Selasa, 24 Februari 2015

PUISIKU DI BULETIN JEJAK, FORUM SASTRA BEKASI



Facebook telah hadir sebagai pengabar yang baik. Dari kenalan masa kanak-kanak yang lama tak bersua muka hingga  pembuka komunikasi 2 orang yang tidak saling mengenal tapi oleh minat yang sama dapat bersahabat melalui Facebook.

Bermula dari kekaguman pada puisi-puisi Mas Budhi Setyawan pada blog pribadinya di Wordpress.com, maka aku iseng-iseng browsing akun facebooknya. Eit, ketemu dan kulayangkan permintaan pertemanan. Dan sejatinya para sastrawan umumnya adalah pencari persahabatan.Meski dalam raut terkesan serius, tampilan semau gue dan urakan sehingga sering sastrawan dianggap sebagai pribadi yang penyendiri dan anti sosial.Ternyata dalam komunikasi, tampilan itu tak sepenuhnya benar. Betul, sastrawan cenderung menyendiri ketika menyublimkan fenomena dan responnya sehingga terwujud dalam karya, Tetapi sebagai kodrat manusia sempurna dicipta Tuhan, akan senantiasa membayar kesendirian itu minimal dalam komunitas satu selera. 

Demikianlah aku dan Mas Budhi sering berkomunikasi lewat facebook, bertanya lewat facebook, berkomentar lewat facebook. Banyak informasi, pengetahuan dan kesempatan berkarya komunikasi lewat facebook. Berkat keramahtamahan beliau berkomunikasi, akhirnya seorang Budhi Setyawan kutahu aktif di Forum Sastra Bekasi yang menerbitkan buletin JEJAK. Kukirim 6 puisi kepadanya untuk diseleksi. Seminggu kemudian kuralat satu puisi agar  didrop saja dari proses seleksi karena sudah terlanjur dimuat Banjarmasin Post. Maka dari 5 Puisi itu muncullah 3 puisiku pada penerbitan Buletin Jejak Edisi 47/Februari 2015  yaitu yang berjudul PRIMUS INTERPARES PICISAN, BATU dan GANDRUNG-GANDRUNG, yang kuterima file PDF-nya melalui emailku. Segera kuprint file PDF tersebut sebagaimana di bawah ini.

Terimakasih untuk jerih pikir dan jerih badan redaksi Buletin Jejak.



PRIMUS INTER PARES PICISAN

Sedikitpun kami tak khawatir roda ini mangkat berputar
membunuh nasib dan keberuntungan. ada dan tiada  selalu berulang
ditiap kami hidup dengan nafas seharga sama. tanpa menghitung berapa jarak
harapan dan putus asa yang sudah berlalu toh  tak berbeda jauh
gertak dan iba yang ditentangkan. tiap kami menangis
senasib sepenanggungan hidup hanya merasa  beruntung

kami khawatir beribu-ribu waktu berlalu.
Roda berputar  lupa dihitung berapa kali menangis dan tertawa.
di pusat sumbunya rasa sakit tak pernah hilang
terdengar dari ratapan
penunggang dan  penumpang berganti dengan marah yang sama.
bertentang tanpa iba menyesatkan perjalanan dari jarak tercatat.
lupa keberuntungan. roda berputar jauh melaju
tak bisa kemana pulang apalagi bertemu harapan.


B A T U

Sebuah rumah batu
jendela batu, tak berpintu
telah tumbuh dari rumah kayu
tak ada engsel membuka jendela
engsel jadi batu
tak ada engsel menutup pintu
engsel jadi batu
aku pun berdiri di depan rumah batu
melihat biniku jadi batu dekat tungku
di kursi batu
dengan liang sanggama meneteskan
calon anakku, jadi batu
(Rumahpun melahirkan gaung
dan tertusuk di tiap dinding)
dua telingaku mulai terasa jadi batu

Suara nyanyian itu menempel di dinding
pun jadi batu
jadi ornamen tak punya jiwa
hanya tubuh
lantas kemana orang-orang itu?
Astaga!
Pasangan itu mengangkang jadi batu


GANDRUNG GANDRUNG

Salahkan lapar yang dendam telah menumpas Tirta Gondo
membuat  jembalang  liar hasratnya pada hari malam
meninggalkan berahi pada jejak- jejak perlawanan lelaki
bertahun Antasena telah gugur bersama topengnya
Apa salahnya perempuan Blambangan menampakkan rupa
tanda sembah jujur  pada  cantiknya Dewi Sri
dengan betis bunting mengiakan angin

Jangan salahkan kempul, panjak dan seblang
membesarkan semangat membuat terkapar akad lelaki
karena subuh memang waktu tidur biarkan jembalang mencari-cari
kawan ilalang dari rumpun padi
Kalau Antasena ada tak perlu santri tergoda
merajam dan meradang
karena Semi dan anak-anaknya hanya sungguh
mengoda Dewi Sri berjumpa Antasena

Gandrung Gandrung sembahmu agung!

(Terilham Banyuwangi 2012)