Senin, 27 April 2015

DUA PUISIKU DI BULETIN JEJAK EDISI 49/APRIL EDISI ULANG TAHUN FORUM SASTRA BEKASI


Sosok Buletin Jejak hanya berupa lembar printout dari printer komputer lalu dijilid dengan cara dihekter. Penggandaannya pun hasil urunan anggota Forum Sastra Bekasi. Buletin tersebut memang bukan cetakan mewah berupa offset dengan sampul mengkilat sebagaimana lazimnya bentuk majalah. Tapi kata pepatah kawanku Don't judge the book by its cover. Ya, meskipun sampul buletin tersebut bukan offset dan bukti terbit yang kuterima hanya berupa file pdf tetapi aku mengagumi buletin tersebut. Meski berbiaya terbitnya murah tapi isinya yang berupa cerpen, puisi dan esai sungguh bermutu. Penulisnya bukan sembarang penulis tetapi rata-rata penulis yang sudah menghasilkan antologi. Selain itu penulisnya sudah jamak berkarya di banyak koran, majalah di seantero media negeri ini. Mengapa isinya demikian berkualitas? Karena Dewan Redaksinya ternyata orang yang berkualitas mumpuni dan punya jejaring kesesusastraan terbentang luas seantero nusantara, bahkan ada yang manca negara.

Di bulan Februari 2015, puisiku sudah dimuat di Buletin Jejak Edisi 47. Tetapi berhubung Edisi 49/April 2015 adalah edisi puisi dalam rangka Ulang Tahun ke-4 Forum Sastra Bekasi dan Buletin Jejak sebagai wadah berkiprah Forum tersebut, maka kuberanikan diriku mengirim puisi ke redaksi meskipun nantinya dibilang kemaruk. Tergerak hatiku  memberikan hadiah  ulang tahun berupa puisi. Ada 2 puisiku  pada edisi Ulang Tahun ini yaitu KUNCI CINTA dan PAYAU PENJERAT






Kunci Cinta
: Rhonda Byrne

Kucoba membakar  sejengkal karat
dengan bara cinta yang kau sebut sebut
memahat   sebentuk kunci lancip
melepas  cinta   pengap
di pintu hatiku   terkatup
kupanggil semua daya yang kau pernah tandai setia
sebagai kawan sekerja menanam harapan.
apa daya kunciku patah tersekap  pada  lubang yang  liat
 tenggelam  karam  dalam  gelap pekat

Kucoba menyemai benih perasaan
pada  kaki  pengembara bepergian
di sungai darah yang ditatal penjagal
dalam ceruk  mata  letih yang selalu kau dedah
berharap terbangun  jembatan penerimaan
di hati cemburu yang lekas  patah
selalu saja burung burung pengintai memagutnya
sebelum  luka turun temurun mengatup
tetap merintih dengan perihnya

Rahasia apa lagi yang mesti kurampas
permainan mana lagi  yang kau kupas
imajinasi apa  menghadang sesat biar kandas
aku sudah mencinta tetapi  jejak semakin terkelupas 
aku berkali mengiba tetapi perampas merompak semakin rakus
di negeri hatiku terkatup setiap kunci dengan lubangnya  tarik menarik
setiap itu pula cintaku tarik menarik, kupak berserak-serak



PAYAU PENJERAT

dari mercusuar ini aku melihat jalan pikiranmu
tak bisa lagi sembunyi
menyelinapkan siasat di ketiak akar bakau itu
akalmu berlarian di garis-garis pikiran
yang kau cabangkan  sengaja menarik pasang
menderu  meruntuhkan perasaanku
demikian lama  sujud mengikut dalam genang yang kau tabur
sungguh rasa asin yang kau aduk dalam rendaman tapakmu 
mengawetkan kebebasanku  terlalu lama percaya bidang datar
kau hampar sebagai gambaran satu rasa dan setia
seperti pertemuan laut dan cakrawala
kau sebut sebagai bandingan percintaan sepadan
aku tersanjung pada pujian pengorbananku yang kau bisik
di tiap nafasmu  menghirup tubuhku terseret  laut dari genggaman paluh
berulang kali, lepas aku pada perhambaan  laut, perhambaan  paluh yang kau persekutukan
mengekalkan kepandaianmu sebagai payau penjerat yang hatinya terpikat
sekali datang, sekali hilang, lekang tubuhku dari kesucian
tinggal lumpur mengendap

Rabu, 15 April 2015

DUA PUISIKU DI RUBRIK REBANA HARIAN ANALISA MEDAN

Untuk ketiga kalinya dalam tahun 2014-2015 Harian Analisa sudi memuat karyaku di Rubrik Rebana Asuhan Sastrawan Bang Idris Pasaribu. Dua judul puisiku yang terbit pada tanggal 12 April 2015 tersebut adalah 'SEBATANG KAYU TERENDAM" dan 'LIDAH LUDAHKU SENDIRI'. Kedua puisi ku ini masih bertema kritik sosial dan politik yang mengemuka di negeri ini.



SEBATANG KAYU TERENDAM

Seseorang   telah menambal  mata kayu  dengan jantungnya
menandai  luka dengan memercik-mercikkan gumam
lihatlah mata air itu  baru patah bercabang  mengabarkan tangisnya
bahwa sunyi telah retak membelah  hening yang sempurna
tak ada lagi yang mesti disimpan hingga berkali-kali tahun
sejak bermula   ada ranting  muda  menyerah   
di sungai yang terpapar burung burung  pengkhianat  bersiul-siul
melepas semua rahasia terendam  paling hormat
tak hanya dahan, sebatang kayupun badannya berlari mengejar laut
meninggalkan rupa yang terkoyak di belantara
berharap ada  perupa yang memberinya mata dan wajah berbeda


LIDAH LUDAHKU SENDIRI

aku tanam benih pada celah merongga batu zakarku
bukannya tumbuh ke dasar hati, malah lidahku yang  datar
tumbuh dedaunan lebat merambat   bercabang dua
mendesis serupa ular kobra sedahsyat lapar memagut butir peluh
tiap melontar dari  lumbung ruhku tak sempat pecah kecambah 

kali lain aku mau berbaik-baik dengan lidahku
siapa tahu ia bunting  manis berlaksa kata berharga
memuas dahaga semua impian tua merana  bikhu pertapa
ilalang tiba-tiba menajam datang meludah hatiku
dengan cercaan tak sopan menjulur begitu saja dari putik muda
memagar lidahku bertemu siapa saja

lidah ludahku sendiri tak dapat kuhampiri
berontak sepenuh maki sebagai ratu penguasa tubuh
menyingkir jiwaku,  terjepit  di lorong kerongkongan
sebagai penyesal merunduk dibunuh suara


Medan, 8 Maret 2015