Minggu, 22 Januari 2017

3 PUISI UNTUK PERTAMA KALI DI MEDIA INDONESIA


Ada pepatah negeri bule menyebut “No Gain Without Pain,”  oleh bahasa terjemahan negeri ini berbunyi “Tiada Hasil Tanpa Pengorbanan.” Maka proses yang kulalui untuk bisa mencatatkan kenangan di Rubrik Khazanah Harian Media Indonesia Jakarta bisa kusebut memerlukan cukup pengorbanan waktu dan kesabaran. Dari segi frekuensi email yang telah terkirim, maka email ke Media Indonesia adalah yang terbanyak. Mematahkan rekor email telah terkirim ke Harian Kompas. Dari segi gagal terkirim, baik oleh karena full quota exceed  atau karena Mail Adress Disconnected  maka Email Media Indonesia inilah yang mempunyai balasan reject dan  Mailer Daemon  dari Yahoo. Karena begitu banyaknya email  gagal kirim yang kulayangkan ke Media Indonesia, jumlah pasti pun sampai tak bisa kuingat. Tetapi paling tidak saya pasti telah mencoba lebih dari 32 kali, dengan kalkulasi selama delapan hari berturut-turut saya mencoba melayangkan email empat kali sehari, yaitu pagi hari, siang hari, sore hari dan malam hari. Jika masing-masing periode waktu tersebut saya mencoba satu kali, maka dalam sehari minimal saya sudah berusaha 4 kali kirim. Dikali 8 hari maka minimal saya sudah mencoba sebanyak 32 kali. Padahal pada tiap periode  ada kalanya saya mencoba kirim 2-3 kali.

Mengapa saya ngotot mengirim sebanyak itu? Selain karena tekad pribadi untuk mencatatkan kenangan, juga oleh rasa penasaran mencari celah teknologi informasi. Dalam pikiranku tak mungkin terus-menerus email tujuan penuh, pasti ada sedikit waktu yang dipakai oleh pemilik email untuk membuang email terkirim yang sudah dianggap tak diperlukan. Perkiraanku itu ternyata jitu. Sekitar hari Kamis di suatu hari, satu emailku ternyata berhasil terkirim. Kenapa saya sebut satu, karena setelah sukses yang satu tersebut, kembali emailku yang coba kukirim reject dan mailer daemon. Dan aku sungguh beruntung, pada Minggu dini hari Tanggal 22 Januari 2017, ketika iseng saya membuka epaper Media Indonesia, pada halaman 11 saya temukan namaku tertulis beserta tiga puisiku berjudul ‘Anak Perjanjian’, ‘Tempo Doeloe’ dan ‘Katanya Bersekutu”. Jadi betullah bahwa ‘Kesabaran’ itu adalah salah satu buah-buah roh menurut dogma kami.   Salah satu puisiku tersebut kusalinkan di bawah ini.

ANAK PERJANJIAN

kami yang kecil tak sempat berkasta
himpunan belulang alang-alang menjelang sirna
diganyang angan-angan hampa senja

kau dan guru terus memetakan haluan diri
kita sekutu kembar identik mimpi
tapi di padang kurusetra kaulah kendali
yang tak boleh mati

secepat benalu keinginan
genggammu hebat memetik keniscayaan
nasib kami tanpa tahta dalam barisan
liliput terdepan berdahi penantian

diliput untuk pengandaian
dan secepatnya tumbal rajaman.

luput dikocok tawa arisan

            Medan, Januari 2017


Senin, 16 Januari 2017

LIMA PUISI DI RIAU POS 15 JANUARI 2017







Bermula dari kekaguman pada puisi-puisi yang terbit di Riau Pos, maka maka akupun tergoda untuk mengirim puisi ke harian tersebut. Bukan hanya sekali tetapi berkali-kali.Sebanyak itu pula puisiku kalah bertarung di pisau seleksi redaksi. Hingga pada pengiriman kesekian kali ini, akhirnya bisa merasakan hati yang berbunga sebab mendapat kesempatan mencatatkan kenangan di Rubrik Hari Puisi Riau Pos. 

Pengiriman puisi ini pun penuh perjuangan. Mencoba beberapa email yang pernah kudokumentasikan tapi selalu terpental. Ada yang karena reject, ada yang mailer daemon. Bahkan email yang diberikan seorang penyair muda Riau pun reject dan mailer daemon dengan penjelasan kalimat di  email masuk brestov1@yahoo.co.id bahwa belum ada email bernama seperti yang disampaikan penyair muda itu. Tetapi inilah salah satu sisi positif dunia maya. Ada seribu jalan ke Roma bisa dicari bsehingga bisa kutemukan cara mengirim puisi tersebut yang bebas dari reject serta mailer daemon.

Dalam perkiraanku tak akan secepat ini puisiku mendapat respon dari redaksi. karena pasti berjubel karya penyair yang antri. Tapi inilah juga namanya hidup. Selain kendala, ternyata rejeki pun bisa tak terduga. kalau sudah menjadi ridho Allah.

Setelah puisiku pada hari Sabtu tanggal 14 Januari 2017 dimuat Suara NTB, saya sudah cukup puas dan tak terlalu berharap akan ada lagi puisiku yang terbit pada media sastra di hari minggu. Lagi pula sampai hari minggu sore, Epaper Riau Pos belum dapat diunduh. Demikian juga website Riau Pos pada kolom budaya masih menampilkan karya puisi per tanggal 8 Januari 2017. Tetapi ketika saya sedang membaca daftar pemberitahuan di FB, mataku tertuju pada kalimat "Ranto Napitupulu menyebut anda di komentar Sastra Minggu." Lalu saya  klik pemberitahuan tersebut dan kutemukan 2 gambar di bawah  ini:





Ternyata apparaku Ranto Napitupulu menyampaikan berita ada 5 puisiku dimuat di Riau Pos, dengan judul antara lain: MENCARI KAKI BATHIN SAKAI, DI EX CAMP VIETNAM, METAMORFOSIS USIA, DI TOKO TERMEGAH ITU BUKU-BUKU BERTANYA RAIB dan PERJUANGAN MENJADI NYONYA.. Terimakasih banyak Appara Ranto Napitupulu atas kemurahan hatimu yang bersedia mengirimkan koran cetak padaku.

Di bawah ini kusajikan 2 puisi yaitu MENCARI KAKI BATHIN SAKAI dan  DI TOKO TERMEGAH ITU BUKU-BUKU BERTANYA RAIB


MENCARI KAKI BATHIN SAKAI

paman mancung berburu lemak
koko Acuh mengutil derak
abang latah dari kampung sebelah
berlagak
menujah biji berarak

dari  akar ninik mamak
yang dicamkan jangan beranjak
tapak ulayat melarat serempak
serak berserak

berbutir percik bebercak
tiap tiga  gasing asing berkacak
sungguh bukan imamat kutuk berdecak
sekupak dampak  beriak
isak cabik kampung tersibak
balasan patah aji
setelah terjungkir di haribaan sungai-sungai

paman mancung sarat mengarak
bertabung-tabung lemak
koko Acuh bertongkang tegak
di atas balok beronggok
abang lantang bertabuh lancang
menohok dari lubang-lubang kampung
kencang menyeret kantung-kantung

jerih-jerih memanen riuh
berpengaruh sendawa tinggi
kami dibalur sehampar keluh
kehabisan puih
kuning juling berharta murung

bathin tiba membakar lupa
menghimpun sebara
ingatan timbul tinggal semerah di mata

akar mati dicerabut tandas
rentang setali tiga pendatang
memenuhi rongga masa menjalin asas
menggantikan dupa berupa zaman kelupas

aroma tumbuh berlapis
dibedakan hamparan gelak
tiap dikibas, rentan bergolak
tampak tampuk  telak  beranjak memuncak
di cuaca retak lekas-lekas setampak goyah

onak-onak serak-berserak
di haribaan rebah kerangka ulayat

            Kecamatan Pinggir Bengkalis, September  2016


DI TOKO  TERMEGAH ITU BUKU-BUKU BERTANYA RAIB

banyak cerita tempaan dijaja di rak-rak kota bernama reka-reka
burung beo penjaga toko menjual kata-kata:
 “kitab masih banyak peminat sebab selalu lahir perindu mencari akrab”

kau setuju menyikut galur bingung
anakmu menyikat alur pusing
isterimu terpikat peracik gurih yang kangen
yang tepat membaca   keinginan  penafsu khasiat cepat

tanpa bahan pelenguh, memang kepala berjejer awet muda
menghalau pergulatan yang ingin menduduki pikiran
perasaan tertanam dibiarkan kekal berbunga

calon perempuan pemberi susu cepat kecanduan
mencari di atas kitab tak berbiak tanya
Wajah kakek  berlumut mempertahankan jajaran  pengecap
umur memang bertahan tetapi bertahun menarikan hati kuncup
pikirannya tak berani-berani  melepaskan taji

lelaki mengkal  menguning sebagai pengucap yang banci
terpejam dalam angan-angan tinggi

di toko cerita, kepala-kepala berserak selongsong
setia sekopong kepompong
mendengungkan  birama bencana angin
menutup mata di tiap menggapai  jawaban
dulang di pelupuk hampa menghamparkan harapan
tulang merapuh  sejak bergaung percaya  kosong
tanpa sumsum dari cerita rumit gemetar mendengar genderang
dalam perang tak kuat  berkubang seperti labirin menipu angin

mereka hanya pasangan berbiak penyungging mimpi
tapi merasa sedang menempa adab kota tembus pandang

tak berguru buku-buku siasat berpekat sandi
tapi merasa himpunan yang cemerlang
menjangkitkan  wabahpada mata-mata yang sedang hampa
dengan sekuel kitab-kitab tanpa lambang tanya
yang dinantikan kota berubah perangai

menukar musim goyah dengan menugal sejengkal  serabut
yang dipungut dari kitab  terlumat tanpa ditumbuk pikiran
merasa kelak menjadi pondasi kota

                                    Medan 2016

Minggu, 15 Januari 2017

EMPAT PUISIKU DI SUARA NTB AWAL KIPRAH DI TAHUN 2017


Dua hari lalu, Sabtu 14 Januari 2017 ada 4 puisiku yang dimuat oleh Harian Suara NTB Mataram yaitu 'Wajah Toen Guru Si Pengingat KOta', 'Benih Ular', 'Katanya Bersaksi', 'Katanya Melayani'. Salah satu puisiku tersebut yaitu yang berjudul 'WAJAH TOEAN GURU SI PENGINGAT KOTA.' adalah semacam ODE yang kupersembahkan pada guruku Pak Ir. Bambang Uripno, MSc, seorang rimbawan yang pernah menjadi pejabat struktural di Departemen Kehutanan, penggerak utamaPramuka Saka Wanabakti di Departmen Kehutanan dan terakhir Widyaiswara (Widyaiswara utama?) di PUSDIK Kehutanan Kementerian Lingkungan HIdup dan Kehutanan di Jl Gunung Batu Bogor. 

Pagi ini Senin, 16 Januari 2016 aku terkejut lalu berduka setelah mendapat kabar bahwa beliau barusaja meninggal dunia. Kembali ke haribaanNya.

Memang selama dua minggu ini, hal-hal yang menjadi inti didikannya pada saat saya mengikuti DIKLAT PIM 3 di Bogor tahun 2007 selalu terngiang. Sebab itu saya terdorong mengirimkan puisi itu ke Koran Suara NTB.

Semoga beliau Khusnul Chotimah. Semoga keluarga mendapat tabah dari Allah. Saya salin ulang Puisi buat beliau terseb

WAJAH TOEAN GURU SI PENGINGAT KOTA
:toean Bambang Uripno


Dengan apa menghardik lupa
di kerumunan pelambung derajat dosa?
cepat-cepatlah halau tubuh pengingat murka
dengan semantra tepuk pramuka
hendak kutampar degil peradaban 
yang sigap-sigap menumpang rupa-rupa

kaukah penanam taman di nampan
serimbun kenakalan bertalian? 
Kenanglah tiap-tiap peristiwa terpaut itu
meski kami gampang saling melupakan

mari kulepas kepala tertindih 
yang dihimpit bayangan terlatih
biarkan musim-musim sebentar lagi tertatih
jangan kita tenggelam berlagak kurban menyerah
lalai menghardik pembisik di balik batang sandaran.

dengan apa hendak kutepuk-tepuk wajahmu
biar terpampang telapak suratan pernah dihadang
kita sesama kurban ditempa batang sandaran
berlubang luka lebar-lebar

jejak tapak, buangan waktu yang hilang catatan usia
kenangan dan perburuan samar pada garis tangan
lalu genggam silsilah apa hendak kukawinkan 
sebab dua nasib hanya kepompong

tamparlah daging si penabur duri di telapak tanganku
dengan semantra tepuk pramuka
segala rahasia biar terpental