Minggu, 30 Agustus 2015

HARIAN SERAMBI INDONESIA MENANGKAP DUA PUISIKU



Apa lagi hendak kukatakan selain kegembiraan karena Bulan Agustus membawa berkah padaku. Putriku berulang tahun tanggal 29 Agustus, Puisi pertamaku di Koran Nasional Jakarta terbit di bulan Agustus, Tiga minggu berturut-turut Surat Kabar harian sudi memuat puisiku. Puisi yang terbit dari tiga kota: Banjarmasin, Jakarta dan Banda Aceh.  Terimakasih Tuhan untuk bulan yang kujalani ini. 

Demikianlah pada hari Sabtu pagi, Bang Azhari Aiyub Redaktur Sastra Serambi Indonesia, Media yang berada di ujung barat Indonesia  mengirimiku Surat Elektronik untuk mengabarkan: "Jika tak ada aral, besok hari Minggu dua puisimu akan tayang Bung Bresman." Dari kantukku aku terbelalak senang.

Dua kali mengirim puisi ke Media itu baru mendapat kesempatan tayang tanggal 30 Agustus 2015. Satu puisi dari pengiriman pertama, satu puisi dari pengiriman kedua. Dan seperti  yang sering kualami setiap mengirim puisi ke suatu media buat pertama kali, alamat yang kutuju selalu alamat belum termutakhir. aku hanya mencatat alamat email di koran cetak ketika aku sedang melaksanakan tugas Kantor di Kota Langsa. Puisi pertama dua bulan tak ada berita. Di puisi kedua aku juga masih hanya mengirimkannya ke alamat redaksi@serambinews.com. Barulah setelah berkomunikasi dengan sastrawan Marina Novianti "Pemanggil Hujan" yang cerpennya baru dimuat di Tabloid Nova serta searching di google, kudapatkan alamat lain yaitu aiyub.azhari@gmail.com, yang ternyata email yang lekas memberi respon. Dua minggu setelah puisi pengiriman pertama dan pengiriman kedua kuteruskan ke alamat terbaru itu, akupun mendapat respon menyenangkan. Terimakasih ito Marina untuk alamat yang kau beri, terimakasih Bang Azhari Aiyub atas responmu. Inilah puisiku yang berjudul BATU dan SAJAK KELAPARAN tersebut 


B A T U

Sebuah rumah batu
jendela batu, tak berpintu
telah tumbuh dari rumah kayu
tak ada engsel membuka jendela
engsel jadi batu
tak ada engsel menutup pintu
engsel jadi batu
aku pun berdiri di depan rumah batu
melihat perempuanku jadi batu dekat tungku
di kursi batu
dengan liang sanggama meneteskan
calon anakku, jadi batu
(Rumahpun melahirkan gaung
dan tertusuk di tiap dinding)
dua telingaku terasa jadi batu

Suara nyanyian itu menempel di dinding
pun jadi batu
jadi ornamen tak punya jiwa
hanya tubuh
lantas kemana orang-orang itu?
Astaga!
Pasangan itu mengangkang jadi batu


SAJAK KELAPARAN

puisi bertambah keras menguji ketabahannya
bagaimana mengintai aksara gesit berkelit
purnama sudah lama menunggu, semangat makin karat dan terperangkap
melarikan mimpi sebadan  tapi tak menghalau lapar kata-katanya
ramuan pengharum yang diraciknya menyedap ritus
kuning setangkup getir menunggu tuaian
telah ditabal  dia penyair gagah memanggul bait-bait menumpuk di bahu
sewibawa otot dan kepala dewa-dewa agung
berkali malam suntuk, berkali lepas semua makna kata. berharap tertangkap lagi
persembahan buat perempuan-perempuan yang hanya berahi oleh syairnya
sayang, ia tetap pengintai yang tak pernah beranjak
menuai tangkapan


 Medan, Maret 2015

Minggu, 23 Agustus 2015

SUARA KARYA, KORAN NASIONAL PERTAMA MEMUAT PUISIKU





Tak ada keyakinan berlebihan ketika aku mengirimkan enam puisi ke Harian Suara Karya Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2015. Sama seperti ketika kukirimkan via email puisiku pada kesempatan pertama dan kedua. Pada kesempatan ketiga ini pun hanya kuharapkan satu atau dua puisi lolos pisau seleksi redaksi dan dimuat satu bulan setelah pengiriman. 

Sejak pengiriman pada email pertama 11 Juni 2015,  kedua pada 8 juli 2015 dan ketiga tanggal 22 Agustus 2015 tersebut puisi yang saya kirimkan dengan alamat redaksi@suarakarya-online.com selalu rejected alias mailer daemon, yang artinya email gagal diterima alamat tujuan. Penyebabnya saya tidak tahu. Beberapa kawan penulis yang saya hubungi via messenger facebook untuk meminta alamat lain, memberi alamat antara lain: ami.herman@yahoo.com dan redaksisk@yahoo.com. Jalan keluar, maka pada puisi pengiriman I dan II saya teruskan lagi sesuai alamat yang kudapat. Pada pengiriman ketiga tetap saya pakai 3 alamat tersebut.

Pada tanggal 21 Agustus 2015, aku mencari facebook Mas Herman Ami yang kutahu dari kawan-kawan adalah Redaktur Budaya Harian Suara Karya. Akhirnya kudapat dan mencoba membaca statusnya dan kutahu ternyata sejak Maret 2015, Mas Herman Ami sudah tidak bekerja di Harian Suara Karya lagi. Di status tersebut beliau juga meminta agar karya cerpen dan puisi yang ditujukan ke Suara Karya agar tak dikirim lagi melalui emailnya. Segera kuajukan permintaan pertemanan ke beliau dan malam itu juga beliau menerima permintaan pertemanan saya. Saya ceritakan melalui pesan fb ke beliau bahwa sudah mengirim 3 kali melalui email puisi-puisi saya dan belum mendapat respon dari Suara Karya. Melalui pesan balasan beliau saya memperoleh jawaban bahwa Redaktur Budaya Suara Karya saat ini adalah Mas Pudja Rukmana. Selanjutnya beliau menyarankan agar pengiriman puisi dicoba melalui redaksisk@yahoo.com. Persis sperti alamat email yang disarankan rekan sesama penulis seperti Mas Budhi Setyawan, Bang Syafrizal Sahrun dan Ito Marina "Pemanggil Hujan" Novianti.

Eh, surprised, besok siangnya tanggal 22 Agustus, lewat koment fb, ito Marina Novianti mengabarkan bahwa puisiku dimuat di Harian Suara Karya. Lalu dari grup Sastra Minggu Asuhan Mas Abu Nabil Wibisana dkk, Penyair Endang Supriadi mengabarkan bahwa tiga judul puisiku dimuat di Harian Suara Karya, yaitu: YANG BERGURU SEUMUR-UMUR, GURINDAM MENCARI KHATAM dan  KUNCI CINTA. Tentu saja perasaanku senang, tak sampai seminggu sejak pengiriman, akhirnya salah satu cita-cita yaitu puisiku dapat dimuat di Koran Nasional Jakarta dapat terpenuhi. Inilah puisiku tersebut: 






YANG BERGURU SEUMUR UMUR

yang bertanya-tanya sebab dan segala mula
guru hanya menuang setetes noktah putih
ke rongga pikirnya yang masih hampa
naluri kukuh lalu mempersoalkan kepala keruh
tapi dengan sesederhana itu
guru  membebaskan rahasia warna
ditangkupnya diam-diam halaman demi halaman
sampai setebal batang usia
setiap waktu tiba, ia belajar memilih warna
menurut rupa peristiwa
bertentang dan berkelok dengan sedikit variasi
hal-hal yang digaris tebal tiap kali mencoba nasib
meski kerap khilaf mengeja halaman-halaman biasa
yang lupa diberi tanda larang tegas
dari contekan  ingatan gurunya

ketika dia nukilkan hitam
dengan setajam ujung  kuku
itupun dipikirnya bukan tipu daya
hanya sedikit variasi akibat
memetik rahasia warna
yang tak usai dipilah-pilah gurunya


                   Medan, Agustus 2015


GURINDAM MENCARI KHATAM

Merendam luka ke selaut cuka 
tahulah perih tak sepantas  asa
memendam  kata di sembunyi  perut
tahulah  janjiku pun mengerut
mendendam rindu di dasar karam
tahulah cinta  semakin dalam
menggendam pukau di matamu
tahulah mantraku sebatas mau
Kutahu Kau sejauh telinga
belum seluas mata.

membabit dendam di retak  wajah 
tahulah kita seasal rahim terbelah patah
membabat gairah di rumpun sejarah
tahulah bulirmu menurut punah
terbebat jasadmu setebal amarah
tak terkikis  digerus tabah

mengabar pilu di dinding rasa
tahulah niatmu melebihi kenyal duka
mengabur tangis sehampar sebab
tahulah dukamu sebukit sembab
mengobar api di sulut  dendam 
tahulah hatimu dibakar legam
dipanas  kau sedidih timah
dipejal dari remah gedebuk tumpah

Merapal alif sejangkau usia
tahulah aku setebal iqra
Melepas  nafas ke ujung langit 
tahulah cekik sampai menjepit
Meretas kau  sampai mati 
tahulah rapuhnya sebagai  temali
kutahu jiwamu
tak sepantar rohku

                        Medan, Januari 2015


Kunci Cinta
: Rhonda Byrne

Kucoba membakar  sejengkal karat
dengan bara cinta yang kau sebut sebut
memahat   sebentuk kunci lancip
melepas  cinta   pengap
di pintu hatiku   terkatup
kupanggil semua daya yang kau pernah tandai setia
sebagai kawan sekerja menanam harapan.
apa daya kunciku patah tersekap  pada  lubang yang  liat
 tenggelam  karam  dalam  gelap pekat

Kucoba menyemai benih perasaan
pada  kaki  pengembara bepergian
di sungai darah yang ditatal penjagal
dalam ceruk  mata  letih yang selalu kau dedah
berharap terbangun  jembatan penerimaan
di hati cemburu yang lekas  patah
selalu saja burung burung pengintai memagutnya
sebelum  luka turun temurun mengatup
tetap merintih dengan perihnya

Rahasia apa lagi yang mesti kurampas
permainan mana lagi  yang kau kupas
imajinasi apa  menghadang sesat biar kandas
aku sudah mencinta tetapi  jejak semakin terkelupas 
aku berkali mengiba tetapi perampas merompak semakin rakus
di negeri hatiku terkatup setiap kunci dengan lubangnya  tarik menarik
setiap itu pula cintaku tarik menarik, kupak berserak-serak

                                    Medan,  Januari 2015





Minggu, 16 Agustus 2015

BANJARMASIN POST KEDUA KALINYA MEMUAT PUISIKU



Ada puisiku yang satu hari tuntas kutulis lalu kukirim dan dimuat. Ada pula puisiku yang bertahun-tahun kutulis tak rampung-rampung. Berkali-kali bongkar pasang judul, berkali-kali pula bongkar pasang diksi dan metafor. Demikianlah puisi berjudul DI HARI MERDEKA ITU IBU MENANGIS. Lama sekali puisi ini sampai mencapai bentuk dan isi seperti saat kukirimkan ke Banjarmasin Post. Puji Tuhan, Redaksi menilai puisiku layak muat dalam rangka Dirgahyu 70 Republik Indonesia, yang meski sudah bebas dari penjajahan Belanda dan Jepang tetapi belum bebas dari jajahan impor, makan an asing menyerbu, ekonomi asing bercokol dan bual para penguasa menipu rakyatnya. Inilah puisiku tersebut




DI HARI MERDEKA ITU IBU MENANGIS

bumi basah, bumi kita  meski bukan darah
tapi tangis ibu melautkan mata di tujuh puluh  kali
meski bukan nganga luka
tapi letup  asa perih
memecah air mata seburam cermin masa
ibu yang mengikis haru telah habiskah melepas lelaki mudanya
merangkak pada malam yang tak bisa mendengkurkan waktu?
sepotong semangat pudar yang selamat dari luka merdeka
kemana mewariskan  spanduk yang terpatri pada belah bambu?
sekarang senapan tiang semangat buah tangan
sekarang slogan perkasa banyak bicara
sekarang kemarahan lagu pekerja gamang

bumi basah, bumi kita. meski bukan cecer darah
tapi ibu menangisi anak bungsu pagi tadi
yang terkapar kurban letupan putus asa di desa
tak seperti  bapanya martir letupan semangat masa lalu
setelah anak sulung tertimpa beban bulan pertama
tujuh puluh anaknya ia genapkan menungkai bumi, bumi kita
ibu menakar bangga derajat berapa ia  lahirkan anak-anak perkasa
mengekalkan  busung semangat darah bapanya.
betulkah datang, pergi dan bertualang menantang pusaran matahari
atau tumbal keperkasaan selusin slogan pemimpin?
bumi basah, bumi kita, merah  bukan tetesan darah
tapi  selempang yang menampakkan gundah

kematiankah menjadi pengungsian mimpi
setelah mulut hanya bicara lantang?
ketika tubuh menyeret luka malam hari
darah siapa  meterai negeri?
sekarang sibungsu tumbang
tumbal  selusin slogan-slogan pemimpin
hanya bumi yang wariskan sepenggal bangga, bumi kita
sampai tulang tinggal tungkai mendekap tanah
tinggal gundukan menunda erosi
semakin terdengar slogan-slogan
dihembuskan senapan lelaki muda lainnya
dan ketiga belas rusuk yang menghitam
duh, bagimu negeri dijadikan senjata”