Minggu, 17 Agustus 2014

69 TAHUN ENGKAU MENJADI IBU WAHAI PERTIWI




     Ibu, apa kabarmu?
Masihkah tangismu sama seperti di awal engkau menjadi ibu kami? Bersusah hati dan berlinang air mata karena  malaise  1000% inflasi itu? Atau laramu masih sama seperti berpuluh tahun lalu ketika   beras hilang tapi berlimpah di pasar gelap, atau lara  kuda gigit besi yang melahirkan para catut dan spekulan? Atau laramu menggunung karena kawan-kawan  Thahir  dan Kartika  masih menimbun dollar Permina atau Migas di Singapura sambil terbahak di ranjang hotel  makan steak, keju dan sosis lalu mengatur persekongkolan baru lagi, semenntara orang desa disuruh menekan ikat pingang ketat-ketat sampai kentutnya pun tak tersisa?
       Kami melihat ibu. 
Namun, Seberapa banyak anak cucumu yang susah hati, tak bisa kujumlah dengan angka absolut. Karena anak-anakmu yang amtenaar terbiasa mengajar kami soal prediksi, asumsi dan persentase dan grafik abstrak. Maafkan aku, ibu jika kusebut pantas kau bersusah hati. Hutan, gunung, sawah lautan seluruh simpanan kekayaan mestinya mendatangkan tawa bahagia kita dan bisa meneriakkan nikmatinya hidup di negeri  'gemah ripah loh jenawi'. Tetapi kenyataannya   kita  bertambah tua selama  69 tahun dengan paranoid, shizoprenia dan deja vu adil makmur berulang sejak zaman PKI Muso, dari zaman G30S PKI,  zaman PRRI Permesta, zaman DII TII, Zaman Orde Baru, bahkan utopia reformasi dan sumpah serapah anak-anak yang semakin berani. Padahal di tahun 45 kita bisa sehati sepikir seperti imamat yang rajani, meniadakan perbedaan, menyepakati kebenaran bersama mesti tak punya tabungan melimpah. Karena memang saat itu semua anak-anakmu sama derajatnya, tinggi kebanggaan dan cintanya pada Ibu dan tak ingin mengkhianatimu. Meski ibu tak punya panen hutan dan minyak, meski ibu cuma beri sepeda, andong, delman, sepatu karet dan kain tetoron tetapi seluruh anakmu berlimpah panen keyakinan dan semangat menjalani masa depan karena tak ada yang berkhianat untuk menjadi lebih kaya dari yang lain. Sekarang engkau pasti iri, melihat anak-anak Singapura dan malaysia berak dan buang sampah di Batam dan Papua dan ibu mereka si Nyonya  Singapura dan Emak Malaysia  menikmati mandi sauna berdinding kayu damar dari lahanmu. Sedang dirimu masih diganduli anak dewasa rakus menyusu. Laramu makin menggunung. 
      Anakmu, sejak anak pertama,   kedua,  bahkan yang sekarang anakmu ke-6 selalu mengulang bual retorika yang sama, lagu nina bobo pengantar tidur yang lapar, perkasa Gajah Mada, Makmur Hayam Wuruk,  Gagah Laksamana Hang Tuah dan rindu genapnya nubuat Joyoboyo dan Ronggowarsito. Mereka tiap tanggal 16 Agustus mendongeng Pertumbuhan perkapita ke atas mesti semua tahu tumbuh ke atas itu  bak anak kurus, tinggi langsing kurang gizi tapi mereka dalilkan itu ciri sukses anak kota. Padahal semua tahu, sosok kurus tinggi dan menonjol tulangnya hanya memancing air lur serigala. Tetapi lagi-lagi mereka klaim itu kebanggaan fenotipe. Katanya yang tinggi gampang melihat dan dilihat dari tugu monas, dari menara eiffel, dari patung liberty atau kalau perlu  dari menara babel. Tetapi mereka lupa bahwa mesti kayu jati atau meranti harus meninggi dulu, tetapi akan semakin berharga mahal ketika  diameter riap pinggangnya tumbuh juga normal lalu menghasilkan volume optimal. Bahkan anakmu yang ke-6 ini tak bisa lepas dari ilmu ajar anakmu ke-2 si pemelihara mafia Barkley dalam memprediksi Asumsi makro ekonomi. Lihatlah pada APBNP Tahun 2013  yang 6,3% ternyata cuma 5,9%. Lalu  laju inflasi yang dia kawal 7,2%, meluap menjadi 9,2%. Dan celakanya, dia menghapus cerita itu  dari kalimat dongengnya tanggal 16 Agustus lalu untuk Rencana tahun depan. Dia hapus ihwal  perkembangan diameter pinggang anak cucumu banyak yang semakin mengerdil. Padahal pemotongan anggaran jelas-jelas ada dipaksakan.  Kesenjangan Indeks Gini kelas bawah, menengah dan atas semakin menjadi, menjauhi angka nol dari 0,37, 0,38, 0,39, 040. Artinya, ada keturunanmu yang berpesta pora tiap malam dalam jumlah sedikit bahkan merasa bisa membeli kekuasaan dan raja,  mengatur skenario surga dan neraka dengan uangnya. Di sebalik itu ada yang meraung kelaparan dalam jumlah lebih banyak, bahkan tak tak tahu masa depannya, apa masih bisa bernafas merdeka atau tidak. Mereka ada 30 Juta orang terancam mati kalau tak memaksa menjadi pekerja informil, copet atau peminta-minta walaupun harus siap digaruk bahkan mati karena pentungan, belati dan pistol karena pemeliharaan amtenaar dalam traktat masih sebatas janji. Efek tetesan madu Trickle Down tak kunjung sampai ke jelata. Ada 50% anakmu yang bisa saja menjadi mati kalau 7 penguasa negeri seberang yang kaya beserta sekondan mafianya mengutak-atik definisi layak  hidup minimal.
      Maaf ibu, akhirnya kita tertimpa tambahan utang ribuan triliun rupiah yang tak bisa dibagi nikmat. Engkau dan aku mesti pasrah dengan pemotongan anggaran tiap tahun dengan dalih optimalisasi, karena anak-anakmu yang sudah sarjana ini katanya tak mampu mencari ladang minyak baru, tak mampu bikin pabrik besar  padat karya yang terlanjur dijanjikan, tak mampu menjadi bupati, walikota, gubernur yang membuat listrik tetap menyala 24 jam, tak mampu mendatangkan investasi yang memberi harapan nyata buat pengangguran. Mereka terbiasa memakai teropong dan loop dari meja kantornya untuk melihat nanah dan borok di Sabang sampai Merauke lalu merangkainya jadi kalimat-kalimat membingungkan. Malah sebagian anakmu yang amtenaar ini mencari rente lewat utak-atik  tata ruang, tukar guling lahan, catatan pengeluaran eksplorasi tanpa eksploitasi yang mesti dibayar, pinjam pakai lahan dan tumpang tindih lahan bahkan bantuan sosial buat yang terdampar karam hidupnya. Sementara sawah ladang di desa kita berkurang. Lihatlah, presentase pengurangan sawah irigasi teknis/semi teknis sebesar 65,91% di Jawa hanya dalam kurun waktu 2007-2010. Warisanmu luas Bu, tetapi mengapa sawah harus diakuisi juga? Sedangkan kebutuhan beras yang kutahu untuk cucumu tetap bertambah dari 13.507.140 ton tahun 1970 menjadi 35.675.910 ton tahun 2005.  Bahkan akuisisi sawah dalam jumlah dan praktek teknologi telah menggelandangkan anak perempuanmu mengembara jadi buruh ketika bernasib baik  dan ketika sialnya tiba, dipaksa melacur di kota karena ani-ani tak dibutuhkan lagi. Pabrik yang dijanjikan berbasis desa entah kapan ditibakan. Cukup jetor, pupuk kimia, pestisida, tengkulak dan tuan tanah menyelesaikan semua perkara transaksi padi. Sekarang 57,8% keturunanmu cuma punya lahan 0,018 Ha/kapita, Sebanyak 38% bahkan tak punya apa-apa hanya mendapat beras menjadi buruh tani di desanya sendiri. Cuma 4,2%/ yang punya lebih 0,5 Ha/kapita lahan. Tetapi aku yakin sebagian besar tuan tanah ini pasti tinggal di kota dan mereka buknlah petani murni.
        Ibu, kubaca sejarahmu dari buku 1926 dan buku 1928 ketika kekasihmu bersumpah. Di masa gadismu itu sudah kau pesankan kepada pemuda yang melamarmu, bahwa cintanya kau terima jika bersatu dalam bangsa dan bahasa pertiwi yang satu: yaitu bahasa kasih semesta yang melampaui  batas egoisme batak, java, celebes, sumatera, kalimantan, islamiten dan kristen ke dalam tubuh Indonesia bukan tubuh radikal pencerca. Tetapi mengapa pula dari dekat rumah besarmu di Jakarta, beberapa keturunanmu (yang kuyakin bukan keturunan hasil selingkuhmu tapi juga anak sahmu) mulutnya berbuih, pikirannya dirusak dengki, amarah, dendam mau merobek sumpah itu. Bahkan dengan gaya anak muda vandalisme mencoret-coret 'airbrush' Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, menyerukan dalil-dalil darah intoleran, berperang di belantara fatamorgana seolah ada dendam tak tuntas entah mencuplik dari buku resmi mana. Delapan kali mereka melakukan kekerasan dan amtenaar mendiamkan saja perilaku mereka seperti tak membahayakan walau sudah ada terlunta yang memuji Tuhannya di depan rumah besarmu, tercabut jiwanya bukan oleh Tuhan tapi karena dajjal. Dan anak radikalmu  seperti tak punya rasa takut memiankan pentungan, makian. Mereka  merasa pikiran dan jalan  Tuhan mesti mengikut a lif  ba ta nya yang masih terbata. Lupa Tuhan itu Causa Prima, tak perlu dibela, dilindungi karena Dia zat yang yang menyebabkan bukan disebabkan, Dia tak bisa digenggam, diraba, diintimidasi, dikerangkeng bahkan tak bisa didefinisikan akal pikir. Apakah mereka pura-pura lupa?
     Ibu, maafkan kami keturunanmu! Janganlah sampai turun putus asamu, jangan pula  sampai kau cubit sendiri lambiak mu (bahasa batak: artinya kulit  pinggul) dengan kutuk tangis seperti ibu menyumpahi Sampuraga dan si Mardan yang menjadi batu karena  sesalmu yang teramat dalam.
Ibu, ibu, ampuni kami sepanjang zaman!




Hotel Majapahit dulu terkenal sebagai Hotel Yamato
Tempat heroik mempertahankan Indonesia yang satu


ORANG KAYA DAN ORANG NESTAPA

Ada orang kaya di negeri nestapa
mengintimidasi dengan media dan harta
bersuara kemana-mana mendalilkan kuasa
 baik suami, baik isteri, anak tiri dan ipar sendiri
baik ibu, baik menantu dan  para sepupu
mereka membesarkan oligarki dengan kuasa partai
Dengan centeng dan ormas pendengki
mereka memburu penentang
menindas sampai ke tepi-tepi

Ada orang kaya di negeri nestapa
membela diri dengan harta dan media
bersuara kemana-mana menutup dosa-dosanya
Berbicara tentang aturan lupa etika
bahkan lupa peristiwa ada istri berhenti dari bank lelakinya
karena setia pada etika.
Orang kaya di negeri nestapa berkata-kata dalam media
katanya sah istri bikin undang-undang di senayan
yang suaminya duduk-duduk di gubernuran
menantu jadi raja pulau-pulau kecil
ibunya menyusun kekuatan di birokrasi
seperti kaum marxis yg meludah Tuhan dan para nabi
mereka memberaki etika
merasa  menggenggam kuasa
bisa membeli siapa saja

Ada orang kaya  di negeri nestapa
dengan harta mengakuisisi  media dan kuasa
membenarkan pasal-pasal melupakan etika
melafalkan hukum tanpa adab
mengulang peristiwa jahanam masa lalu
lupa Tuhan masih pencatat setia
Seperti Louis tercampak kepala
seperti marcos terlunta bangkainya
seperti tuan tanah ditombak dan dipanah
seperti Firaun hilang di laut menganga
seperti burung mencabik bangkai raja
mati terhina!

Ada rakyat nestapa dibuai orang kaya
jadi pelacur menjual masa hidupnya
rahimnya penuh bibit derita
menular kemana-mana
dari nenek, ke ibu dan dirinya
melahirkan anak-anak cacat nurani
mengulang peristiwa jahanam masa lalu
rakyat nestapa sadar pilihannya menipu orang kaya secara kecil-kecilan
tapi lupa orang kaya menipu besar-besaran seluruh silisilahnya
tubuh bau nanah, anak-anak dormancy kurang vitamin
hidup menadah dan mengutang
Lupa Tuhan hanya menepati janji
pada keturunan keempat dan kelima yang taat etikaNya
bukan kepada penjual derita


Ada orang kaya punya kuasa
ada rakyat nestapa
sama-sama mengugurkan etika


        
Sumber bacaan:


Jamil, Hidsal. 2013 Trend Negatif Indeks Gini Indonesia dan Indeks Entropo Theil, Bukti Ketimpangan Ekonomi di Tengah Kebanggaan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah RI. Sebuah Opini. 


Karmana, H Maman. Ivonne Ayesha dan Sri Hery Susilowaty. Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem.


KH, Ramadhan. Ladang Perminus. Sebuah Novel.

Todaro, Michael P. 1998. Pembangungan Ekonomi Dunia III Jilid 1. Penerbit Erlangga. 


Hessi, Rethna. 2009 Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri Serta Implikasinya Terhadap Swassembada Beras di Indonesia. Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Jumat, 15 Agustus 2014

GEMBALA PENYESAT DOMBA DAN KAMBING


       Selama masa ramadhan dalam beberapa tahun ini, sebuah televisi swasta selalu menyajikan sinetron religi yang berjudul Pencari Tuhan. Sukses jilid I, menggoda produser untuk membuat sekuelnya bahkan sampai 4 sekuel. Juga bintang utamanya yang sudah menjadi wakil gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar merasa penting tergoda tampil  meskipun dikritik cari uang lewat sinetron religi agar double pendapatan sebagai pejabat negara dan pekerja seni.
     Sinetronnya sendiri sangat bagus meskipun bukan alasan untuk membenarkan pekerjaan ganda Deddy Mizwar karena Sinetron itu bukan Iklan Layanan resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sinetron tersebut murni jualan televisi swasta untuk menggaet iklan sebanyak-banyaknya agar untung, sedangkan Deddy Mizwar mestinya punya waktu 24 jam kerja sebagai wakil ghubernur. Sinetron Pencari Tuhan  apik dalam cerita. Ada lucunya, ada hidayah realistis, ada konflik, ada kisah aktual dalam kapasitas rakyat jelata (bukan seperti sinetron abal-abal Manusia Serigala, Mak Ijah Naik Haji, Diam-Diam Suka Kamu atau sinetron hidayah yang menampilkan hidup seolah-olah soal hukuman dan hadiah saja) bercerita tentang kehidupan seorang merbot (penjaga mushala) bernama Bang Jack  dan ketiga muridnya yang mantan narapidana, yaitu Chelsea (Melky Bajaj), Barong (Aden Bajaj), dan Juki (Isa Bajaj). Setelah keluar dari penjara, Barong diusir dari komplotan curanmor lantaran sering menyanyi di pengadilan. Setali tiga uang, Juki yang mantan copet, ditolak mentah-mentah saat kembali ke rumah ibunya. Nasib Chelsea agak berbeda. Ketika akan mengajak rujuk kembali dengan mantan istrinya, Marni (Anggia Jelita). Ternyata sang istri sudah menikah dengan Sumarno, polisi yang menjebloskannya ke penjara. Akhirnya mereka bertiga secara tak sengaja bertemu dan luntang-lantung menyusuri Jakarta yang tak lagi ramah. Seharian mereka menjumpai warung tutup. Hati mereka makin sakit, merasa dunia sudah benar-benar menutup diri bagi mereka. Mereka baru tersadar saat ada yang memberitahu bahwa hari ini adalah hari pertama bulan puasa, sehingga tak ada orang makan di warung.
      Di lain waktu, kita disuguhi pula tontonan di tv, bukan sinetron, tapi jadi seperti sinetron. Ada yang mengaku hamba Tuhan yang mendapat urapan, sehingga tiap niat, ucapan, tindakan yang dibuat dianggapnya sah, suci dan tak terbantahkan. Ada sekelompok hamba Tuhan mengaku pendeta yang membuat ibadah syukur kemenangan capres yang diyakini sudah menang mesti sebatas quick count Lembaga survey abal-abal. Dari sebelum Pilpres hingga pasca pilpres mereka membuat 'sinetron" pencari Tuhan, berkeliling ke berbagai kota di Indonesia  sebagaimana mereka mencari dompet, uang, sekondan dan teman intrik tanpa merasa berdosa.
     Bahkan ada seorang Muchtar Ngabalin yang suka nyebelin, yang kerap gonta-ganti partai sebagai sunnah hidupnya dan selalu berlagak suci dan paling benar dengan tameng jubah 'sufi". Merasa dipakaikan jubah kesucian, dengan lantang tanpa etika merasa berhak memaksa Tuhan memenangkan capres pilihannya. Bahkan seorang sekondannya yang wanita dan mengaku Kandidat doktor, dengan jumawa menyebut jagoannya titisan Allah. Meski diralat kemudian, tetapi apa yang mereka ucapkan pasti  didasari kesengajaan serta menganggap jemaah lain orang yang gampang mereka permainkan keimanannya sebagai komiditi, terlebih di negeri ini yang susah membedakan mana yang hanya sekedar symbol mana yang hakiki.
     Bahkan dalam organisasi yang menaungi Jemaat (bukan filial partai tapi murni organisasi agama), para yang mengaku hamba Tuhan, banyak melakonkan cara-cara mencari Tuhan dengan pikiran dan kehendak sendiri, seolah-olah ini hasil perbincangan dengan Tuhan. Sehingga, ketika money politik, intrik mereka mainkan untuk menjadi bishop, ephorus, ketua sinode dengan cara dan langkah partai memilih ketuanya: dengan fasilitas uang, makan dan penginapan, mereka bilang itu sah sebagai hamba Tuhan. Dan gereja pun banyak berdarah-darah, dipenuhi kesumat antar jemaat sekalipun sudah puluhan tahun itu berlalu.
     Aku sebagai jemaat pernah muak dengan itu. Jijik melihat pendeta, jijik melihat ustad, jijik melihat penginjil (yang ternyata tak sedikit di Amerika yang hobby main perempuan), jijik melihat vornganger yang selalu berseteru dengan pendeta jemaatnya soal kewenangan dan fulus. Ada tahunan diriku tak mau ke gereja untuk ritual ibadah, selalu mencari ucapan untuk bertentangan dengan yang mengaku hamba Tuhan itu biar terkesan menelanjangi badan mereka yang apik dalam balutan jas tetapi penuh borok busuk di hati dan pikirannya. Syukurlah, masa itu sudah mulai terlewati, tetapi sekali-sekali masih mau menyindir hamba Tuhan yang suka bersungut-sungut soal kecukupan jasmani, yang mempersoalkan amplop terimakasih untuk layanan bidston pemakaman, bidston pernikahan atau sakramen baptisan kudus. Ketidakpercayaan kepada para pengkhotbah sesat itu membuatku menulis puisi ini 

                                          Bersama kawan karib sealmamater Fahutan Unlam
                                         Foto diambil di rumah Mas Hasanuddin di Palembang

DALAM SAJAK  AKU MENCARI TUHAN

Dalam sajak aku mencari Tuhan
pada puisi Om Willy
pada puisi Bang Anwar
Aku berdzikir dalam sajak
Aku bermazmur dalam sajak
(Bapa, Bapa
dengarkanlah
dengarkanlah)

“Pikullah salib”, kata badut
dan perempuan di pundaknya

Berjanjilah pada Maha
dan mereka telah berjanji pada hama
pada malam-malam yang selalu lupa

“Berjaga-jagalah
Bianglala akan suram
dan mereka yang pertama menyulutnya jadi gosong

(Bapa, Bapa
Dengarkanlah
dengarkanlah)

Dalam sajak
Om Willy berkata jujur
Dalam Mazmur ada janji tak melulu janji-janji
Dalam sajak ada Isa dipotret Anwar
Mengucur darah, mengucur darah

(Bapa, Bapa
Dengarkanlah, dengarkanlah)

Dan bila lonceng itu berdentang
Pada Minggu yang bersolek dengan gincu
Kupanggil Om Willy
Kupanggil Bang anwar
Kupanggil Om Dami
Kupanggil sajak

Allah Ibrahim, Ampunilah
Ampunilah.Aku.
Yang percaya pada sajak
Tidak pada kotbah



Kamis, 14 Agustus 2014

PEMBISIK-PEMBISIK SESAT





Tersebutlah Haman, yang membisikkan sesuatu yang jahat kepada Raja Ahasyweros. Bisikan yang seolah untuk keutuhan negara, tetapi sebenarnya didasari kebenciannya kepada Mordekhai Paman Ratu Ester. Haman menganggap Mordsekhai tak menunjukkan rasa hormat karena tak menundukkan muka kepada dirinya selaku Panglima Besar dengan kekuasaan sedikit saja di bawah raja. Kebencian pribadi ini hampir berujung kepada Genosida yang kesekian kali dalam sejarah hidup suatu bangsa. Raja nyaris percaya dan bertitah menyiapkan tiang gantungan. Tetapi karena Tuhan tak pernah tidur, dia menggerakkan batin Mordekhai, menggerakkan pikiran dan hati Ester untuk mengkomunikasikannya dengan raja sehingga baginda tahu duduk perkara sebenarnya. Tiang gantungan yang untuk Mordekhai akhirnya menjadi tiang gantungan untuk Haman si Pembisik sesat.


Tersebut juga seorang Jenderal brilian negeri ini bernama Tahi Bonar Simatupang yang dengan gagah berani telah turut memperjuangkan negeri ini untuk merdeka dan berdaulat. Tapi oleh karena pembisik sesat demi menjadi orang kepercayaan di sekitar Soekarno, Sang Jenderal yang sempat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang RI. harus pensiun dini tahun 1959. Pembisik-pembisik sesat telah dengan gencar menebar racun fitnah kepada Presiden sehingga Yang Mulia Tuan Presiden menganggap Sang Jenderal suka melawan perintah sehingga mereka berdua tak bisa bekerja sama lagi. Tetapi sebagaimana Tuhan membisiki Ester maka Tuhan juga membisiki Sang Letnan Jenderal sehingga meski pensiun dari dinas militer ternyata bukan berarti istirahat baginya. Pak Simatupang aktif dalam lembaga pedidikan (sempat menjadi Ketua Yayasan dan Pembinaan Manajemen) dan dalam organisasi keagamaan. Ia menjalani kehidupan reflektif di DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia) -- sekarang PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia)--.. Di DGI ., mungkin saya akan bisa memberikan sumbangan yang kecil dalam pengembangan landasan-landasan etik teologi bagi tanggung jawab Kristen di suatu masa .,'' kata Pak Sim.


Negeri Indonesia tak pernah berhenti melahirkan Jenderal pengabdi tulen kepada tanah airnya. Setelah Soedirman wafat, TB Simatupang lengser, lalu muncul kemudian LB Moerdani pada waktu dan tempat yang tepat pada tahun 1978-1983, dalam era kepemimpinan Menhankam / Pangab M. Jusuf, dimana banyak purnawirawan jenderal yang mulai kritis terhadap kepemimpinan Soeharto. KSAD aktif Jendral Widodo, yang ditunjuk pada saat Menhankam / Pangab dijabat Jenderal M. Pangabean, membentuk Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD, sebuah lembaga yang dinilai terlalu keras mengritik Soeharto. Lawan-lawan politik Presiden Soeharto mulai menampakan diri. Mereka justru berasal dari almamaternya sendiri, yaitu Angkatan Darat. Saat itulah Presiden Soeharto memang memerlukan sosok yang kuat untuk melindunginya, tetapi tidak mungkin mengkhianatinya. Benny Moerdani orang sosok yang dituju sebagai Panglima ABRI.

Pada tahun 1983-1985, Mayor Prabowo menjadi staf khusus bagi Jenderal Moerdani. Sebagai staf khusus, Mayor Prabowo melaporkan langkah-langkah pemberantasan gerakan ekstrim kanan Benny kepada mertuanya, termasuk rencana Benny untuk menjadi Presiden RI. Prabowo juga membisikkan bahwa Jenderal Moerdani juga dicurigai punya agenda untuk membersihkan ABRI dari orang-orangnya M. Jusuf. Mendengar laporan menantunya, mula-mula Presiden Soeharto tidak percaya. Tetapi berdasarkan informasi lanjutan yang didapatkan sendiri, dia akhirya percaya. Jenderal itu pun diganti mendadak dan mulai dijauhi. Hanya karena bisikan sesat seorang Mayor. Padahal Jenderal LB Moerdani ada militer tulen yang mencintai tanah airnya melebihi cintanya pada yang lain.


Pun saat ini masih ada pembisik sesat di sekitar penguasa, dari pembisik kelas Presiden, kelas menteri, kelas gubernur, kelas walikota, kelas bupati, kelas kepala dinas bahkan kelas kepala desa, sebagaimana bisikan Fathonah yang menginformasikan lezatnya komisi dari kuota sapi impor, lalu bisikan Nazaruddin betapa lezatnya margin markup hambalang, bisikan staf khusus gubernur betapa lezatnya upeti yang bisa dimainkan dari calon kepala dinas atau bisikan sesat orang-orang di sekitar gubernur yang mengancam karier seorang PNS, bisikan jahat orang dekat Kepala Dinas untuk mematikan seorang staf pengabdi tulus lainnya karena dianggap tak bisa berbagi soal margin kewenangan.


Di masa aku kuliah, seorang temanku pun pernah mengalami sakitnya dizolimi pembisik sesat di sekitar dekan, dosen dan diantara kami mahasiswa. Pembisiknya juga dari kalangan mahasiswa. Pengalaman pahitnya itu kucoba kutuangkan dalam puisi dengan mengambil simbol beberapa tanaman hutan sesuai dengan sifatnya: ada yang epifit, ada yang parasit, ada yang mutualisme, ada yang komensalisme, sebagaimana juga hubungan antara manusia. Tidak banyak puisiku yg bernafaskan idiom dan diksi berbau kehutanan. Kesedihan kawanku ketika itu memberiku inspirasi menulis puisi.


Wahyudi, salah satu sobat karibku di Fahutan Unlam berasal dari Jawa Timur sekarang dia sudah Doktor dari IPB dan menjadi dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Palangkaraya, meskipun bertempat tinggal di Banjarmasin. Kini hidupnya penuh bahagia ditemani isteri seorang dokter berbudi dan anak-anaknya.. Ketika itu dia merasa terzolimi oleh sekelompok orang tanpa alasan yg hakiki (menurutnya hanya persoalan senang atau tidak senang saja).Dia terzolimi hanya oleh karena pernyataannya dalam suatu kegiatan magang kami yang dianggap merendahkan almamater. Padahal menurutku, ucapannya itu hanya dipelintir sekelompok orang yang tak suka dengan kesuksesannya sebagai mahasiswa perantau yang unggul dalam akademik maupun organisasi. Wahyudi Ketua BPM, mahasiswa tercerdas kami, baik hati, berapi-api dan punya idealisme tinggi dianggap sebagian mahasiswa lokal sebagai ancaman untuk menjadi dosen di almamater kami. Aku dan Wahyudi berkawan akrab sebagai pribadi maupun organisasi. Bahu membahu kami menerbtikan buletin Warta Sylva hingga menjadi media kesayangan mahasiswa. Kutulis puisi ini ketika itu sebagai bagian dari nasehatku waktu itu untuk membangkitkan semangatnya. Dan syukurlah, meskipun dia tidak jadi ditempatkan sebagai dosen ikatan dinas di UNLAM tetapi dia sukses jadi dosen di Universitas Palangkaraya dan gelar Doktornya dari IPB dia raih dengan IP 4,00. Orang-orang yang menzoliminya, aku dengar berita perjalanan hidupnya kemudian ada yang tersendat sebagai bagian dari upahnya sebagai pembisik sesat.



NASEHAT KEPADA TEMANKU WAHYUDI


Dalam cadas lumutpun bisa berjambul
Dalam rahim bumi yang subur
Liana menjadi ular meneteskan segala
bisa pada mahkota Damar
Siapa yang tak kuat akan meranggas
terburai otaknya dalam persaingan segala tuba
Bung, kecemburuan ficus pada Damar
adalah kecemburuan Kain pada Abel
Dari jabang kaum ficus dihidupkan putik
Dihidupkan sari
Memagut rahim bumi, memandulkan rahim Damar

Ini juga perjuangan
Perjuangan kaum Ficus menjadi Ficus

Jadi meniadakan kaum Ficus
Harus juga dengan perjuangan!
Bila perlu Damar-Damar membentuk barisan
Memayungi rahim bumi yang subur
Lalu Ficus gelap sendiri
meraba-raba sendiri
Dan kaum liana saling memagut

           
             Banjabaru 22 Agustus 2014
             Puisi ini telah dimuat di Harian Analisa, Rabu 13 Agustus 2104

Rabu, 13 Agustus 2014

ASMARA DIMANA DERMAGAMU?



     


     Suatu ketika di Banjarbaru yang tahun 1987 sampai dengan 1990 masih sangat sepi (sekarang dipenuhi hotel dan rumah apik), seorang kawan karibku datang padaku minta dibuatkan puisi." Untuk apa?" kataku. Jawabnya untuk gadis yg ditaksirnya nun di Bogor yg sedang kuliah di IPB. Sahabat ku ini baik perangainya, baik jiwa penolongnya. Ketika kutanyakan bagaimana sosok dan rupa gadis itu, ternyata dari ceritanya yang panjang lebar, dapat kusimpulkan gadis itu pun kukenal karena temanku waktu Bimbingan Test di ‘Medica,’ Jalan Taruma Medan (walaupun sekolah asal SMA nya nun di Balige), sebelum aku dapat kepastian lolos tanpa test (PMDK) ke Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Gadis itu hitam tapi manis, sedikit pendiam namun tekun menyiratkan kecerdasan. Dalam beberapa Test Uji Kemampuan yang diselenggaran MEDICA, nilainya cukup baik termasuk juga nilaiku yang dapat dikategorikan bisa memilih jurusan favorit di PTN favorit. Karena teman akrab ku tak bisa dibilang banyak dan keakraban adalah sekuat persaudaraan, maka Maka kubuatkan puisi ini padanya dengan membayangkan dirinyalah aku yang sedang asmara. Menurutnya puisi tersebut sudah dikirimnya ke gadis itu.
      Inilah romantika remaja. Meski buta definisi, muda pengalaman, tapi pingin berpraktek dibarengi hasrat menggebu. Semua serba indah dan opmtimis. Laki-laki merasa paling gagah, perempuan merasa paling juwita merasa harus mengikrarkan janji walau sering bertindak dengan rasa takut-takut berani. Itulah cinta yang banyak melanda remaja sebagai naluri yang diberikan Allah. Pun seperti keberanian kawanku yang timbul meskipun ada Jarak Bogor-Banjarbaru, sejauh jarak keilahian mereka, telah membulatkan dirinya mengirimkan puisi kepada si gadis. Tapi asmara remaja tak selalu berjodoh yang diakhiri dengan perkawinan. Asmara remaja lebih kepada belajar a lif ba ta cinta kasih bagi yang dapat berpikir positif, jebakan nafsu buat yang sahwatnya tak bershalawat, dan bunuh diri buat yang putus asa. Tiga peristiwa ini ada menyertai asmara remaja, pemuda, pemudi yang belum akil balig memeteraikan masa depan. Karena seperti ujar Khahlil Gibran, perkawinan adalah persekutuan dua keilahian, sehingga butuh banyak pertimbangan, melewati banyak ujian dan rintangan, membutuhkan kerucut keyakinan untuk sama-sama menyatakan ‘ya” agar tidak berakhir seperti Siti Nurbaya atau Romeo dan Juliet atau bahkan seperti Rhoma Irama dan angel Lelga, atau Ustad Nur Iskandar yang kawin malam hari cerai di paginya.
      Dan temanku ini pun tidak berjodoh dengan perempuan yang dikirimnya puisi cinta monyet itu, karena cita-cita bercintanya memang belum sampai level kemampuan menyatukan dua keilahian baru selafal iqra apa itu ilahi, apa itu manusia. Beberapa tahun kemudian setelah kedewasaan mengingkatkan percaya dirinya, Nun, di Banjarbaru dia sudah bahagia dengan perempuan yang dikerucutkannya dalam suatu perjanjian keilahian. Tiga anak yang beranjak dewasa sudah menyertai hari-hari mereka.
    Tentu saat ini ada banyak remaja jatuh cinta. Dan juga para dewasa yang merasa sudah menggengam dunia dan kekuasaan. Bahkan ketua partai politik, bikrokrat tua bangka, gubernur boneka masih ada yang selalu merasa jatuh cinta. Ada politikus busuk tua bangka yang berhasil menggauli artis setengah pelacur dengan kata-kata cinta, atau calon artis yang merelakan apa saja kehormatannya untuk naik kelas dan juga berkata karena cinta. Ada pasangan artis yang selalu merasa cintanya suci walau sudah berkali-kali ganti suami atau istri. Ada juga orang kaya merasa jatuh cinta tetapi membeli anak ingusan dengan hartanya sembari berucap: ini sunnah!
     Karena cinta adalah seni yang terkadang menyangkut selera, sah-sah saja berargumen, tetapi ukuran keberhasilan cinta tak di mulut tapi harus dipertarungkan sampai menang di sepanjang usia hidup kita. Tetapi ada baiknya marilah kita bercinta dengan keyakinan menyatukan dua keilahian dan keyakinan dermaga berlabuh sudah kita temukan. Jangan pernah menyatakan perceraian adalah kehendak Tuhan seperti kata artis tukang kawin cerai. Karena Jodoh adalah karunia Tuhan, perceraian adalah keinginan diri, sifat kekanak-kanakan tak kunjung dewasa kata Samuel Mulia di Parodi Harian Kompas. Nafsumu yang menghasilkan perceraian, Tuhan adalah pemberi kekuatan di setiap perjuangan tulus. Karena cinta adalah berkorban sebagaimana Yesus telah menjadi kurban, bukan soal tercukupi sahwat, lipstick, ATM dan mobil, rumah, dan pemanjaanmu dengan dalih tanggung jawab lahir batin dasar statement.
      Inilah puisi tersebut yg juga mendapat apresiasi baik dari komentator Bung Fakhrudin di Radio Mercuclan Martapura


PEMUDA ZULKARNAIN PADA GADISNYA

Setelah lelah seharian
mengarungi samudera diammu
dan belum terpancang bendera kemenangan
pada bunga-bunga hatimu
tak ada kelopak melebar
lelah ini tetap saja tersisa
sebentar saja ijinkan aku berlabuh
di dermaga yang kau bangun entah untuk siapa

Selasa, 12 Agustus 2014

KEMATIAN SELALU ADA DAN SELALU MENDUKAKAN

Pada umur 5 tahun aku ingat satu peristiwa yang masih  lekat diingatanku sampai hari ini. Ibuku membeli seekor babi hitam ukuran sedang (sekitar 50 kg). Kubilang kepada bundaku: “Oma, ini babi peliharaanku kan?”. Jawab ibu: “Olo, lomom (ya, sukamulah”. Maka ketika besok paginya sekitar pukul 6 pagi kudengar ada suara ringkihan babi seperti kesakitan, aku pun melompat dari tempat tidurku dan berlari kesatu arah. Ya, ke arah kandang babi hitamku. Dari beberapa jarak, kulihat ada orang pegang pisau, maka reflek, kuambil balok dan berlari ke arah pemegang pisau. Sebelum balok itu menghantam kepala pemegang pisau, tiba-tiba ada orang memegang tanganku kuat-kuat sehingga kepala orang itu tak terhantam. Aku meronta, tapi sia-sia tenaga kecil. Para tamu di rumahku riuh. Pak Tua Ralin, yang hendak kubalok itu terdiam sesaat. Itulah pertama aku meronta, menangis dan berduka melihat kematian. Kematian babi hitamku yang kuanggap peliharaan kesayangan, harus disembelih untuk acara kumpul keluarga besar karena adik bapaku (Pak Uda Lindung) pulang merindu dari Singkawang.
      Pada umur 7 tahun, aku menyenangi memelihara bermacam binatang. Seperti semangat anak-anak, nafsu pelihara besar, tetapi sesungguhnya lebih kepada niat menjadikan binatang itu hanya mainan selayaknya pistol-pistolan buat anak lelaki atau boneka buat anak perempuan. Maka di suatu ketika, aku merengek kepada ayahku minta dibelikan anak ayam. Dengan senjata air mata, ngambek dan raungan. Bapaku pun luluh. Dibelikannya 5 ekor DOC ayam potong. Gembiraku tak kepalang. Tiap hari kusediakan minumnya, kuberi makan beras. Tetapi anak ayam, walau masih kecil, sudah punya tabiat memberontak mencari kebebasan. Satu dua ekor ayam, berupaya tiap hari melompat dari kotaknya hingga berhasil. Tetapi pencarian kebebasan mereka berakhir sia-siaa, Mereka kemudian ada yang masuk parit dan mati, Ada satun ekor berlari ke sana-kemari lalu digigt anjing. Mati juga. Hingga tinggallah satu ekor dengan besar segenggam tangan anak remaja. Ayam yang tinggal seekor ini kusayang berlebihan karena kuanggap sebatangkara. Tiap malam kubawa ke tempat tempat tidur, satu peraduan dengan aku dan saudari-saudariku. Namun di suatu pagi, biasanya dia mematuk tanganku, tapi pagi itu tak kurasakan. Kucari ke sudur kiri, tak ada. Di sudut kanan, tak ada. Kusingkap selimutku; Astaga, ayam itu sudah mati menegang, tertindih badan ku rupanya malam harinya. Aku meraung, menangis sekencang-kencangnya. Menyalahkan Ayahku menyalahkan ibuku yang tak memeriksa tadi malam, menyalahkan adikku perempuan yang kutuduh telah menindih ayam itu. Itulah tangis keduaku tentang kematian.
             Pada kelas 4 SD, aku punya anjing kesayangan, namanya Kemon. Kusebut nama itu berasal dari kata ‘Co me on” hasil belajar bahasa Inggris dari kakakku Lince yang kuliah di FKIP Nommensen Pematang Siantar. Nama itu jadi nama anjingku karena setiap aku bekata 'Kemon", dia akan berlari ke arahku dengan ekor dikibas-kibasnya, lidah menjulur dan tak lupa menjilati tangan dan kakiku. Si Kemon adalah anjing betina yang sangat produktif melahirkan. Sebagian anaknya kujual, satu dua ekor dibesarkan menemaninya. Kemon ini termasuk anjing unik. Jika sebagian besar anjing melahirkan biasanya  sangat ganas apabila ada yang memegang anaknya. Tapi tidak dengan Kemon. Dia tahu siapa tuannya, dia tahu siapa yang serumah dengannya. Maka ketika kakakku, atau adikku perempuan sengaja iseng mempermainkan Kemon, seolah-olah mau mengambil anaknya, Kemon tak menerjang, mengaum atau menggigit. Dia selalu berlari padaku. Menggaruk-garukkan kukunya ke badanku dan melompat-lompat, lalu berlari gelisah, melengking minta dikasihani dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Sepertinya minta tolong agar aku mengambilkan anaknya yang dipegang saudariku untuk dikembalikan ke tempatnya. Kepintaran Kemon yang lain: Jika kujulurkan tangan minta salam, maka dia pun minta salam. Jika ku bermain ke luar rumah, dia pun maunya ikut mengawal walau kularang. Demikian kedekatanku dengan anjing kampungku ini. Namun di suatu ketika, Kemon menghilang tiga hari. Saat itu dia hamil besar dan bakal melahirkan buat yang keempatkali. Kucari ke banyak tempat di sekitar gang kami, tidak ketemu, hingga suatu saat, kulihat di parit besar di jalan Siatas Barita di depan rumah Pak Tua Panggetong, ada seonggok sosok mengambang di parit itu. Dadaku berdesir, tangisku meledak. Itu Kemon kataku. Kemon telah mati. Cerita dari Mak Tua Panggetong, Kemon ditabrak mobil. Aku berduka untuk hewan peliharaan untuk yang ketiga kalinya.
            Tahun 1991, sepulang dari Magang di HPH 4 bulan, aku berkesempatan pulang dari Banjarbaru Kalimantan Selatan ke rumah orangtua di Pematang Siantar. Aku menemukan nenekku (boru simanjuntak) mamanya mamakku (berumur 99 tahun ketika itu) sudah merasakan keletihan hidup. Hingga seminggu aku di Siantar, keluarlah ucapannya kepada Bapa dan Mamakku: "Antarkanlah aku pulang ke kampungku di Natolutali Kecamatan Sitorang, Taput. Waktuku sudah dekat. Karena tiap malam Bapa dan Mamakku sudah datang menjemput aku biar jangan repot kalian nanti".
        Awalnya orang tuaku keberatan karena membayangkan di kampung tidak akan ada yg mengurusnya se telaten di Siantar. Tetapi setelah seminggu berturut-turut dia sampaikan permintaan itu, maka Bapa dan Mamaku luluh. Dicarter Bapakku lah mobil dan aku, orang tuaku dan dua adikku perempuan turut mengantar nenekku (ompung) ke kampungnya dan membawa aneka makanan untuk keluarga besan Bapakku. Dan ternyata benar, satu bulan setelah diantar, Ompungku kembali menghadapNya dengan tenang. Padahal besoknya aku sudah harus kembali ke Kalimantan Selatan. Tiket kapal laut (Kambuna) ke tanjung priok pun telah kubeli, koperku pun sudah ku isi baju. Ompungku tak rela, bila aku tak menghadiri pemakamannya. Maka besoknya tiket itu kubatalkan ke PELN di Medan, agar aku bisa menyusul bapa dan mamakku ke Natolutali (darah seniku mengalir dari ompungku itu karena dia sangat pintar mendongeng. Zaman SMA ku tiap malam ia mendongeng. aku ingat beberapa diantaranya: Si Tapi Omas Palakki, Ultop ni si Jonaha, Simamora na Oto, Legenda Sitombom. Selalu diaturnya per setengah jam seperti cerita bersambung, biar aku bisa tidur jam 10 malam. dan ompungku adalah Putri Raja Ihutan Simanjuntak dari Sigumpar)

       Kesedihanku yang mendalam ketika itu (bahkan sampai pemakaman pun air mataku meleleh) melahirkan puisi di bawah ini.

Foto: Bapakku pun Menghadap Tuhan. Setelah bundaku membisikkan di telinganya keikhlasannya. Bapakku J Marpaung (Oppu Ganda Doli).
  
ISTIRAHATLAH DENGAN DAMAI
(Immemoriam Nenekku)

Tiba juga waktu itu
dongeng tua, perempuan tua kan pulang
pergi sendiri, menuju tanah Adam
di negeri ‘mana’
genaplah tiap amanat diturunkan

‘Dongeng tua, perempuan tua yang rapuh
berjalan di keterasingan
Aih, dukanya si buyung menitis mata kakeknya
Perempuan tua, senyumnya hitam!
dongeng tua ini bukan miliknya, besok
Ibu si Buyung yg punya

Meskipun dongeng ini dongeng tua dan selalu ada
duka si Buyung di matanya luluh
perempuan tua kan berjalan sendiri?
dongeng tua, negeri mana tak punya batas
negeri mana tak punya akhir
perempuan tua tak ada perhentian
(Si Buyung membesar dukanya)
di pundaknya perempuan tua punya perhentian

Ketika si Buyung di tepuk bapanya
dukanya berhamburan
dongeng tua, dongeng tua
kemana perempuan tua

Puisi ini telah diudarakan di Radio Bahana Nirmala Martapura

8 Agustus 1991

Foto: Tabo nai oppung nami on, nungga pajumpang dohot Tuhan Yesus

Senin, 11 Agustus 2014

MOMEN SEDERHANA BISA JADI PUISI


Seperti sebuah pembelajaran, menulis puisi, tak hanya hanya soal intuisi yang datang, tetapi juga memancing intuisi datang. Pengamatan detail tiap peristiwa, melahirkan persepsi akan peristiwa. Persepsi ini tercoret-coret di kertas jadi materi pokok puisi sebelum dipindahkan lebih rapi ke mesin ketik. Ada juga beberap kali, puisi bisa tertulis rapi satu judul penuh pada kertas. 
       Tiada minggu pada masa 1986-1987 tanpa mengirim puisi, cerpen atau artikel ke Media. Mayoritas puisiku masih punya pertinggal di buku Agenda berupa tulisan tangan. Namun cerpen-cerpen ku, tak satupun saat ini dapat kudokumentasikan. Dulu klipingnya lengkap. Tapi tertinggal di Banjarbaru tempatku kuliah. Kabar terakhir dari kakak di sana, sudah diupayakan dicari diantara tumpukan buku tetap tak ketemu. 
       Di bawah ini sengaja salah satu puisiku yang pernah terbit di  media berikut latar belakang peristiwa puisi tersebut tercipta



Hasil gambar untuk gambar danau toba
INILAH TAWA PERTAMA
 (Senja di pinggiran danau Toba)

Inilah tawa
Anak bumi yang semedhi
Di atas tangis lama
Mengurut-urut nadi
Yang liat merobah situasi
Inilah tawa
Tawa dan air mata nenek
serta kakek yang senyum simpul
Senja ini sangat manis
Semanis senyum cucu
meraba-raba nikmat
Inilah tawa pertama
tawa sedikit basi
dan bau dari luka-duka semalam
Inilah tawa
tawa keriput
tawa yang bundar
tawa perempuan menimang rejeki
tawa yang terbawa dari sisa lelucon
semalam!

Puisi ini telah dimuat pada Harian Mimbar Umum
11 Januari 1987. 


     Puisi di atas tercipta sekitar tahun 1986, ketika kami rombongan Ikatan Penulis/Penggemar Sinar Remaja Harian SIB Cabang Pematangsiantar, antusias menghadiri Pesta Danau Toba. Di sore hari, kami bergerak naik bis ke Simpang Kawat, dekat Tiga Dolok Kabupaten Simalungun. Dari Simpang Kawat, romobongan sekitar 30 orang berjalan kaki menunju Parapat, dipimpin Bang Ranto Napitupulu. Perjalanan kerap terhenti oleh berbagai sebab. Sebutlah  karena ada anggota rombongan  perempuan keram kaki. Di lain momen perjalanan terhenti di pinggir jalan, karena banyak bus besar lewat berpapasan sehingga kami harus diam menepi. Atau lain ketika, saat ada satu dua orang teman cowok yang kebelet mau buang air kecil, sehingga cari semak di pinggir jalan.  Uang minim, bekal seadanya, menimbulkan rasa haus dan lapar dalam perjalanan, namun cuma bisa mengumpat dalam hati. Semangat muda kami, akhirnya mampu mengantarkan seluruh rombongan sampai di gerbang Kota Parapat, tepian Danau Toba sekitar Pukul 04 subuh. Begitu tiba di emperan toko, semua teler, dan tertidur seadanya di emperan. Selama perjalanan itu, aku samar-sama aku ingat, aku selalu ada dekat ito Erris Julieatta Napitupulu (Ibunda Joshua Pangaribuan Juara III Indonesia Mencari Bakat), Yanti Siahaan, Albert Marbun, Gustaf Marpaung, Charles Purba. Sengaja aku dekat-dekat dengan perempuan karena kutahu biasanya kaum perempuan selalu menyimpan roti atau sebangsanya di tas ranselnya. Sedikit licik juga.
          Di Pagi hari Pukul 06.00, kami lanjutkan berjalan kaki menuju tepi danau toba, arah ajibata. Rasa kantuk belum hilang, tapi komando pimpinan rombongan sudah terdengar. Begitu sampai di Danau Toba, ada kelegaan. Langsung cuci muka, sikat gigi dan teriak-teriak. Ada moment penting yang kuingat: Ito Erris ndak bawa sikat gigi dan dia pinjam sikat gigiku. Weleh, weleh. Moment ini melahirkan senyum dan tawaku karena lucu aku pikir dan sore, ketika kami bersiap pulang tertulislah puisi di atas.