duel pedang dan pukul-pukulan dan yang terakhir kematian. Apabila tiba-tiba lampu mati di rumah, sedang ayah, ibu maupun saudara-saudaraku tak berada di sampingku maka mulailah rasa takutku hadir. Meskipun tidak sampai berteriak memanggil-manggil atau menangis sejadi-jadinya, tetapi takut cukup membuat debaran jantung bertambah kencang. sinar dari luar masuk melalui lubang angin jendela dan terpantul di dinding kurasakan seperti hantu yang mau datang menggelitikku. Hantu yang sering diceritakan ibundaku kepada saudara-saudaraku atau cerita  pengalaman sesama  para anak kos di rumahku yang berasal dari Jawa Tonga dan Nagojor yang berpapasan dengan hantu atau homang di kampungnya (yang sering kucuri-curi dengar). Maka jangan heran, kalau di malam hari bila kebelet pipis, aku tak akan pernah berani ke dapur sendirian karena gelap yang kuanggap identik dengan tempat bermain para hantu.

Tetapi sekali waktu, aku pernah berhasil mengalahkan rasa takutku pada gelap. Bermula dari rasa sukaku makan kue lapis. Kebetulan penjaga sekolah menengah kesejahteraan keluarga (SMKK) Pematang siantar pada tahun 80-an masih berada satu gang dengan rumahku yaitu di Jalan Siatas Barita. Biasanya penjaga sekolah itu sudah selesai membuat kue lapis itu sekitar pukul 22 WIB. Maka kumintalah pada malam itu kepada ayahku agar dia membelikan kue lapis itu. Eh, tiba-tiba ayahku menyuruhku beli sendiri.Tentu saja kujawab tidak mau karena aku takut. Segala macam argumen diberikan ayahku untuk melawan rasa takutku, mulai dari bulan yang ada di langit untuk menuntun jalan, cerita tentang anak yang akan dijaga Tuhan atau  tentang laki-laki yang tak boleh penakut. Meski pada mulanya sewot namun semua cerita itu akhirnya membuat rasa beraniku timbul dan mengatakan "ya" demi legitnya kue lapis. Tetapi begitu keluar rumah, rasa takutku datang lagi ditambah suara-suara yang kuanggap aneh dari beberapa tanaman ketela pohon dan bambutergesek angin  yang kulewati. Akhirnya kuputuskan berlari sekencang-kencangnya menuju rumah penjaga sekolah itu agar rasa takutku tak terlalu lama. Begitu kubeli 10 buah kue lapis, pulangnya pun aku berlari sekencang-kencangnya. Sampai di rumah kutunjukkan kue lapis hasil berlariku. Amboi, ada 2 buah kue lapis yang terjatuh ketika aku berlari.

Suatu ketika, abangku satu-satunya (10 tahun jarak usianya denganku baru aku lahir) mengumpulkan rongsokan aluminium, botol-botol tidak terpakai dan onderdil apkiran yang tak lagi digunakan ayah kami  sebagai bahan dagangannya ke pedagang onderdil dari jalan salak Medan.. Setelah terkumpul, semua barang itu, abangku lalu menjualnya ke pedagang pengumpul besi bekas yang lazim disebut tukang botot. Lalu abang mengajakku ke kota. Mulanya kupikir dia akan mengajakku untuk makan mie pansit atau mie so siantar kesukaanku. Ternyata kali itu dia membawaku menonton bioskop. Nonton bioskopku yang pertama. Masih bisa kuingat namanya  "Bioskop Riang" di Jalan Merdeka Pematang Siantar. Bioskop itu sekarang sudah tidak ada karena  bangkrut seiring dengan teknologi televisi dan DVD yang semakin canggih. Sebagai gantinya saat ini berdiri bangunan "Siantar Plaza".  Ketika itu nonton bioskop adalah hiburan paling heboh di kotaku selain menonton tukang jual obat kaki lima yang menyediakan atraksi sulap. Orang siantar lama tentu juga pernah dengar tukang jual obat keliling terkenal bernama Baktiar Sikumbang si jago sulap.

Kembali ke soal menonton bioskop pertama kali buatku ketika itu, maka saat lampu dalam bioskop mulai dipadamkan, aku langsung merasa kecut ketakutan. Takut kalau-kalau ada preman siantar yang tiba-tiba datang menculikku, takut kalau ada kuntilanak lewat lalu menggelitikku. Pada masa itu preman siantar terkenal ganasnya suka cari gara-gara. Demikian juga soal kuntilanak pencuri bayi sering dilontarkan orang dewasa untuk menakuti kami anak-anak kalau bermain sampai tengah malam. Tapi begitu layar mulai memainkan cuplikan film yang akan dimainkan beberapa hari ke depan, rasa kecutku mulai hilang karena sudah ada sedikit terang dari sinar projector. Namun ketika film silat hongkong yang kami tontotn mulai memainkan adegan perkelahian dengan pedang dengan tusukan yang banyak mengeluarkan darah pada salah satu pemain, aku takutnya luar biasa. Pikirku ketika itu, ngerinya jadi bintang film harus mati tertikam. Bahkan saat yang tertusuk pedang semakin banyak, aku semakin ketakutan dan menundukkan mukaku tak berani menonton. Walaupun abangku sejurus kemudian berkata itu hanya lakon dalam film, aku tetap tak mengerti apa itu lakon dan sungguh-sunguh yakin telah ada peristiwa pembunuhan. Barulah 3 tahun kemudian akal pikiranku bisa menerima bahwa film hanyalah sebuah lakon dan warna merah yang muncrat dari tubuh pada sebuah film action di  bioskop bukanlah sungguhan.


Ketakutan masa kanak-kanaku yang ketiga adalah ketika aku sudah mulai bisa melagukan "Na sa Jol ma Ikkon Mate" (Semua orang pasti meninggal), salah satu lagu dari Buku Ende, Nyanyian rohani gereja suku. Membayangkan wajah ayahku suatu saat diam terbujur memakai jas dan berdasi dan terbaring di dalam keranda sungguh sering menghinggapiku menjelang tidur saat usiaku 8-11 tahun. Dan aku sangat ketakutan, Takut itu terjadi dan aku menjadi piatu. Bahkan hingga aku telah menikahpun kalau bayangan itu datang, maka rasa ketakutan juga belum sirna. Setiap ada melayat ke rumah teman SD yang sedang kematian ayah atau ibu, maka ketakutanku pun muncul lagi. Ketakutan itu melahirkan aroma-aroma  aneh di penciumanku. Aroma  yang menggambarkan kehilangan dan kesedihan.Hingga aku bersekolah di tingkat SLTP, aku mempantangkan makan nasi dan lauk yang disajikan keluarga yang sedang kematian menjelang acara penguburan atau yang dibawa bundaku dari tempat orang mati. Tetapi ketakutanku melihat peristiwa kematian tak bisa menghalangi ajal yang menjemput beberapa anggota keluarga besarku. Bermula dari nenek yang melahirkan ibuku, lalu adikku perempuan yang nomor lima dan terakhir ayahku. Sebagaimana yang sering kubayangkan saaqat aku kelas 1 SD, akhirnya harus kulihat jelas, kuraba dan kutangisi nenekku, adikku dan ayahku yang berpakaian songket, berpakaian jas, berdasi tapi terbujur kaku melipat tangan.

Senin, 20 Oktober 2014

MENUNGGU


Diantara pembaca barangkali pernah menonton lakon  “Menunggu Godot” yang diambil dari naskah Samuel Beckett yang diterbitkan pertama kali tahun 1952. Drama ini  ini adalah kisah yang menggambarkan harapan yang tidak kunjung berakhir. Drama ini  merupakan lakon paling aneh menurut bentuk, maupun isi. Kisahnya mengenai dua orang gelandangan yang menunggu Godot.  Aktor dalam cerita ini termasuk Vladimir, Estragon. Mereka adalah sekawanan teman yang  setia pada kedatangan Godot. Bahkan, Godot tidak akan pernah datang. Ia berbicara terus-menerus, tapi dia tidak muncul. Ketidakhadirannya telah membuatnya menjadi pusat perhatian dan itu adalah cara dia menunjukkan kekuasaannya dalam hal Vladimir dan Estragon untuk terus menunggu Godot. Mereka berharap segera datang, tapi mereka menunggu dengan sia-sia karena drama terlambat diberitahu bahwa Godot tidak pernah datang.

Sejak negeri ini diproklamirkan, seluruh eksekutif negeri ini dengan dukungan rakyat dan diawasi legislatif dan judikatif  telah memiliki tekad sebagaimana jelas tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mewujudkan masyarakat adil dan Makmur. Bahkan rezim Orde Baru sangat melakukan indoktrinasi tujuan bangsa ini lewat penataran P4, pemutaran film dokumenter maupun slogan-slogan lainnya. Sampai usia ibu pertiwi 69 tahun, wujudnya masih seperti fata morgana. Serasa ada bagai mata air tetapi begitu mendekat malah hanya hamparan pasir panas yang melepuhkan telapak kaki. Bahkan bagi sebagian orang yang sudah merasa ikut berperan dengan susah payah dalam upaya tetap menegakkan berdirinya negeri ini, merasa adil dan makmur itu sudah seperti deja vu, serasa pernah ada hadir di suatu ketika tetapi kemudian seperti disadarkan bahwa hal itu tak pernah ada. Bahkan Tahun 1998, kesadaran itu memuncak, bahwa penantian adil dan makmur itu memang benar de ja vu. Bangsa ini dilanda krisis moneter, krisis kepemimpinan yang berujung runtuhnya orde baru yang menumpukkan hutang negeri ini ke negeri asing. 

Diantara pembaca barangkali juga punya mimpi dan hasrat pribadi yang diidam-idamkan bakal tercapai dalam beberapa tahun, katakanlah dalam 3 tahun. Idaman tersebut dapat saja berupa jodoh, materi, karir, atau apapun dalam benak masing-masing. Namun ketika 3 tahun itu tiba, harapan tersebut tak dapat terwujud dengan alasan-alasan yang masih dapat diterima akal, pikiran dan perasaaan. Bahkan sampai jarak waktu 2 x 3 tahun, harapan itu masih tetap ada terpendam meski dengan kadar keyakinan yang semakin menurun. Lalu kemudian ketika tiba pada waktu 3x3 tahun harapan masih belum terwujud, sehingga akhirnya melahirkan retorika di dalam diri sendiri. Kita bertanya dan menjawab sendiri dan akhirnya menuju krisis kepercayaan diri dan stress.

Memang tak salah jika ada pemeo yang mengatakan menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Bahkan ketika dalam masa menunggu itu kita melakukan banyak aktivitas, baik yang berkaitan dengan tahapan langsung terhadap apa yang diidam-idamkan, atau aktivitas lainnya yang mendukung tercapainya idaman tersebut. Atau bahkan hal-hal lain yang tak bersangkut paut,  pasti ada masanya kita diperhadapkan akan pertanyaan: terwujud apa tidak ya? berapa lama lagi kesabaranku diuji? Berbahagialah orang yang   mengaku selama dalam hidupnya tak pernah bimbang, cemas atau ragu  dalam menanti berhasil/terpenuhi atau tidaknya sesuatu yang sangat didambakannya. Diriku termasuk yang beberapa kali ada diambang kecemasan, kebimbangan dan hampir putus asa untuk suatu hal yang sangat kuidamkan. Untunglah sampai saat ini rasa putus asa tersebut belum pernah melanda diriku. Hanya pernah hampir putus asa tetapi tidak putus asa. Disaat putus asa terasa sangat mendekat selalu ada invisible hand yang selalu menolong. Peristiwa yang kulihat, pengalaman dari diriku sendiri akhirnya menyublimkan perenungan menjadi puisi di bawah ini


                                        Puisi ini telah terbit pada Harian Medan Bisnis
                                        Tanggal 19 Oktober 2014. walau foto closeup milik
                                        orang lain ditempel redaksi

  







 

Selasa, 30 September 2014

ILMU RASA




Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada 5 arti rasa. Ada tiga arti rasa yang secara harfiah masih berkaitan dengan indera pengecap yaitu  lidah yang berkaitan dengan pahit, manis, panas ataupun dingin. Selain  3 arti rasa yang berhubungan dengan lidah ternyata ada dua arti rasa yang sudah meluas tak sekedar respon indera saja. Arti yang keempat itu adalah tanggapan hati terhadap sesuatu seperti sedih, bimbang, takut. Adapun arti yang kelima adalah pertimbangan mengenai baik atau buruk, salah atau benar. Arti yang pertama  sampai dengan yang ketiga dari puluhan tahun yang lalu dengan sekarang bisa dikatakan statis ataupun kalau mengalami pergeseran tidak menghilangkan sifat asalnya. Katakanlah arti manis, asin, pahit, asam, panas atau dingin. Sifat asal dari kata itu masih sama, pergeseran rangsang terhadap seseorang hanya dibedakan oleh kata sangat, agak, sedang atau terlalu tergantung tingkat pengalaman lidah pengecap terhadap benda yang mempunyai rasa yang saya sebutkan di atas.

Arti keempat karena mempunyai arti yang meluas karena tidak sekedar soal ‘kecapan’ tapi karena sudah menyangkut hati. Bahkan arti rasa yang kelima selain melibatkan soal hati ternyata juga sudah melibatkan sedikit pikiran sehingga  pergeseran arti rasa itu tidak sekedar pada kadar sangat, terlalu, sedang atau tawar tetapi  bisa bertolak belakang dari arti sebelumnya.  Jika dulu orang yang hamil di luar nikah dianggap aib besar bahkan bisa sampai terkena hukuman pengucilan, sekarang masyarakat cenderung permisif. Jika dulu seorang ayah yang terkena kasus korupsi, akan berdampak kepada lahirnya rasa malu mendalam dengan wujud kepala yang tertunduk, bahkan penyesalan bercampur putus asa akibat kehilangan martabat yang sangat dalam. Tidak hanya kepada si pelaku tetapi sampai kepada anak isteri bahkan sampai kepada keluarga besar si pelaku. Sekarang si pelaku malah bisa membusungkan dada, tersenyum bahkan  tertawa menantang. Dulu bencana yang melanda  satu orang saja akan dikenang sebagai peristiwa pahit yang juga dirasakan anggota komunitas lainnya dari seseorang itu. Sekarang ini, bencana yang mematikan ribuan jiwa, akan segera terlupakan dalam beberapa bulan atau setahun kemudian. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas lebih dalam soal korupsi atau bencana, tetapi mencoba beropini mengenai beberapa kebiasaan orang Medan terkait arti  kata ‘rasa’ yang kelima menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam menggunakan sarana/prasarana  lalu lintas.

Ketika penulis berkunjung ke Singapura, Malaysia atau Brunei lalu mencoba melihat, dan mengamati pengendara di sana dengan menjadikan diri sendiri sebagai bagian dari sampel pengamatan (Diri sendiri sebagai subyek penyeberangan jalan). Dari beberapa kali uji coba menyeberang jalan  baik pada daerah yang ada traffic light maupun yang tidak ada maka penulis menyimpulkan bahwa ‘rasa’ pengendara di negeri tersebut telah menghasilkan pertimbangan   baik atau buruk, salah ataupun benar (bila melihat seseorang menyeberang di jalan raya) yang sesuai dengan dalil transportasi bahwa pejalan kaki adalah hirarki tertinggi diantara seluruh pelaku transportasi sehingga wajib diutamakan. Sebagai sampel, ketika saya menyeberang di beberapa jalan di kota Bandar Seri Begawan seperti di daerah Gadong dengan cara berjalan santai maupun tergesa-gesa, maka respon pengendara sama: pedal rem akan diinjak si pengendara dan kendaraan berhenti pada pada jarak 20-30 meter dari si penyeberang. Hal tersebut berulangkali saya alami baik di Singapura atau Brunei, tidak hanya pada saat traffic light berwarna merah bahkan saat traffic light berwarna hijau bagi pengendara. Saya perhatikan sekeliling, tak ada polisi yang berjaga di sekitar traffic light maupun persimpangan jalan sebagaimana yang banyak terlihat di kota Medan, untuk membuat ‘rasa’ pengendara ini baik dan benar.  Lalu cobalah kita  lihat ungkapan  rasa baik-buruk atau salah-benar para pengendara di kota Medan (termasuk diri kita saat berkendara), mulai dari beca, sepeda motor, angkutan kota, kenderaan bernilai milyar rupiah atau yang hanya bernilai ratusan ribu. Semua seperti berlomba mengangkangi  zebra cross, bahkan bila perlu trotoar yang seharusnya hak  pejalan kaki. Pada sampel lain Ketika penulis beberapa kali menumpang taksi di Penang, baik ketika di jalan raya maupun di jalur antrian menuju ferry, maka tak ada satupun kendaraan yang mengangkangi marka jalan meskipun kesempatan itu sangat memungkinkan si pengemudi untuk dapat menjadi yang tercepat sampai ke ferry. Semua berbaris di jalurnya dengan rapi sehingga tidak menimbulkan kesemerawutan dan kemacetan dalam menaikkan puluhan kendaraan roda empat ke atas ferry. Lihatlah ilmu rasa orang Medan di jalan raya: Semua jenis kendaraan akan berlomba-lomba mengangkangi marka jalan maupun trotoar demi menjadi yang tercepat bergerak ketika traffic light berganti dari merah ke hijau. Yang berpakaian berdasi, yang memakai simbol-simbol agama di tubuhnya, yang kumal, yang ganteng maupun yang terjelek, mayoritas menunjukkan rasa bangga kalau bisa menjadi yang tercepat dalam  berkendara sekalipun merampas hak orang lain. Tak ada raut yang menunjukkan rasa bersalah, tak ada yang menunjukkan  rasa buruk dalam penampakan rautnya. Bahkan ketika sekelompok kecil pengendera yang punya rasa seperti orang Brunei berkendara, maka justru  kena hujatan melalui klakson yang bertalu-talu karena dianggap menghambat laju kendaraan si perampas hak. Malah sebagian para perampas hak pengguna lalu lintas ini mengumpat pengendara tertib yang mencoba mengingatkan mereka. Apakah para pengendara brutal ini merasa waktunya yang terpenting menuju tempat kerja atau pulang ke rumah? Tapi anehnya, sampai saat ini belum pernah terdengar ada pembalap mobil Formula I  maupun sepeda Motor 250 CC yang berasal dari raja jalanan kota Medan maupun Indonesia.

Sebagian pengendera brutal ini membela diri dengan alasan bahwa jalan di kota Medan sudah kurang lebar, sedang kendaraan terlalu banyak. Jawaban yang sangat subyektif untuk jalanan di kota Medan. Jawaban mereka dapat diterima jika  hal tersebut digunakan untuk membela diri di Kota Jakarta. Karena sekali waktu ketika polisi lalu lintas hadir menertibkan perilaku serampangan tersebut, kemacetan lalu lintas di kota Medan dengan segera dapat teratasi. berbeda halnya dengan kemacetan jalan tol di Jakarta yang menunjukkan ketimpangan yang sangat besar kendaraaan yang keluar-masuk suatu persimpangan jalan. Contoh paling nyata akibat rasa pengendara yang salah dan buruk dalam berkendara dapat dirasakan ketika kita berkendara di sekitar jalan daerah Simpang Limun pada pukul 6.00-8.00 WIB. Jika kita berkendara dari arah Amplas maka begitu berada di wilayah Simpang Limun, akan terlihat barisan kendaraan roda empat yang parkir di jalan sebelah kiri, lalu trotoar di tengah jalan dipenuhi pedagang penjual buah, sayur dan lain-lain sebagaimana pedagang yang menggelar dagangannya di ujung jalan dari arah Sakti Lubis. Lalu pada jalan dari arah Ramayana Teladan, maka setiba di daerah Simpang Limun akan segera macet akibat angkot yang ‘ngetem’ seenaknya, pedagang menjejerkan jualannya di tepi jalan, becak berlawanan arah menghalang laju kendaraan, kendaraan yang bergerak lambat di sebelah kiri tiba-tiba hendak menyerobot jalur kanan. Ada polisi, ada pegawai Dinas Perhubungan, sesekali ada Satpol PP yang selalu berdiri di pinggir jalan sekitar Simpang Limun tersebut tetapi kemacetan luar biasa tiap hari selalu terjadi. Saya belum dapat menyimpulkan ilmu rasa pegawai Dinas Perhubungan dan polisi yang berdiri di pinggir jalan simpang limun tersebut dalam hal memberi rasa aman dan nyaman bagi pengguna lalu lintas yang berhak. Ketika sekali waktu walikota Medan berbaik hati menginstruksikan penertiban pedagang dan kendaraan di wilayah Simpang Limun, maka segera terlihat lalu lintas yang lancar dan bersih. Sayang, upaya penertiban seperti ini hanya bersifat kagetan saja frekuensinya.

Lantas sebagian raja jalanan ini akan membela diri lagi dengan berkata untuk tidak membanding-bandingkan Brunei, Malaysia dan Singapura yang kaya dengan Kota Medan. Tentu untuk ini saya juga punya jawaban bahwa di tiga negara ASEAN yang relatif lebih makmur dari Indonesia tersebut justru lebih banyak kendaraan lawas, sederhana dan berharga murah yang lalu lalang dibanding dengan kota Medan. Bahkan di Penang kendaraan ‘ASTUTI’ alias honda bebek tahun 73 sampai tahun 80 an masih banyak lalu lalang. Sesuatu hal yang tentu sangat menimbulkan rasa gengsi buat orang Medan yang sering menyebut ‘ndak level lah’. Bahkan angkutan umum yang berbodi besar seperti di Singapura dan Malaysia  tak perlu menunggu lama untuk tiba di depan halte tempat calon penumpang menunggu. Kendaraan umum di negara itu bersih, berpendingan udara baik dan ongkos yang sangat murah dibanding tingkat kepuasan yang diperoleh penumpang.

Data menunjukkan bahwa ‘Ilmu Rasa’ yang buruk dan salah sebagai penyebab utama kecelakaan lalu lintas di negeri ini. Data tahun 2013 Kepolisian RI menunjukkan jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia sebanyak 93.578 kasus dengan jumlah korban meninggal sebanyak 23.385 jiwa. Dari jumlah tersebut maka kecelakaan lalu lintas di kota Medan memberi andil sebanyak 1.157 kejadian dengan korban jiwa sebanyak 217 orang. Penyebab utama kecelakaan tersebut adalah tidak disiplinnya pengguna lalu lintas, diantaranya melanggar traffic light dan tanda lalu lintas lainnya. Kematian akibat kecelakaan lalu lintas tersebut termasuk dalam 10 besar penyebab kematian di Indonesia. Bahkan oleh Badan Dunia Kesehatan PBB menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab kematian nomor tiga di indonesia setelah penyakit jantung dan TBC.


Sudah saatnya para pengguna dan pengatur lalu lintas yang mempertahankan ilmu rasa yang salah dan buruk di jalan raya, merenung dan mengubah tabiat. Merenung sambil menyeruput teh atau kopi di kedai, menyeruput  tuak di lapo (jangan sampai mabok tentunya) dan tidak mengulanginya lagi setelah bangun tidur di pagi harinya. Menjaga lalu lintas dengan semangat melayani dan tulus ihklas, menggunakan sarana dan prasrana lalu lintas dengan meniadakan sikap egoistis, menjaga kebugaran tubuh serta menjaga kendaraan dalam kondisi prima. Dan pedagang yang memakai jalan raya untuk mengais rejeki berhentilah menggunakan alasan kemiskinan untuk mendapat ‘privelege’ yang tidak benar. Karena jalan raya bukanlah untuk menggelar dagangan. Itulah Ilmu rasa yang baik dan benar.

           Artikel ini telah dimuat pada Harian Analisa Medan,pada hari Sabtu  tgl 4 Oktober 2014

Rabu, 24 September 2014

ANJING ITU TUGAS UTAMANYA MENJAGA TUANNYA




Di Sumatera Barat, anjing identik dengan binatang pemburu dan sangat lekat dengan tradisi  masyarakat disana. Anjing tersebut dibesarkan dan dipelihara untuk menjadi anjing cekatan dan punya naluri mengendus binatang buruan, khususnya babi hutan yang dianggap sebagai hama bagi tanaman masyarakat. Ukuran kehebatan anjing tersebut adalah seberapa tajam hidungnya mengendus buruan, seberapa cekatan dia menangkap buruan, seberapa banyak buruan yang berhasil dilumpuhkannya. Anjing gagah berani ini akan disayang tuannya dengan cara diberi vitamin,  telur ayam, daging dan makanan lainnya yang dipercaya dapat mempertahankan kegagahannya

Dalam keseharian pun  masyarakat yang terbiasa memelihara anjing umumnya dilatarbelakangi niat untuk meningkatkan rasa aman hunian atau kebun atau peternakannya dari incaran pencuri atau rampok. Suara gongongan anjing minimal dapat membangunkan pemilik rumah sebelum rampok beraksi. Seseorang yang berniat menjarah rumah diharapkan  lari terbirit-birit begitu mendengar geraman dan gonggongan anjing,, atau minimal mengurungkan niatnya karena takut gongngongan anjing tersebut akan membangunkan seisi kampung lalu mengepunya ramai-ramai. Apalagi kalau jenis anjing tersebut herder yang berperawakan tinggi, kuat, lincah dan gigitannya sangat berbahaya.

Pada skala yang lebih lembut, ada jenis anjing yang dipelihara sebagai sahabat anak-anak maupun orang tua. Anjing tersebut dapat menuntun anak-anak maupun orang tua sambil berolah raga di pagi atau sore hari. Anjing ini begitu lembut dan perhatian pada tuannya tetapi akan langsung siaga jika ada yang coba-coba mendekati tuannya dengan maksud jahat.

Namun pada sebagian kecil masyarakat mulai timbul kebiasaan memelihara anjing sebagaimana layaknya anak-anak memainkan bonekanya. Anjing ini dipermak sedemikian rupa, bulu dicuci dengan sampo mahal, diberi pita, di bawa ke salon bahkan dibawa tidur bersama tuannya di kasur empuk dan berpendingin udara. Anjing ini biasanya sangat sulit diharapkan menjaga tuannya dari kemungkinan diganggu preman atau rampok. Anjing ini hanya diharapkan sebagai luapan kemanjaan pemiliknya atau untuk menunjukkan tingkat status pemiliknya untuk dianggap sebagai kelompok 'high class', wanita sosialita atau artis papan atas. Dengan minim peran sebagai anjing penjaga kecuali sebagai penghibur, malah anjing ini justru membutuhkan biaya besar untuk memeliharanya. Bahkan lebih besar dari biaya hidup seorang manusia.

Ada orang yang kita harapkan dalam fungsinya  mengawal hukum, memberi rasa aman pada masyarakat, mengendus ketidakberesan suatu lingkungan dengan cepat malah seperti kehilangan naluri curiga dan awas terhadap sesuatu yang patut dicurigai dan diamankan. Penampilan yang harusnya dia tetap jaga agar ramping, prima dan gagah malah semakin hari perutnya semakin membuncit, geraknya lamban dan maunya hidup dalam fasilitas nyaman dan malas bergerak ke sana-kemari untuk menjaga keadilan dan kebenaran ataupun menangkap buruan yg harus dikerangkeng.

Aku sering kecewa dan marah membaca berita di koran ada orang yang seharusnya menangkap orang malah ditangkap, Aku kecewa dengan oknum yang semakin banyak lupa diri sebagai pengayom masyarakat. Aku kecewa pada oknum yang seharusnya memberi rasa aman malah jadi sumber pembuat masalah. Bahkan ada satu berita koran yang menyebutkan ada kejadian pemerasan, gangguan dan intimidasi pada orang yang duduk-duduk di suatu taman padahal taman itu sangat dekat dengan kantor polisi. Maka aku mengungkapnya lewat puisi di bawah ini







ANJING LUPA DIRI


 Anjing tengkurap dalam selimut tuannya,
 Tak percaya rambutnya melawan gigil
bagaimana telinganya mendengar jahat malam?

 Anjing duduk, sebaris dengan tuannya
 Mengunyah steak dan dan sosis
 Bagaimana tubuh melawan liarnya serigala?

 Anjing dan tuan asik bercengkerama
 Tuan menjadikannya barang mainan
 Anjing merasa pantas  jadi manusia
 Lupa awas dan curiga
 Meninggalkan masa lalu binatang pemburu
 Bagaimana ia mau menjaga malam?

 Bahkan rumahnya diberaki anjing liar
 Diapun masa bodoh
 Perutnya kenyang,
 Tidurnya nyenyak
 Rumah tuan dan tetangga
 Disatroni maling
 Ekornya tetap berkibas ke kiri dan ke kanan


 Batam, 17 September 2013
(Puisi ini telah terbit pada Harian Analisa Medan tanggal 2 Juli 2014)