Selasa, 30 September 2014

ILMU RASA




Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada 5 arti rasa. Ada tiga arti rasa yang secara harfiah masih berkaitan dengan indera pengecap yaitu  lidah yang berkaitan dengan pahit, manis, panas ataupun dingin. Selain  3 arti rasa yang berhubungan dengan lidah ternyata ada dua arti rasa yang sudah meluas tak sekedar respon indera saja. Arti yang keempat itu adalah tanggapan hati terhadap sesuatu seperti sedih, bimbang, takut. Adapun arti yang kelima adalah pertimbangan mengenai baik atau buruk, salah atau benar. Arti yang pertama  sampai dengan yang ketiga dari puluhan tahun yang lalu dengan sekarang bisa dikatakan statis ataupun kalau mengalami pergeseran tidak menghilangkan sifat asalnya. Katakanlah arti manis, asin, pahit, asam, panas atau dingin. Sifat asal dari kata itu masih sama, pergeseran rangsang terhadap seseorang hanya dibedakan oleh kata sangat, agak, sedang atau terlalu tergantung tingkat pengalaman lidah pengecap terhadap benda yang mempunyai rasa yang saya sebutkan di atas.

Arti keempat karena mempunyai arti yang meluas karena tidak sekedar soal ‘kecapan’ tapi karena sudah menyangkut hati. Bahkan arti rasa yang kelima selain melibatkan soal hati ternyata juga sudah melibatkan sedikit pikiran sehingga  pergeseran arti rasa itu tidak sekedar pada kadar sangat, terlalu, sedang atau tawar tetapi  bisa bertolak belakang dari arti sebelumnya.  Jika dulu orang yang hamil di luar nikah dianggap aib besar bahkan bisa sampai terkena hukuman pengucilan, sekarang masyarakat cenderung permisif. Jika dulu seorang ayah yang terkena kasus korupsi, akan berdampak kepada lahirnya rasa malu mendalam dengan wujud kepala yang tertunduk, bahkan penyesalan bercampur putus asa akibat kehilangan martabat yang sangat dalam. Tidak hanya kepada si pelaku tetapi sampai kepada anak isteri bahkan sampai kepada keluarga besar si pelaku. Sekarang si pelaku malah bisa membusungkan dada, tersenyum bahkan  tertawa menantang. Dulu bencana yang melanda  satu orang saja akan dikenang sebagai peristiwa pahit yang juga dirasakan anggota komunitas lainnya dari seseorang itu. Sekarang ini, bencana yang mematikan ribuan jiwa, akan segera terlupakan dalam beberapa bulan atau setahun kemudian. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas lebih dalam soal korupsi atau bencana, tetapi mencoba beropini mengenai beberapa kebiasaan orang Medan terkait arti  kata ‘rasa’ yang kelima menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam menggunakan sarana/prasarana  lalu lintas.

Ketika penulis berkunjung ke Singapura, Malaysia atau Brunei lalu mencoba melihat, dan mengamati pengendara di sana dengan menjadikan diri sendiri sebagai bagian dari sampel pengamatan (Diri sendiri sebagai subyek penyeberangan jalan). Dari beberapa kali uji coba menyeberang jalan  baik pada daerah yang ada traffic light maupun yang tidak ada maka penulis menyimpulkan bahwa ‘rasa’ pengendara di negeri tersebut telah menghasilkan pertimbangan   baik atau buruk, salah ataupun benar (bila melihat seseorang menyeberang di jalan raya) yang sesuai dengan dalil transportasi bahwa pejalan kaki adalah hirarki tertinggi diantara seluruh pelaku transportasi sehingga wajib diutamakan. Sebagai sampel, ketika saya menyeberang di beberapa jalan di kota Bandar Seri Begawan seperti di daerah Gadong dengan cara berjalan santai maupun tergesa-gesa, maka respon pengendara sama: pedal rem akan diinjak si pengendara dan kendaraan berhenti pada pada jarak 20-30 meter dari si penyeberang. Hal tersebut berulangkali saya alami baik di Singapura atau Brunei, tidak hanya pada saat traffic light berwarna merah bahkan saat traffic light berwarna hijau bagi pengendara. Saya perhatikan sekeliling, tak ada polisi yang berjaga di sekitar traffic light maupun persimpangan jalan sebagaimana yang banyak terlihat di kota Medan, untuk membuat ‘rasa’ pengendara ini baik dan benar.  Lalu cobalah kita  lihat ungkapan  rasa baik-buruk atau salah-benar para pengendara di kota Medan (termasuk diri kita saat berkendara), mulai dari beca, sepeda motor, angkutan kota, kenderaan bernilai milyar rupiah atau yang hanya bernilai ratusan ribu. Semua seperti berlomba mengangkangi  zebra cross, bahkan bila perlu trotoar yang seharusnya hak  pejalan kaki. Pada sampel lain Ketika penulis beberapa kali menumpang taksi di Penang, baik ketika di jalan raya maupun di jalur antrian menuju ferry, maka tak ada satupun kendaraan yang mengangkangi marka jalan meskipun kesempatan itu sangat memungkinkan si pengemudi untuk dapat menjadi yang tercepat sampai ke ferry. Semua berbaris di jalurnya dengan rapi sehingga tidak menimbulkan kesemerawutan dan kemacetan dalam menaikkan puluhan kendaraan roda empat ke atas ferry. Lihatlah ilmu rasa orang Medan di jalan raya: Semua jenis kendaraan akan berlomba-lomba mengangkangi marka jalan maupun trotoar demi menjadi yang tercepat bergerak ketika traffic light berganti dari merah ke hijau. Yang berpakaian berdasi, yang memakai simbol-simbol agama di tubuhnya, yang kumal, yang ganteng maupun yang terjelek, mayoritas menunjukkan rasa bangga kalau bisa menjadi yang tercepat dalam  berkendara sekalipun merampas hak orang lain. Tak ada raut yang menunjukkan rasa bersalah, tak ada yang menunjukkan  rasa buruk dalam penampakan rautnya. Bahkan ketika sekelompok kecil pengendera yang punya rasa seperti orang Brunei berkendara, maka justru  kena hujatan melalui klakson yang bertalu-talu karena dianggap menghambat laju kendaraan si perampas hak. Malah sebagian para perampas hak pengguna lalu lintas ini mengumpat pengendara tertib yang mencoba mengingatkan mereka. Apakah para pengendara brutal ini merasa waktunya yang terpenting menuju tempat kerja atau pulang ke rumah? Tapi anehnya, sampai saat ini belum pernah terdengar ada pembalap mobil Formula I  maupun sepeda Motor 250 CC yang berasal dari raja jalanan kota Medan maupun Indonesia.

Sebagian pengendera brutal ini membela diri dengan alasan bahwa jalan di kota Medan sudah kurang lebar, sedang kendaraan terlalu banyak. Jawaban yang sangat subyektif untuk jalanan di kota Medan. Jawaban mereka dapat diterima jika  hal tersebut digunakan untuk membela diri di Kota Jakarta. Karena sekali waktu ketika polisi lalu lintas hadir menertibkan perilaku serampangan tersebut, kemacetan lalu lintas di kota Medan dengan segera dapat teratasi. berbeda halnya dengan kemacetan jalan tol di Jakarta yang menunjukkan ketimpangan yang sangat besar kendaraaan yang keluar-masuk suatu persimpangan jalan. Contoh paling nyata akibat rasa pengendara yang salah dan buruk dalam berkendara dapat dirasakan ketika kita berkendara di sekitar jalan daerah Simpang Limun pada pukul 6.00-8.00 WIB. Jika kita berkendara dari arah Amplas maka begitu berada di wilayah Simpang Limun, akan terlihat barisan kendaraan roda empat yang parkir di jalan sebelah kiri, lalu trotoar di tengah jalan dipenuhi pedagang penjual buah, sayur dan lain-lain sebagaimana pedagang yang menggelar dagangannya di ujung jalan dari arah Sakti Lubis. Lalu pada jalan dari arah Ramayana Teladan, maka setiba di daerah Simpang Limun akan segera macet akibat angkot yang ‘ngetem’ seenaknya, pedagang menjejerkan jualannya di tepi jalan, becak berlawanan arah menghalang laju kendaraan, kendaraan yang bergerak lambat di sebelah kiri tiba-tiba hendak menyerobot jalur kanan. Ada polisi, ada pegawai Dinas Perhubungan, sesekali ada Satpol PP yang selalu berdiri di pinggir jalan sekitar Simpang Limun tersebut tetapi kemacetan luar biasa tiap hari selalu terjadi. Saya belum dapat menyimpulkan ilmu rasa pegawai Dinas Perhubungan dan polisi yang berdiri di pinggir jalan simpang limun tersebut dalam hal memberi rasa aman dan nyaman bagi pengguna lalu lintas yang berhak. Ketika sekali waktu walikota Medan berbaik hati menginstruksikan penertiban pedagang dan kendaraan di wilayah Simpang Limun, maka segera terlihat lalu lintas yang lancar dan bersih. Sayang, upaya penertiban seperti ini hanya bersifat kagetan saja frekuensinya.

Lantas sebagian raja jalanan ini akan membela diri lagi dengan berkata untuk tidak membanding-bandingkan Brunei, Malaysia dan Singapura yang kaya dengan Kota Medan. Tentu untuk ini saya juga punya jawaban bahwa di tiga negara ASEAN yang relatif lebih makmur dari Indonesia tersebut justru lebih banyak kendaraan lawas, sederhana dan berharga murah yang lalu lalang dibanding dengan kota Medan. Bahkan di Penang kendaraan ‘ASTUTI’ alias honda bebek tahun 73 sampai tahun 80 an masih banyak lalu lalang. Sesuatu hal yang tentu sangat menimbulkan rasa gengsi buat orang Medan yang sering menyebut ‘ndak level lah’. Bahkan angkutan umum yang berbodi besar seperti di Singapura dan Malaysia  tak perlu menunggu lama untuk tiba di depan halte tempat calon penumpang menunggu. Kendaraan umum di negara itu bersih, berpendingan udara baik dan ongkos yang sangat murah dibanding tingkat kepuasan yang diperoleh penumpang.

Data menunjukkan bahwa ‘Ilmu Rasa’ yang buruk dan salah sebagai penyebab utama kecelakaan lalu lintas di negeri ini. Data tahun 2013 Kepolisian RI menunjukkan jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia sebanyak 93.578 kasus dengan jumlah korban meninggal sebanyak 23.385 jiwa. Dari jumlah tersebut maka kecelakaan lalu lintas di kota Medan memberi andil sebanyak 1.157 kejadian dengan korban jiwa sebanyak 217 orang. Penyebab utama kecelakaan tersebut adalah tidak disiplinnya pengguna lalu lintas, diantaranya melanggar traffic light dan tanda lalu lintas lainnya. Kematian akibat kecelakaan lalu lintas tersebut termasuk dalam 10 besar penyebab kematian di Indonesia. Bahkan oleh Badan Dunia Kesehatan PBB menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab kematian nomor tiga di indonesia setelah penyakit jantung dan TBC.


Sudah saatnya para pengguna dan pengatur lalu lintas yang mempertahankan ilmu rasa yang salah dan buruk di jalan raya, merenung dan mengubah tabiat. Merenung sambil menyeruput teh atau kopi di kedai, menyeruput  tuak di lapo (jangan sampai mabok tentunya) dan tidak mengulanginya lagi setelah bangun tidur di pagi harinya. Menjaga lalu lintas dengan semangat melayani dan tulus ihklas, menggunakan sarana dan prasrana lalu lintas dengan meniadakan sikap egoistis, menjaga kebugaran tubuh serta menjaga kendaraan dalam kondisi prima. Dan pedagang yang memakai jalan raya untuk mengais rejeki berhentilah menggunakan alasan kemiskinan untuk mendapat ‘privelege’ yang tidak benar. Karena jalan raya bukanlah untuk menggelar dagangan. Itulah Ilmu rasa yang baik dan benar.

           Artikel ini telah dimuat pada Harian Analisa Medan,pada hari Sabtu  tgl 4 Oktober 2014

Rabu, 24 September 2014

ANJING ITU TUGAS UTAMANYA MENJAGA TUANNYA




Di Sumatera Barat, anjing identik dengan binatang pemburu dan sangat lekat dengan tradisi  masyarakat disana. Anjing tersebut dibesarkan dan dipelihara untuk menjadi anjing cekatan dan punya naluri mengendus binatang buruan, khususnya babi hutan yang dianggap sebagai hama bagi tanaman masyarakat. Ukuran kehebatan anjing tersebut adalah seberapa tajam hidungnya mengendus buruan, seberapa cekatan dia menangkap buruan, seberapa banyak buruan yang berhasil dilumpuhkannya. Anjing gagah berani ini akan disayang tuannya dengan cara diberi vitamin,  telur ayam, daging dan makanan lainnya yang dipercaya dapat mempertahankan kegagahannya

Dalam keseharian pun  masyarakat yang terbiasa memelihara anjing umumnya dilatarbelakangi niat untuk meningkatkan rasa aman hunian atau kebun atau peternakannya dari incaran pencuri atau rampok. Suara gongongan anjing minimal dapat membangunkan pemilik rumah sebelum rampok beraksi. Seseorang yang berniat menjarah rumah diharapkan  lari terbirit-birit begitu mendengar geraman dan gonggongan anjing,, atau minimal mengurungkan niatnya karena takut gongngongan anjing tersebut akan membangunkan seisi kampung lalu mengepunya ramai-ramai. Apalagi kalau jenis anjing tersebut herder yang berperawakan tinggi, kuat, lincah dan gigitannya sangat berbahaya.

Pada skala yang lebih lembut, ada jenis anjing yang dipelihara sebagai sahabat anak-anak maupun orang tua. Anjing tersebut dapat menuntun anak-anak maupun orang tua sambil berolah raga di pagi atau sore hari. Anjing ini begitu lembut dan perhatian pada tuannya tetapi akan langsung siaga jika ada yang coba-coba mendekati tuannya dengan maksud jahat.

Namun pada sebagian kecil masyarakat mulai timbul kebiasaan memelihara anjing sebagaimana layaknya anak-anak memainkan bonekanya. Anjing ini dipermak sedemikian rupa, bulu dicuci dengan sampo mahal, diberi pita, di bawa ke salon bahkan dibawa tidur bersama tuannya di kasur empuk dan berpendingin udara. Anjing ini biasanya sangat sulit diharapkan menjaga tuannya dari kemungkinan diganggu preman atau rampok. Anjing ini hanya diharapkan sebagai luapan kemanjaan pemiliknya atau untuk menunjukkan tingkat status pemiliknya untuk dianggap sebagai kelompok 'high class', wanita sosialita atau artis papan atas. Dengan minim peran sebagai anjing penjaga kecuali sebagai penghibur, malah anjing ini justru membutuhkan biaya besar untuk memeliharanya. Bahkan lebih besar dari biaya hidup seorang manusia.

Ada orang yang kita harapkan dalam fungsinya  mengawal hukum, memberi rasa aman pada masyarakat, mengendus ketidakberesan suatu lingkungan dengan cepat malah seperti kehilangan naluri curiga dan awas terhadap sesuatu yang patut dicurigai dan diamankan. Penampilan yang harusnya dia tetap jaga agar ramping, prima dan gagah malah semakin hari perutnya semakin membuncit, geraknya lamban dan maunya hidup dalam fasilitas nyaman dan malas bergerak ke sana-kemari untuk menjaga keadilan dan kebenaran ataupun menangkap buruan yg harus dikerangkeng.

Aku sering kecewa dan marah membaca berita di koran ada orang yang seharusnya menangkap orang malah ditangkap, Aku kecewa dengan oknum yang semakin banyak lupa diri sebagai pengayom masyarakat. Aku kecewa pada oknum yang seharusnya memberi rasa aman malah jadi sumber pembuat masalah. Bahkan ada satu berita koran yang menyebutkan ada kejadian pemerasan, gangguan dan intimidasi pada orang yang duduk-duduk di suatu taman padahal taman itu sangat dekat dengan kantor polisi. Maka aku mengungkapnya lewat puisi di bawah ini







ANJING LUPA DIRI


 Anjing tengkurap dalam selimut tuannya,
 Tak percaya rambutnya melawan gigil
bagaimana telinganya mendengar jahat malam?

 Anjing duduk, sebaris dengan tuannya
 Mengunyah steak dan dan sosis
 Bagaimana tubuh melawan liarnya serigala?

 Anjing dan tuan asik bercengkerama
 Tuan menjadikannya barang mainan
 Anjing merasa pantas  jadi manusia
 Lupa awas dan curiga
 Meninggalkan masa lalu binatang pemburu
 Bagaimana ia mau menjaga malam?

 Bahkan rumahnya diberaki anjing liar
 Diapun masa bodoh
 Perutnya kenyang,
 Tidurnya nyenyak
 Rumah tuan dan tetangga
 Disatroni maling
 Ekornya tetap berkibas ke kiri dan ke kanan


 Batam, 17 September 2013
(Puisi ini telah terbit pada Harian Analisa Medan tanggal 2 Juli 2014)