Sabtu, 13 Januari 2018

PUISI DI KORAN TEMPO UNTUK KEEMPAT KALI





Puji Syukur pada Allah, sejak Tahun 2015, Koran Tempo  telah meloloskan puisiku sebagai laik muat. Sampai sekarang telah 4 kali puisi-puisiku berjodoh dengan KOran Tempo. Sekali di Tahun 2015, Sekali di Tahun 2016, SEkali di Tahun 2017 dan yang diawal Januari Tahun 2018 ini. Puisiku yang Berjudul 'PEKAN-PEKAN TERBETIK MATI TERASING' malah hanya berwaktu tunggu kurang dari seminggu telah dimuat. Nasib baiknya tak lama menunggu sama dengan puisiku yang dimuat Tahun 2016 yang berjudul 'EMPAT PERKABUNGAN BERSINGGUNGAN'

Terima kasih buat Mas Budhi Setyawan yang pertama kali menginfokan pemuatan puisiku ini. Terima kasih buat Ito Dengsi Pardede yang telah berkenan mengirimkan penampakan puisiku lewat jepretan kamera HP bahkan berbaik hati mengirimkan koran versi cetak ke alamat kantorku.

Sila Tuan dan Puan menikmatinya


PEKAN-PEKAN TERBETIK MATI TERASING

: Onan na Marpatik1)


“tiga parsinggungan, onan parsaoran
antaran na bidang, lobuan na godang
pardomuan ni raja, parsaoran ni akka dongan2)

aku mengais tanda-tanda kisah lama
dari sepuhan masa ini
yang terlukis sempat tabah
dan pernah membubung niat bulat raja-raja

kuusik sebiji asam jungga
tak kukira masih menyimpan asam-pahit petaka
kumat dari mati suri, memercik nyeri
di lahir anak-anak raja terkucil

di pekan-pekan, kisah tua bertuah
sejak dikebiri
kini dihayati hanya tersisa
satu hari yang setia
tersiksa menampung hiruk-pikuk
dalam kerumunan simpang-siur harga

patik tak lagi marka ditohok menjorok
sedalam jari-jemari beringin
tak ada sumpah yang kepingin tumbuh bercagak
merelakan urat menjuntai berurai dari tungkai
martir menopang patik tiga3)
ikatan mata seksama hari lepas ari

penyerbu ganjil menumpang di celah sakal
telah menang bertaji akal
ikatan gigih temali jerami
terkikis dipantik jemari pengusik
bersama singgasana raja
sungguh hangus dilucuti bara

muncul penyaru hitam dari debu kematian
senyap keliling sebagai cara berganti faham
berlagak bertaruh sekukuh pengaruh baginda
cuma disepuh sembarang datu
duduk tak setenung raja meramu rambu dari bambu

tapi saudagar-saudagar lekas mengira
bisik-bisik separuh diam tanda tenang pemenang
yang pantas memetik upeti
upah perang yang damai
makhluk terutus dimenangkan bermain patuk api

ada pula nasehat tuan Padri ikut menyudahi,
“segara niat ramai
mesti dicuci di bejana suci
dicicil di satu per satu hari terpuji

walau menalak hantu derita
dipantang di onan bercanang perjamuan
sebab segala bekal bukan umpan berkah
mendinginkan amarah hari membara
jika berkurung jampi-jampi”

maka sekumpulan penunggu
yang sesungguhnya tak bernafsu pengganggu
lintang pukang dari seluas rindang hariara4)
sebab tengah menjulang dirongrong
dipaksa kurban dijatuhkan doa bersekutu

bersama ruh pengasuh
yang tertuding mengasah dosa-dosa
lekas menggelinding dari sanubari onan
meninggalkan irama derap gaduh
tanda mati tak sudi
dicaci-caci di hari suci

warisan pelik perih dan ricuh peluh
dipicu mendidih
setumpah hawa nafsu di hari ketujuh
di luar batasan tanpa palungan keluh

beringin berhati dingin
kini hanya berakar di makam-makam tua
berangan mempertahankan setia
meninggikan harkat paduka
empat yang terjengkang dari pekan
sejak hilang singgasana


          Balige 2017


Keterangan:

1) Onan na Marpatik adalah salah satu dari dua jenis pekan di tanah batak yang merupakan pusat perdagangan dan hubungan lain diantara sesama orang yang tergabung di daerah cakupannya

2) Adalah salah satu ungkapan batak toba terkait onan (pekan)

3) Patik tiga adalah peraturan pasar (Rule of the market)

4) Hariara adalah sejenis pohon yang menjadi ciri khas dalam budaya batak. Sebelum masuknya agama samawi di Tanah Batak, masyarakat mempercayai pohon ini sebagai penentu kehidupan dan pengambil keputusan





Minggu, 07 Januari 2018

DUA PUISIKU DI HARIAN ANALISA MEDAN PEMBUKA KARYA DI TAHUN 2018




Sebenarnya, puisi  saya  yang dimuat ini adalah kiriman tahun 2017. Satu telah dimuat pada bulan Agustus tahun 2017. Bayangkan, bagusnya pengarsipan karya di Harian Analisa yang dikomandani Bang Idris Pasaribu. 



YANG SEMBUNYI DALAM PERMANDIAN INI


dalam persekutuan yang sepakat dirajah basah
apa yang kau terka pada beberapa gigil
hujan pemanah itikad sembunyi
atau kuyup pemerangkap kehendak?
liang zakarmu mengusung air kalam
tapi berdebur debar di secipak-cipak air kolam.
masgyul temaram riang sejak mengandung tiap noda.

kau yang biasa dingin di pertapaan hibernasi
tiba-tiba ingin memandikan jalang meski rahimnya belum dibilas
dari sendawa benih penggoda laten
matamu pun belum kau duga seberapa pedih
mau mengayak batasan dosa

tak kau tahu sejak perempuan Magdala
peramu wewangian dengan air mata
punah
retina rentan sekarang pandai mengaduk
bayang-bayang laut tenang
dititipnya gelombang di lembar almanak
menunggu waktu ruah di ujung hari lengah
perempuan-perempuan penatap bimbang
tiba-tiba mengambang berbangkai hati

kau hendak menunggu seperti si buta kolam siloam
yang bertuah menuai sakti mimpi
tapi seorang tuan lajang pemberi bukti
takkan hinggap lagi di depan pancuran belah

setelah sebab dipunahkan akibat
sejak hakikat karam di persuaan mata
bertalian hajat sumbang

           Kolam renang Cemara Asri Medan, September 2015


KEINGINAN ORANG-ORANG TIMPANG

:Corrado Gini


aku perlu tonik
setempayan tegukan nasib
perlintasan pintas pintas senyawa samak darah
agar panjang jarak kemuliaan kita
tak berbatas jejak biru-merah

gerak mengalir yang terlanjur
buruan hidup kami kaum panik
akan terus bergulir mempersoalkan
luka-luka peperangan nasib

betapa parah parasmu bertekak
betapa gagal kami membentang rupa baik-baik
mengerang kegeraman sedalam gertak
sejak mendelik di hina congkakmu

kaummu pengerat tinggi menakik tuah seharga hidup
berlaksa kawan sedarah kami, telah runtuh ke kasta timpang
tersuruk kami bergulung digiring amarah
menajamkan niat terasah menghunus dendam
sampai huyung kaki terakhir pasti kami tempuh
perjuangan menyayat seruas gemukmu sebagai berkah
mengoyak kulit bebal yang dimaterai aorta biru
sampai merdeka sungai darah bersekutu dalam warna
jika tiba, puasku kelak di atas harga barang langka

kalau kau tak ingin itu terjadi
beri aku menenggak tonik
seteguk dari congkakmu
cara akur menyamak tampak
sampai kulit kita mampu beranak tampak
sekasta mulia yang tegak
tak dipajang pemburu hanya seperti barang antik


Keterangan:

CORRADO GINI adalah ahli Statistika yang mempublikasikan Indeks Gini atau koefisien Gini dalam karyanya Variabilita e mutabilita pada tahun 1912, yaitu salah satu ukuran umum untuk distribusi pendapatan atau kekayaan guna menunjukkan seberapa merata pendapatan dan kekayaan. Kisaran Indeks ini 0 sampai 1.Apabila koefisien Gini bernilai 0 berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila bernilai 1 berarti ketimpangan sempurna.Semakin besar indeks semakin tidak merata pendapatan dan kekayaan dalam suatu negara. Pada tahun 2014, Indeks Gini Indonesia 0,42. Sampai tahun 2010, rasio Gini Indonesia berada di kisaran 0,32-0,38. Tahun 2011-2013 dikisaran 0,41-0,413. Artinya dari tahun ke tahun terjadi kecenderungan peningkatan kesenjangan distribusi pendapatan dan kekayaan.

Rabu, 03 Januari 2018

SATU PUISIKU DI ANTOLOGI PUISI BERSAMA PUPUTAN MELAWAN KORUPSI ,MENGUNYAH GERAM



Puisiku adalah satu yang termaktub dalam Antologi Puisi Bersama 'MENGUNYAH GERAM' bertema Puputan Melawan Korupsi, kerja sama Yayasan Manikaya Kauki dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan kurator tunggal Penyair Wayan Jengki Sunarta. Puisi ini juga sudah pernah dimuat di Harian Suara Karya Jakarta 


PANGLIMA TALAM

kenduri di kampung ibu menghadang lenggang seratus talam
sebab seribu piring terhidang menghianati langgam lidah
selalu berkata penyungut di hati sendiri-sendiri
nikmat tak digenggam, satu peramu sesaji berpura dirayu beramai-ramai
diam-diam membusung penusuk pongah setiap budi terpahat
meski pahit terkabar seperti gurih remah tercuri dari tiap bisik sunyi
talam menjunjung puncak duli, menimang ratu pujian semayam di hati

di hati gampang cemburu dan gampang mendua
talam setia meniti kenduri menatah tahta lebih 10 tingkat piring
menjaga hati pemabuk kalau memuji diri dengan telanjang alibi
panglima talam dari pantai teguh menjunjung lintah para petinggi
tak terjual setengah harga di kabar terpagi gemuruh pantai
entah di malam hari ada yang diam-diam menjumput kilau seharga tertinggi
ketika peminang hati berkubang segala maksud

pada kenduri di kota kawanku, di tepian keping talam
berkeliling ruh inkarnasi setengah hati membekal meja jamuan
sembunyi-sembunyi itikad meneguk kabar bisik-bisik
siapa tahu panglima talam mabuk santan
sejak bosan berlagak santun
melepas harga tafsir mimpi duli dan menteri
demi sepotong dendam rindu meletup dari bokong
langgam matlumat nasib kenyang

Medan, 2015