Minggu, 31 Januari 2016

2 PUISI DI ANALISA 31 JANUARI 2016







Lumayanlah bulan januari 2016 menghadirkan berkah dalam perpuisianku. Setelah Suara Karya menerbitkan 3 puisiku pada beberapa minggu lalu, Harian Analisa berkenan memuat 2 puisiku yang berjudul 'BATU SANDUNGAN' dan 'BUNYI-BUNYI BERTEMPURAN BUNYI-BUNYI BERGUGURAN'. Puisi ini sudah tak kuingat kapan saya emailkan ke redaksi. Di daftar email, baik dalam daftar email masuk, terkirim atau keluar tak ada kutemukan lagi arsip. Kelihatannya kedua puisi ini bagian dari beberapa puisi yang sudah dimuat pada bulan-bulan sebelumnya di tahun 2015. Tapi aku cukup gembira karena tiap bulan masih ada saja media yang berkenan memuat puisiku di tengah ramainya penulis-penulis potensial yang berkompetisi karya. Di bawah ini ku sampaikan salah satu puisiku tersebut. Ada perbedaan diksi dari versi koran dengan yang saya salin. Sebab puisi yang kusalinkan ini adalah versi terakhir setelah diendapkan beberapa bulan.



BATU SANDUNGAN 


seorang rabbi kuintip berkali-kali naik-turun tangga
(rabbi tabah, rabbi rahmah tak sekeluh kesah)
mengukur hati pernah disemai di tiap kolong hidup
semekar mana peladang meniupnya sampai cahaya
suluh pengembara menjajak  cuaca  redup
jadi labuhan tiap  hamba waktu terjepit gelap  
hingga kerumunan tawa  seberapa  bocah 
merintis jalan terang

jangan-jangan hatimu kau tungkap membatu itu
sembunyi  dari mata pencari meraba-raba  rindumu
seorang pelaju tersandung 
tak ada rongga mengaduhkan nasib
anak-anak baru menetas sudah  menggigilkan hidup
sangat  gemetar

hendak kau jawab apa jika nanti rabbi hinggap di pintumu
menggulung lorong hidupmu yang gelap dan lembab
terkuras rintih dagingmu menyekat sembab
terjerembab hatimu  tungkup



BUNYI-BUNYI BERTEMPURAN
BUNYI-BUNYI BERGUGURAN 

berulangkali malaikat mengingatkan
rayapilah sunyi seteguh kodrat
di persimpangan kota jangan tersikut lagu buai
sebab hati karam kan bebal mengikut goda api
jangan pula tertikam pekik  tembok-tembok kota
sebab darah ditempur  amarah sangat mudah mengkhilafkan diri
seketika suara terbakar hitam. menangislah telinga bayi
meratapi nyanyianmu  terhuyung

bunyi-bunyi akan terus bertempuran di medan keyakinan
tapaki jalan lurusmu meski banyak  mengecoh kodrat
mereka penggoda berita yang harus terkabar
sebab tahu kau pecah badai menggelut gelombang
mereka cari cara tersingkat  jarak teguhmu tergagahi
dengan silau tergagap  bersandi tubuh telanjang
bahkan tegap gunung pemerangkap dengan suara merayu
seperti hendak rubuh lalu tiba-tiba  memekik jerat bertalu-talu.
menghantam sepuncak letih
seketika suaramu  terkulai rubuh tak sampai ke pulau  tujuan.
membungkam sesal .  merintih pun tak mampu

begitulah bunyi-bunyi tua
bunyi-bunyi muda berceceran
tak mampu memecah sunyi
terperosok jalan lengang
bergulung  gelombang
bersekutu dengan gemuruh

daripada terperangkap sepi.


                        

Sabtu, 09 Januari 2016

3 PUISI DI SUARA KARYA 9 JANUARI 2016







Meski media cetak secara normatif menyebut bahwa rata-rata waktu tunggu terbit sebuah karya yang dikirimkan 1 sampai dengan 2 bulan. Namun ada beberapa kali karyaku baru dimuat oleh surat kabar lebih dari waktu tunggu tersebut. Salah satunya adalah puisiku yang dimuat tanggal 9 Januari Tahun 2016 di Harian Suara Karya edisi Sabtu ini. Seingatku puisi yang dimuat tersebut sudah saya emailkan ke Redaksi sekitar 5-6 bulan lalu. Saya tak ingat lagi tanggal pasti puisi tersebut saya kirim. Email pengiriman sudah saya hapus ketika beberapa puisi saya diterbitkan oleh Suara Karya pada tanggal 22 Agustus 2015. Mengapa saya hapus email pengiriman, dilandasari pemikiran bahwa 3 puisiku yang dimuat tahun 2016 ini takkan lagi diarsip oleh Suara Karya mengingat puisi saya yang terbit  bulan Agustus tersebut saya kirim hanya dengan masa tunggu 1 minggu saja. Pikirku, tak mungkinlah pengiriman yang lebih lawas dimuat lagi. Bahkan oleh karena tak berharap puisi tersebut akan dimuat oleh Suara Karya, 3 puisi yang terbit di awal tahun 2016 ini sudah saya lakukan beberapa perbaikan dalam diksi dan metafor. Hasil perbaikan tersebut telah pula saya kirim ke Media lain. Terpaksa saya kirim email penarikan 3 puisi saya tersebut. Pada kesempatan upload blog saya kali ini  sengaja puisi hasil editan saya tampilkan pada blog ini agar pembaca dapat melihat perbedaan puisi yang dimuat Suara Karya dengan puisi hasil editan. Sebab saya cenderung akan memilih hasil editan ini jika kelak saya menerbitkan antologi puisi. 
Inilah 3 puisiku tersebut yang berjudul "LUKA KATA", "SAJAK SEPASANG-SEPASANG" dan  "PANGLIMA TALAM".






LUKA KATA

diperam sedalam luka
kata bersetubuh nanah
beranak  sebanyak tanya
riuh menyumpahi lubang mata
hendak pulang membawa sesal
tak pernah bertemu tali penanda

induk kata mencoba mengingat-ingat
sebanyak tanda baca
pengikat patahan raga
tapi lupa aroma koma dan cara membujuk titik
apalagi menemukan tujuan  paling rumit
bagaimana hendak berayun-ayun
dalam  doa jernih terbaca
bingung-bingung menabur-nabur asa
berkelit semirip koma. Diam di pintu paling ragu tak setitik temu
terkepung gigi, mengatup dendam sedendam-dendamnya




SAJAK SEPASANG-SEPASANG


sepasang kaki jagoan berkejaran ke bukit tujuan
engkau pikir  itu dua  saudara berseteru kejantanan
terpukau goda  untuk saling meninggalkan
lihatlah, mereka sekedar saling mengalah
menugal amuk  lelah
yang kau tebar di tiap gigir jejak
hendak kau  pancung  kebut semangat
di tapak jarak mengengah nafas berkucur

sepasang hati terjaga dipekik ibarat
memerah  tubuh segagap kalap
engkau pikir itu kembaran disorak-sorak sumpah
memencar darah ke keinginan terpecah
lihat baik-baik sampai sedalam cahaya,  kupas matamu yang rapuh
si cerdik mengahalau racun di lidah  berkilah
balik beriringan ke lubang  sesat di sepanjang malumu

takkah kau lihat sepasang buah zakarmu  menerka-nerka
hendak kau pilih apa terbelah dari batangmu  hari ini?
takkah kau rasa yang lepas dari lubang malumu
gelegak nikmat atau  khianat kian dekat? 



 PANGLIMA TALAM

kenduri di kampung ibu menghadang lenggang seratus talam
sebab seribu piring terhidang menghianati langgam  lidah
selalu berkata penyungut di  hati sendiri-sendiri
nikmat  tak digenggam satu peramu sesaji 
berpura  dirayu beramai-ramai
diam-diam membusung penusuk pongah setiap  budi terpahat
meski pahit terkabar seperti gurih remah  tercuri dari tiap bisik sunyi
talam menjunjung puncak duli
menimang ratu  pujian semayam di hati

di hati gampang cemburu dan  gampang mendua
talam setia meniti kenduri  menatah tahta lebih 10 tingkat piring
menjaga hati pemabuk kalau memuji diri dengan telanjang alibi
panglima talam dari pantai teguh menjunjung  lintah para petinggi
tak terjual setengah harga di kabar terpagi gemuruh pantai
entah di malam hari ada yang diam-dia menjumput kilau  seharga tertinggi
ketika peminang hati berkubang  segala maksud

pada kenduri di kota kawanku, di tepian keping talam
berkeliling  ruh inkarnasi setengah hati membekal meja jamuan
sembunyi-sembunyi itikad meneguk kabar  bisik-bisik
siapa tahu panglima talam mabuk santan
sejak bosan berlagak  santun
melepas harga tafsir mimpi duli dan menteri
demi sepotong dendam rindu meletup dari bokong    
langgam matlumat nasib kenyang