Minggu, 23 Agustus 2015

SUARA KARYA, KORAN NASIONAL PERTAMA MEMUAT PUISIKU





Tak ada keyakinan berlebihan ketika aku mengirimkan enam puisi ke Harian Suara Karya Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2015. Sama seperti ketika kukirimkan via email puisiku pada kesempatan pertama dan kedua. Pada kesempatan ketiga ini pun hanya kuharapkan satu atau dua puisi lolos pisau seleksi redaksi dan dimuat satu bulan setelah pengiriman. 

Sejak pengiriman pada email pertama 11 Juni 2015,  kedua pada 8 juli 2015 dan ketiga tanggal 22 Agustus 2015 tersebut puisi yang saya kirimkan dengan alamat redaksi@suarakarya-online.com selalu rejected alias mailer daemon, yang artinya email gagal diterima alamat tujuan. Penyebabnya saya tidak tahu. Beberapa kawan penulis yang saya hubungi via messenger facebook untuk meminta alamat lain, memberi alamat antara lain: ami.herman@yahoo.com dan redaksisk@yahoo.com. Jalan keluar, maka pada puisi pengiriman I dan II saya teruskan lagi sesuai alamat yang kudapat. Pada pengiriman ketiga tetap saya pakai 3 alamat tersebut.

Pada tanggal 21 Agustus 2015, aku mencari facebook Mas Herman Ami yang kutahu dari kawan-kawan adalah Redaktur Budaya Harian Suara Karya. Akhirnya kudapat dan mencoba membaca statusnya dan kutahu ternyata sejak Maret 2015, Mas Herman Ami sudah tidak bekerja di Harian Suara Karya lagi. Di status tersebut beliau juga meminta agar karya cerpen dan puisi yang ditujukan ke Suara Karya agar tak dikirim lagi melalui emailnya. Segera kuajukan permintaan pertemanan ke beliau dan malam itu juga beliau menerima permintaan pertemanan saya. Saya ceritakan melalui pesan fb ke beliau bahwa sudah mengirim 3 kali melalui email puisi-puisi saya dan belum mendapat respon dari Suara Karya. Melalui pesan balasan beliau saya memperoleh jawaban bahwa Redaktur Budaya Suara Karya saat ini adalah Mas Pudja Rukmana. Selanjutnya beliau menyarankan agar pengiriman puisi dicoba melalui redaksisk@yahoo.com. Persis sperti alamat email yang disarankan rekan sesama penulis seperti Mas Budhi Setyawan, Bang Syafrizal Sahrun dan Ito Marina "Pemanggil Hujan" Novianti.

Eh, surprised, besok siangnya tanggal 22 Agustus, lewat koment fb, ito Marina Novianti mengabarkan bahwa puisiku dimuat di Harian Suara Karya. Lalu dari grup Sastra Minggu Asuhan Mas Abu Nabil Wibisana dkk, Penyair Endang Supriadi mengabarkan bahwa tiga judul puisiku dimuat di Harian Suara Karya, yaitu: YANG BERGURU SEUMUR-UMUR, GURINDAM MENCARI KHATAM dan  KUNCI CINTA. Tentu saja perasaanku senang, tak sampai seminggu sejak pengiriman, akhirnya salah satu cita-cita yaitu puisiku dapat dimuat di Koran Nasional Jakarta dapat terpenuhi. Inilah puisiku tersebut: 






YANG BERGURU SEUMUR UMUR

yang bertanya-tanya sebab dan segala mula
guru hanya menuang setetes noktah putih
ke rongga pikirnya yang masih hampa
naluri kukuh lalu mempersoalkan kepala keruh
tapi dengan sesederhana itu
guru  membebaskan rahasia warna
ditangkupnya diam-diam halaman demi halaman
sampai setebal batang usia
setiap waktu tiba, ia belajar memilih warna
menurut rupa peristiwa
bertentang dan berkelok dengan sedikit variasi
hal-hal yang digaris tebal tiap kali mencoba nasib
meski kerap khilaf mengeja halaman-halaman biasa
yang lupa diberi tanda larang tegas
dari contekan  ingatan gurunya

ketika dia nukilkan hitam
dengan setajam ujung  kuku
itupun dipikirnya bukan tipu daya
hanya sedikit variasi akibat
memetik rahasia warna
yang tak usai dipilah-pilah gurunya


                   Medan, Agustus 2015


GURINDAM MENCARI KHATAM

Merendam luka ke selaut cuka 
tahulah perih tak sepantas  asa
memendam  kata di sembunyi  perut
tahulah  janjiku pun mengerut
mendendam rindu di dasar karam
tahulah cinta  semakin dalam
menggendam pukau di matamu
tahulah mantraku sebatas mau
Kutahu Kau sejauh telinga
belum seluas mata.

membabit dendam di retak  wajah 
tahulah kita seasal rahim terbelah patah
membabat gairah di rumpun sejarah
tahulah bulirmu menurut punah
terbebat jasadmu setebal amarah
tak terkikis  digerus tabah

mengabar pilu di dinding rasa
tahulah niatmu melebihi kenyal duka
mengabur tangis sehampar sebab
tahulah dukamu sebukit sembab
mengobar api di sulut  dendam 
tahulah hatimu dibakar legam
dipanas  kau sedidih timah
dipejal dari remah gedebuk tumpah

Merapal alif sejangkau usia
tahulah aku setebal iqra
Melepas  nafas ke ujung langit 
tahulah cekik sampai menjepit
Meretas kau  sampai mati 
tahulah rapuhnya sebagai  temali
kutahu jiwamu
tak sepantar rohku

                        Medan, Januari 2015


Kunci Cinta
: Rhonda Byrne

Kucoba membakar  sejengkal karat
dengan bara cinta yang kau sebut sebut
memahat   sebentuk kunci lancip
melepas  cinta   pengap
di pintu hatiku   terkatup
kupanggil semua daya yang kau pernah tandai setia
sebagai kawan sekerja menanam harapan.
apa daya kunciku patah tersekap  pada  lubang yang  liat
 tenggelam  karam  dalam  gelap pekat

Kucoba menyemai benih perasaan
pada  kaki  pengembara bepergian
di sungai darah yang ditatal penjagal
dalam ceruk  mata  letih yang selalu kau dedah
berharap terbangun  jembatan penerimaan
di hati cemburu yang lekas  patah
selalu saja burung burung pengintai memagutnya
sebelum  luka turun temurun mengatup
tetap merintih dengan perihnya

Rahasia apa lagi yang mesti kurampas
permainan mana lagi  yang kau kupas
imajinasi apa  menghadang sesat biar kandas
aku sudah mencinta tetapi  jejak semakin terkelupas 
aku berkali mengiba tetapi perampas merompak semakin rakus
di negeri hatiku terkatup setiap kunci dengan lubangnya  tarik menarik
setiap itu pula cintaku tarik menarik, kupak berserak-serak

                                    Medan,  Januari 2015





Tidak ada komentar:

Posting Komentar