Minggu, 16 Agustus 2015

BANJARMASIN POST KEDUA KALINYA MEMUAT PUISIKU



Ada puisiku yang satu hari tuntas kutulis lalu kukirim dan dimuat. Ada pula puisiku yang bertahun-tahun kutulis tak rampung-rampung. Berkali-kali bongkar pasang judul, berkali-kali pula bongkar pasang diksi dan metafor. Demikianlah puisi berjudul DI HARI MERDEKA ITU IBU MENANGIS. Lama sekali puisi ini sampai mencapai bentuk dan isi seperti saat kukirimkan ke Banjarmasin Post. Puji Tuhan, Redaksi menilai puisiku layak muat dalam rangka Dirgahyu 70 Republik Indonesia, yang meski sudah bebas dari penjajahan Belanda dan Jepang tetapi belum bebas dari jajahan impor, makan an asing menyerbu, ekonomi asing bercokol dan bual para penguasa menipu rakyatnya. Inilah puisiku tersebut




DI HARI MERDEKA ITU IBU MENANGIS

bumi basah, bumi kita  meski bukan darah
tapi tangis ibu melautkan mata di tujuh puluh  kali
meski bukan nganga luka
tapi letup  asa perih
memecah air mata seburam cermin masa
ibu yang mengikis haru telah habiskah melepas lelaki mudanya
merangkak pada malam yang tak bisa mendengkurkan waktu?
sepotong semangat pudar yang selamat dari luka merdeka
kemana mewariskan  spanduk yang terpatri pada belah bambu?
sekarang senapan tiang semangat buah tangan
sekarang slogan perkasa banyak bicara
sekarang kemarahan lagu pekerja gamang

bumi basah, bumi kita. meski bukan cecer darah
tapi ibu menangisi anak bungsu pagi tadi
yang terkapar kurban letupan putus asa di desa
tak seperti  bapanya martir letupan semangat masa lalu
setelah anak sulung tertimpa beban bulan pertama
tujuh puluh anaknya ia genapkan menungkai bumi, bumi kita
ibu menakar bangga derajat berapa ia  lahirkan anak-anak perkasa
mengekalkan  busung semangat darah bapanya.
betulkah datang, pergi dan bertualang menantang pusaran matahari
atau tumbal keperkasaan selusin slogan pemimpin?
bumi basah, bumi kita, merah  bukan tetesan darah
tapi  selempang yang menampakkan gundah

kematiankah menjadi pengungsian mimpi
setelah mulut hanya bicara lantang?
ketika tubuh menyeret luka malam hari
darah siapa  meterai negeri?
sekarang sibungsu tumbang
tumbal  selusin slogan-slogan pemimpin
hanya bumi yang wariskan sepenggal bangga, bumi kita
sampai tulang tinggal tungkai mendekap tanah
tinggal gundukan menunda erosi
semakin terdengar slogan-slogan
dihembuskan senapan lelaki muda lainnya
dan ketiga belas rusuk yang menghitam
duh, bagimu negeri dijadikan senjata”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar