Jumat, 29 Mei 2015

PUISIKU DI MEDIA ONLINE LINTAS GAYO


Aku tak sengaja menemukan media online bernama Lintas gayo.co. Hal ini berawal dari niatku mencari-cari apa saja puisi yang pernah ditulis oleh Mezra E. Pellondou, sastrawan wanita asal Nusa Tenggara Timur. Muncullah salah satu sajaknya yang dimuat di Lintas Gayo.co. Ternyata selain berita sekitar Tanah Gayo Aceh, media online ini juga memiliki rubrik Sastra berupa Puisi dan Cerpen. Kuklik lebih jauh muatan di rubrik sastra ternyata karya yang ditampilkan lumayan bagus. Dari keterangan lebih lanjut kuketahui bahwa karya yang dimuat dalam versi online akan diterbitkan dalam tabloid Lintas Gayo versi Cetak yang terbit 2 kali setiap bulan yaitu tiap tanggal 7 dan tanggal 22. Kukirimlah beberapa puisi ke email mediaonline tersebut yaitu redaksi.lintasgayo@yahoo.com. bahkan media tersebut punya nomor konfirmasi di 082163432234. Dalam selang 2 hari email yang kukirim sudah ditanggapi redaksi. Muncullah 2 puisi di media tersebut yaitu PENUNGGU HUTAN I dan PENUNGGU HUTAN II.


PENUNGGU HUTAN I

katamu kita akan menebalkan belantara
melebihi rapat alis perempuan menggoda
selalu jadi bandingan cinta tak bertara
mengibas runtuh teguh mata daun berjaga

kaupun menanam maksud meninggi bibit cinta
di hamparan perasaan membusuk  luka
jalan pintas mengatup rintih tanah menganga
ingin merdeka mengobarkan bau rahasia  kita
dari tempat dibuang di jurang-jurang  kematian pertapa
secepatnya  tersekap oleh harum bunga-bunga
secepatnya didekap kerlingan rupa raflesia
meraup lapuk belantara  yang rubuh tergoda

katamu setubuh cinta kita telah menebalkan belantara
menenung kegaduhan orang bunian lelap tak karena mantra
semut beriringan telah tiba dari perjalanan menjauhi alis wanita
katamu meninggalkan perempuan kerontang kehilangan gelora
laki-laki  tergoda melepas pucuk berahi di payung rimba
(lelaki kota yang tak takut lagi pada penunggu menjelma
memang berduyun-duyun ke rimba sebab mendengar rayu suara)

aku mengintip, aku mengendap-endap ke tepi belantara
astaga! hanya ada tumpukan penunggu rimba dan pertapa
semut-semut itu membelah alis para pertapa
ramai-ramai memanggulnya ke kota
lelaki membelah penunggu rimba
memanggulnya ke kota

            Medan 2015


PENUNGGU HUTAN II


sepasukan burung menanam rahasia di tajuk rimba
sedalam persekongkolan  muasal lorong petaka
melamur cacat kelam hilang di lubang raga

melabuh siasat ke persembunyian sempurna
menjejali kesesatan pikiran pendekar kota
seharga kebingungan selinap di mata mereka
cerita keramat akal beranak hantu di cabang dua
mendebar-debarkan jantung tajuk strata
hendak membanting, bila mendekat siapa saja

lingkaran tahun perlahan  terbunuh bersama catatan peristiwa
siang dan malam berderit, dikerat  tinggal debu serbuk dupa
bau dan suaranya menyergap pemburu meraba rahasia
membawa roh bunian ke jelmaan batang hilang 
mengerat tunggul dan menyangka telah memangsa manusia
manusia yang merampas mahkota rimba

orang-orang rimba tak berani menyebut kemana jasad petaka
meski tajuk  raib  serempak dari mata
sebab menyangka rombongan bunian selalu menjelma
menghadang dengan rupa tak tembus mata
membanting, bila mendekat penciuman siapa saja
memangsa, bila dekat keberanian siapa saja



                        Medan 2015


Minggu, 17 Mei 2015

ESAI SASTRA PERTAMA DI HARIAN MEDAN BISNIS


Setelah melalui perjuangan berliku, maka esai pertamaku ini terbit pada hari minggu 17 Mei 2015 di Rubrik Art And Culture Harian Medan Bisnis. Esaiku ini merupakan respon terhadap esai mas Zulfaisal Putera pada tanggal 18 Januari 2015 di Harian Banjarmasin Post Kalimantan Selatan, yang juga merupakan Redaktur Sastra Harian tersebut. Inilah Esaiku tersebut



ANGKATAN YANG LALAI MENULISKAN DAN MELAWAN ZAMANNYA
Oleh Bresman Marpaung


Pada Tanggal 18 Januari 2015 lalu saya tergelitik membaca sebuah esai seorang kawan. Inti esai beliau bagaimana pujangga dibedakan zamannya sehingga disebut Pujangga Lama, Pujangga Baru dan membuka kemungkinan sebutan Pujangga modern. Rasa tergelitik itu membuatku menelisik kembali periode kesusastraan Indonesia pada salah satu situs dan beberapa buku sastra. Kutemukan  catatan bahwa sampai  saat ini  periodesasi/pembagian zaman kesusastraan Indonesia dapat disenaraikan antara lain menjadi Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945,  Angkatan 1950-1960 an, Angkatan 1966-1970-an, Angkatan 1980-1990 an, Angkatan Reformasi, Angkatan 2000-an. Tergelitik juga saya menyimpulkan bahwa dari pujangga lama sampai dengan Angkatan 1966-1970 an. tulisan-tulisan sastra yang dihasilkan masih senafas dengan suasana kebatinan saat itu. para pujangga yang setuju dengan kondisi zaman itu telah menuliskan karya yang memuji dan memuja zamannya. Yang muak dengan kondisi zaman juga telah mengungkapkan  kritikan dan perlawanan melalui prosa atau puisi.  
Setelah angkatan 1945 atau lebih sering disebut Angkatan 45 masih ada 4 Angkatan yang terkena latah menyebut zamannya hanya dengan tahun numerik bukan dengan sebutan tematik alphabetic kecuali satu angkatan setelah zaman kemerdekaan. Padahal ada periode yang sangat khas dengan suasana kebatinan mengental pada periode 1950 sampai dengan 1990: Semangat perlawanan terhadap rejim Orde Lama hingga ke rejim Orde Baru. Mudah-mudahan ini suatu kebetulan bukan karena ketakutan atau kegamangan para pemrakarsa menegaskan tematik yang disuarakan angkatan tersebut.
 Angkatan Pujangga lama dengan karya-karya berbudi halus berupa pantun, syair atau gurindam memang sepadan dengan suasana kebatinan saat itu yang sangat dipengaruhi perkembangan Agama Islam sehingga ciri-ciri karya pun mayoritas bernafaskan keimanan walaupun tidak disebut Angkatan Sufi atau Angkatan Tassawuf.
Lalu pada periode 1870-1942 dikenal dengan istilah Angkatan Sastra Melayu Lama yang menjalar di pulau Sumatera khususnya kalangan Tionghoa dan Indo. Nama Angkatan ini masih dapat diterima dengan logika keilmuan karena memang Melayu  terhampar di pantai Timur Pulau Sumatera bahkan sampai melahirkan ungkapan ‘Takkan Melayu Hilang di Bumi’. Sementara  di pusat-pusat kota negeri di pulau Sumatera banyak Tionghoa dan  dan Belanda  menguasai peradaban. Bahkan tumbuh subur tabiat para Belanda mengawini  dara pribumi yang disebut Nyai. Cerita dan puisi yang berkembang saat itu pun memang sesuai dengan zamannya. Zaman kehidupan asmara para Nyai, zaman kehidupan Tuan Tanah Belanda yang tak sedikit menelantarkan para Nyai, zaman berahi yang mencari kepuasan, yang ditandai munculnya sastra peranakan dari penulis-penulis tionghoa.
Demikian halnya dengan Angkatan Balai Pustaka yang menurut Sarwadi (1999) awalnya merupakan sebuah penerbitan yang didirikan pemerintah kolonial untuk mencitrakan diri sebagai pemerintah berhati mulia. Tapi  para redakturnya pada awal penerbitan sungguh manusia yang jujur terhadap suasana kebatinan saat itu sehingga meskipun terkesan bersekutu dengan paham kolonialis tetap berani meloloskan karya pujangga yang memuat potret  perlawanan menuju bebasan.  Muncullah para pujangga yang setia sebagai pengamat dan pengawas zaman bahkan mampu menancapkan puncak dominasi pujangga dari  Pulau Sumatera  khususnya Sumatera Barat dan Sumatera Utara  dengan tokoh legendaris  Marah Rusli sehingga Angkatan ini disebut juga Angkatan Siti Nurbaya, di samping pujangga lain seperti , Armyn Pane, Nur  Sutan Iskandar, Muhammad Kasim, Abdul Muis dan lain-lain. Ya, angkatan ini angkatan yang melakukan  pemberontakan terhadap kawin paksa, perjodohan dan kekolotan. Ketika pemerintah kolonial mencermati semangat melawan kekolotan sudah mulai berkembang menjadi semangat kebangsaan dari satu dua tulisan yang diloloskan redaktur sehingga masyarakat mulai pintar mencari kawan, maka tekanan politik kolonial melalui  Balai Pustaka  mulai jeli untuk membatasi perlawanan pujangga terhadap zamannya dengan melakukan sensor secara ketat. Maksudnya tentu saja untuk mematikan  semangat kebangsaan pribumi. Untunglah zaman selalu melahirkan satu dua sosok pembangkang keras, demikian halnya dari sosok Angkatan Balai Pustaka satu persatu mulai meninggalkan penerbitan itu untuk menjadi redup dengan karya monumental walaupun Balai Pustaka tetap eksis sampai kini.
Takluknya kekolotan memunculkan semangat kebangsaan, semangat mencari pengetahuan yang kemudian malah melahirkan semangat individualistik. Di masa Angkatan Pujangga Baru lah suasana kebatinan itu tumbuh subur setelah bertunas di zaman Balai Pustaka. Dalam pemikiran saya meskipun saat itu Indonesia belum merdeka dari kungkungan penjajahan dan ada perlawanan dari kelompok Pujangga Baru lain (Amir Hamzah dkk) yang menginginkan seni hanya untuk seni,  tetapi pada masa ini pujangga Indonesia sepenuhnya merdeka sebagai ‘pujangga modern’  sekaligus menjawab  peluang yang ingin dimunculkan oleh oleh rekan sastrawan dalam esainya tersebut. Dalam dua kutub pujangga yang berlawanan ditambah kutub ketiga dari kolonial, satu kutub telah mengobarkan perlawanan tak sebatas pada kekolotan yang terjadi dalam satu suku negeri tapi sudah  mulai mengungkapkan beberapa hal ciri-ciri modernisme seperti kehidupan kota, penyampaian kosa kata baru, memunculkan kritik serta ungkapan  kegelisahan mengapa suku-suku yang berserak di banyak negeri tidak bersatu saja sebagai sebuah suatu bangsa yang bebas.
Angkatan yang paling setia memotret zamannya dalam pemikiran saya adalah Angkatan 45. Angkatan ini meskipun masih menyerpihkan sisa romantik-idealisme tetapi cita-cita, pertentangan dan pemujian yang mengambil suasana kebatinan zamannya paling realistis. Pencantuman Angkatan 45 pada pujangga masa ini pun terasa pas menggambarkan ciri khas angkatan ini yang ingin merdeka sebagai individu dalam satu bangsa. Tetapi meskipun pujangganya individualistik dalam memilih ungkapan tetapi geloranya untuk mengeksiskan negara, bangsa dan pemimpinnya sangat menonjol. Individualistiknya lebih berfokus kepada pemilihan kata agar lebih realistik bertutur dalam tulisan, gambaran semangat menyala-nyala yang tak bisa lagi dipadamkan siapa pun.
Di samping latah menamai angkatan pujangga berdasarkan kurun tahun, latah yang lain dalam penamaan angkatan  adalah mengkaitkannya dengan awal penerbitan suatu media sastra. Disamping penamaan Angkatan Balai Bustaka dan Angkatan Pujangga Baru yang bermula dari munculnya penerbitan Balai Pustaka dan Majalah Pujangga Baru, demikianlah halnya penamaan Angkatan 1950-1960 an yang berawal dari munculnya Majalah Sastra Kisah  asuhan HB Jassin dan Angkatan 1966-1970-an yang berawal dari terbitnya Majalah Sastra Horison yang didirikan oleh Mochtar Lubis. Pada hal dua periode Angkatan ini masih ditautkan oleh suasana pertentangan paham komunis-non komunis dan kesewenang-wenangan penguasa, pertentangan Lekra-Manikebu, pertentangan Orde Lama-Orde Baru. Mengapa Angkatan ini terpisah hanya karena munculnya 2 majalah, munculnya prosa dan puisi yang tak berisikan perkawanan atau pertentangan dengan suasana kebatinan zamannya? Begitu kuatkah pengaruh seorang HB Jassin -sampai Gayus Siagian menggelarinya Paus Sastra- dan Muchtar Lubis mencipta sejarah pada masa itu atau karena mulai permisifnya para pujangga menerima beragam aliran tulisan meskipun ada yang tak menyambung dengan tindak-tanduk zamannya?
Melencengnya pujangga memotret persoalan pokok kegelisahan  zamannya begitu kentara pada Angkatan 1980-1990. Padahal pada masa inilah rejim sangat represif yang semestinya membuka emosi, imajinasi dan intuisi pujangga seluas-luasnya untuk melahirkan karya-karya monumental berdasarkan suasana kebatinan zamannya sebagaimana karya pujangga Mesir yang melahirkan hadiah nobel sastra. Bahkan sebaliknya, angkatan ini begitu mudahnya menobatkan karya picisan  yang banyak dibeli anak muda buta sastra  sebagai karya sastra. Kalaupun ada yang menjurus ke perlawanan rejim, karya itu terlalu lembut untuk mengingatkan suatu zaman diktator dan lahirnya para kroni. Dalam pengalaman saya menjalani tahun-tahun tersebut, meskipun minyak negeri ini masih melimpah demikian juga hasil hutannya, tetapi kemelaratan ada dimana-mana, bahkan di provinsi yang paling tinggi Produk Domestik Bruto nya seperti Kalimantan Timur dan Riau kemiskinan dan kesenjangan itu begitu tampak. Tak pernah kutemukan sajak atau novel atau cerita bersambung tentangnya di Media. Kalaupun rejim otoriter begitu represif memberangus dan membreidel karya pujangga, apakah itu dapat mematikan kegelisahan para pujangga? Bukankah Pramudya Ananta Toer sudah berhasil memberi contoh yang baik bagaimana menghasilkan karya dalam rajaman dan derita yang mengancam kepada kematian? Dalam pemikiranku Angkatan ini banyak menulis dengan berpatokan kepada imajinasi dan pengalaman yang lari dari persoalan pokok bangsanya: kemiskinan, ketakutan dan penyelewengan.
Lalu di atas tahun 1990-an, walau hanya Widji Tukul yang berani menuliskan perlawanan kepada penguasa hingga hilang sampai kini lalu mengapa pula harus ada kelompok yang memproklamirkan Angkatan Reformasi. Bukankah para pujangga yang penakut pada tahun 1980-1990  hanya menjadi pengekor ramai-ramai menulis puisi dan cerita bernada kritik setelah tumbangnya rejim otoriter yang kejam itu? Mereka pula yang menerima berkahnya hidup sebagai Pujangga Angkatan Reformasi. Dapat honor dan kemahsyuran dari karyanya. Sedang Widji Tukul hanya dapat nama sebagai yang terhilang. Dan dalam pengamatan penulis bahwa sejak hilangnya Widji Tukul sampai tahun 2014 ini media nasional atau lokal begitu jarang menerbitkan karya-karya yang mengkritik zamannya. Zaman dimana begitu banyak bupati/walikota dan gubernur ditangkap, zaman dimana wakil rakyat begitu berkuasa, zaman dimana kesenjangan makin menganga. Mengapa media sampai saat ini masih seperti trauma menerima tulisan pujangga yang berkarya sesuai kegelisahan zamannya? Sungguh tidak mungkin tak ada karya pujangga yang satir memaknai zamannya. Untunglah Angkatan 2000 masih penuh pertentangan untuk dinobatkan sebagai Angkatan, sebab karya-karya yang ada belum mampu merespon suasana batinnya zamannya yang paling pokok. Bahkan sampai kini.












Minggu, 10 Mei 2015

PUISIKU YANG DIMUAT HARIAN CAKRAWALA MAKASSAR



Koran-koran daerah yang memiliki ruang sastra (puisi, esai, cerbung dan cerpen dan sebangsanya) akan melahirkan budayawan yang handal merespon peristiwa. Lihatlah Koran di Aceh, Sumut, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Selatan, NTB, NTT, Sulawesi Selatan yang masih menyediakan ruang keindahan dalam kolom-kolomnya telah memunculkan sejumlah nama penulis dari provinsi itu. tak hanya berkiprah di lokal tetapi kemudian mampu menembus media nasional. Justru Media nasional hanya menangkap bahan jadi yang dipoles oleh koran lokal melalui seleksi Redakturnya. Di Provinsi yang korannya menghargai sastra, dari sana juga bermunculan budayawan dan pemikir-pemikir handal di Republik ini. Dan lihatlah betapa penerbitan itu berpusat di Pulau Jawa hingga menjad pusat peradaban masa kini, berbanding lurus dengan jumlah  cerdik cendekia beranak pinak di pulau itu, menggeser jumlah cerdik cendekia yang pada zaman kolonial hingga awal kemerdekaan yang mayoritas dari Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Negeri ini pun merdeka sangat ditopang pemikiran sastraan dan budayawan.

Demikianlah aku yang bermula dari kekaguman melihat layout surat kabar Harian Cakrawala Makassar, membuat rasa puitisku meluap-luap untuk berperan serta di Ruang sastra. Aku sangat mengapresiasi tekad redakturnya yang membina penyair lokal Sulawesi Selatan dengan menyediakan kolom puisi dan cerpen buat mereka dan mendahulukan penerbitan karya mereka. Mulia sekali niatnya. Dan terimakasih setelah karya penulis lokal dimuat selama 1 bulan ini, maka Sabtu tanggal 9 Mei 2015 kemarin 2 puisiku sudah diluluskan redaktur dari pisau seleksi dan terbit  berjudul 'PEMUDA ZULKARNAIN PADA GADISNYA' dan 'KEPADA PEREMPUAN TERCINTA'



PEMUDA ZULKARNAIN PADA GADISNYA

Setelah lelah seharian
mengarungi samudera diammu
dan belum terpancang bendera kemenangan
pada bunga-bunga hatimu
tak ada kelopak melebar
lelah ini tetap saja tersisa
sebentar saja ijinkan aku berlabuh
di dermaga yang kau bangun entah untuk siapa


 KEPADA PEREMPUAN TERCINTA

engkau itu dalam sungai-sungai yang mengalir
tak kunjung berhenti
di muara tak bisa dikenal
siapa siapa

menyatulah denganku
bukan dengan laut
aku akan mengenalmu,
mengenalmu. Mengenalmu

aku bukan batu-batu
yang menunda alirmu

Rabu, 06 Mei 2015

DUA PUISIKU TERBIT LAGI DI HARIAN ANALISA MEDAN



Pada Minggu I April 2015 aku mengirim enam puisi ke Harian Analisa Medan memenuhi  salah satu persyaratan bagi pengirim yaitu minimal melampirkan lima puisi. Dan sebagaimana bulan-bulan sebelum, aku hanya berharap 2-3 puisi lolos seleksi pemuatan. Itu sudah cukup buatku, mengingat Rubrik Rebana Harian Analisa hanya menerbitkan maksimal 5 puisi setiap pemuatan berbagi untuk dua penyair. Maka ketika 2 dari 5 puisi yang kukirim tersebut dimuat pada Tanggal 12 April 2015, aku dapat menerima 4 puisi lagi tak bakal terbit lagi. Bukan karena kuanggap puisi di bawah standar tetapi semata-mata kesadaranku bahwa penyair bukan hanya diriku. Maka tanggal 19 dan 26 April 2015 serta 3 Mei 2015 yaitu tanggal ketika loper koran langgananku mengantarkan Koran Kompas edisi Minggu yang sudah sepuluh tahun lebih kulanggani, aku tak mengotak-atik Harian Analisa dari tumpukan koran di sepeda motornya. Hanya kulirik Harian Medan Bisnis dan Waspada, siapa tahu ada puisi dan esaiku yang dimuat.

Pada Hari Senin 4 Mei 2015, ketika aku membuka facebook, pada lembar pemberitahuan aku membaca  Group Tertutup  Sastra Minggu kreasi Penyair Mas Abu Nabil Wibisana dan kawan-kawan yang ternyata menandaiku dalam suatu upload. Kubuka upload dimaksud, eh ternyata berisi attachment dan pemberitahuan karya  puisi, esai, cerpen dan resensi yang dimuat pada beberapa media dan kubaca namaku beserta dua judul puisiku ada di Harian Analisa. Surprise! Aku betul-betul surprise karena akhirnya 4 dari 6 puisiku dari satu tanggal pengiriman dimuat Harian favoritku dalam jangka 3 minggu. Dan Orang-orang baik hati selalu ada di didalam hidupku. Loper koran langgananku masih punya koran tanggal 3 Mei 2015. Bukan hanya loper koran itu, Wakil kepala Sekolah di tempat putriku Pio ikut kursus Bahasa Inggris dan Mandarin juga memberikan koran yang memuat puisiku itu. Inilah Puisiku yang berjudul 'SIPUT DAN PENUNGGU ANGIN RIBUT' serta 'KERAMAIAN PAGI'


SIPUT DAN PENUNGGU ANGIN RIBUT

di pucuk lidah penunggu
perasaan  itu sesungguhnya  tak sabar
menunggu kesadaran matahari  pulih
bergegas melatai  pikirannya yang  pejal
gelap menyelimutkan semangat
melelapkan keinginan,  terpejam menunggu waktu
penunggu reda mematok dasar  alasan bahwa dingin  yang marah
bertambah marahnya kalau ditentang sebagai angin ribut 
diam-diam penunggu itu mengikut siput telungkup dalam cangkang 
bergumul dengan siasat melekat dalam siaga
tetapi  lama-lama kebosanan memerangkapnya dalam lelap
saat itu juga siput melontar sejengkal 
dagingnya melekat di daun runtuh
pada perputaran angin paling riuh, berlalu  dari penunggu
siput menyeruput daun  kalpataru itu. perutnya sekejap  memadat.
penunggu angin ribut  yang matanya luput dibenam lelap
jasadnya hanya dibaui kesempatan berlalu.
lapar yang mengutuk mengetuk kesadarannya. merasa dia disesat selepas terbangun.
dari pucuk lidahnya perasaan tumpah menjadi serapah 
mencerca siput bertampang penurut sebagai penekuk bebal
memendam siasat tak terbagi terlena sebagai penunggu angin ribut
dimadat kesabaran  waktu.  saat diam-diam siput  jauh berlalu
membawa seketul hidupnya



KERAMAIAN PAGI
:pelindas traffic light


apa yang hendak mereka cari pagi ini dengan  mendesak-desakkan kesabaran
kepada  para penderu, tergopoh  melindas batas tabah menggapai-gapai  kesempatan?
sungsang riuhnya memekik kejantanan  sampai terkupas  bola mata.telanjang
semua keberanian yang dipunya, menyeruduk  tatap. berantuk di keping  hati.
membiru perasaanku menahan luka ketergesaan. mereka kah  pembuka kunci kota
yang ditunggu pelaju di gerbang kebutuhan tersedak?

siapa yang hendak mereka hidupkan pagi ini hingga mendesak-desakkan kesempatan
dengan garis-garis gopoh yang dibentangnya, tak sabar melindas batas waktu 
mereka kah nafas kota yang ditunggu pelaju di  jantung hidup yang sesak?
memental kami dalam teriak  dengan kesabaran yang bertambah retak.

di keramaian pagi berkerumun keinginan memaksa kehendak. merasa mesti paling terdesak
menyesak  semua maksud menghimpit jantung kota  tumpat di empat bilik
semua mencari-cari  alasan jalan pintas melindas keraguan