Minggu, 13 Desember 2015

DUA PUISIKU LAGI-LAGI DI HARIAN ANALISA MEDAN

Kupikir tak ada lagi stok puisi yang kukirim di arsip Harian Analisa. Maka ketika kubuka malam minggu menjelang minggu subuh, situs analisadaily.com, semata-mata ingin mencari tahu karya teman-teman penulis puisi. eh, saat itu pukul 23.30 saat  rubrik rebana, sudah terbuka dan tampak headlinenya, mataku tertuju pada judul puisi di bawah ilustrasi puisi (berupa lukisan sepasang wajah), yang akan terbit di versi cetak Harian Analisa Minggu 13 Desember. Sepertinya aku familiar judul itu. Eh, betul, ternyata itu puisiku. Kususur semua puisi yang dimuat, ternyata ada 2 puisiku yang berjudul "KARMA SI PEMBISIK"  dan 'SIANJUR MULA-MULA". Puisi yang dimuat itu bagian dari puisi yang kukirim 3 bulan lalu. satu tanggal pengiriman dengan puisi yang sudah terbit bulan Oktober 2015 dan November 2015. Lagi-lagi surprised yang menyenangkan. 


KARMA SI PEMBISIK

sebatang lidah  telah berlari menjauhi rongga gigi patah
dua keping bibir tak bertenaga,   gemetar  memeluknya
merasa senasib tubuh tanpa belulang yang tanggal sandaran
takut yang tak punya gantungan  
lepas dari persekongkolan mereka
tak ada sembunyi bagi pembisik dan 
pengecap semua nikmat
sebentar lagi, barisan ruh penasaran
yang lama mengasahkan perih
punya celah  menghunjamkan dendam paling tajam
 

                        Medan 6 April 2015



SIANJUR MULA MULA


bermula dari sepi
Deak Parujar menggenggam cinta
pada tanah retak sekepul
mengakarkan rambut  jadi silsilah bergantungan
bermula horas bermula gabe
Si Boru  Ihat di cinta buta meneruskan silsilah
mengembara ke atas benua   diberkahi sebagai matahari
ikatan mata  seorang raja  menjejak kaki di Pusuk Buhit

bermula sepi, bermula jadi
sunyi berulang menyungsangkan cinta
terpilin   silsilah  terkait-kait di pandangan matahari dan bumi
Si Boru Pareme tertawan berahi Saribu Raja
menyusukan Lontung
dari  tanah retak sekepul mengembara ke belantara
mencari mimpi Sangkuriang merindukan  Dayang Sumbi

dari  tanah retak sekepul
terjejak kaki Debata sedalam lembah
silsilah menuruni Pusuk Buhit mengembara kemana-mana
mengikuti liuk Si boru Biding Laut
ke tepi laut selatan
dengan satu matahari ikatan mata para raja
mencari-cari sepi
mencari-cari sunyi
negeri henti
                                   

                                    Medan, 26 Januari 2014

Minggu, 06 Desember 2015

ANTOLOGI PUISI PERTAMA







Aku temukan lagi sebuah cinta
di dalam aura hadirmu
aku rasakan kelembutan hati
di mimpi indah kasihmu.

Empat baris kalimat  di atas adalah penggalan lirik lagu "Untuk Pertama Kali" Keris Patih. Begitulah kira-kira gambaran hatiku ketika menerima kiriman Mas Kurniawan Junaedhi, yaitu Buku Antologi Puisi Bersama 175 Penyair dari Negeri Poci Edisi Negeri Laut 2015. Hatiku berbunga-bunga seperti menemukan lagi cinta lama yang sempat kulupakan  lebih kurang 15 tahunan. Sejak tahun 1984-1992 aku betul-betul pernah jatuh cinta pada puisi. Banyak momem pernah kuabadikan dalam puisi, seperti momen cinta monyet, momen pencarian jati diri, momen cinta bangsa. Ada beberapa momen aku mendapatkan penghargaan lewat Lomba Cipta Puisi. Sampai kemudian pekerjaan yang menyita waktu dan angan-angan pekerja muda mengumpulkan segenggam berlian dengan sisa sebulan gaji dan sumber pendapatan lainnya dari pekerjaan sebagai PNS, membuatku seperti melupakan perasaan pada puisi. Hingga tahun 2013, kegelisahan melihat fenomena negeri yang penuh poilitikus busuk, birokrat pendusta (lain di bibir lain di hati), bangsa yang diombang-ambingkan satu isu ke isu lain, dan perenungan atas pencapaian hidup yang tergapai, membuat pikiran dan perasaanku bergolak untuk menuliskannya jadi puisi. 

Lalu ada beberapa puisiku dimuat oleh Bang Antony Limtan di Harian Analisa edisi Hari Rabu. Lalu aku ketagihan. Kutulis lagi puisi dan dimuat di Rubrik Rebana Harian Analisa Edisi Minggu. Lalu ku kirim ke beberapa koran yang ada rubrik puisi dan dimuat beberapa. Lalu koran nasional memuat puisiku. Tapi aku merasa belum menemukan kepuasan sejati. Aku bercita-cita punya buku Antologi Puisi. Meski sobat kentalku Albert Marbun yang juga seorang penerbit sudah menawariku untuk menerbitkan Antologi Bersama dengan biaya patungan, tapi masih belum ku 'ok' kan karena masih berharap puisi termaktub dalam sebuah antologi hasil dari seleksi penerbit/komunitas/lomba lalu dibukukan. Puji, Tuhan, lewat Komunitas Negeri Poci yang menyeleksi karya 500 Penyair hingga terpilih 175 Penyair, 4 puisiku termasuk yang terpilih dengan judul "TIMES SERIES NAGOYA-TELAGA PUNGGUR-TANJUNG PINANG", "CENDEKIA RANTAU YANG MEMUJA PIKIRANNYA", "PEKERJA BANGUN PALING PAGI" dan "PAYAU PENJERAT".. Senang, senang sekali. Seperti Cinta Pertama demikianlah bunga-bunga hatiku saat ini.



Seperti refrein lagu Kerispatih:

Dan untuk pertama kali
cintaku terbagi
dan ku ingin memilikinya
dan Untuk pertama kali
kusangkali janji
dan bahagia mencintainya

Demikianlah pernah kusangkali menulis puisi demi cita-cita sebuah lompatan karir PNS, demi menabung sesuatu untuk lepas dari kemiskinan absolut.  Meski ada godaan  untuk kembali menulis puisi lewat orang-orang yang pernah mengenal diriku sebagai penulis, selalu kutampik. 

Dan kini tak kusangkali lagi untuk menulis puisi. Sekarang kusangkali untuk larut hanya dalam dunia kerja yang manut  di zaman ketidakpastian dan abu-abu ini, kuikuti panggilan cinta puisi yang memberiku kepuasan batin dan meletup-letupkan semangat hidupku kembali. Terimakasih pada antologi puisiku yang pertama sebab dari yang pertama aku sudah melangkah yang kedua.  Aku masih menunggu siap cetak satu lagi Antologi Puisi Berjudul Di Bawah Payung Hitam, dimana Puisiku terpilih juga sebagai 39 Puisi Pilihan Lomba Cipta Puisi Seni Indonesia Berkabung, hasil seleksi dari 1.441 puisi.



Di bawah ini saya muat satu dari puisiku yang merupakan letupan kegelisahanku mengamati Batam dan Tanjung Pinang selama 10 tahun terakhir.

TIME SERIES NAGOYA-TELAGA PUNGGUR-TANJUNG PINANG
: toean Baharuddin Jusuf


dari sini laut cuma terasa menyisakan masa depan kita
tinggal butir-butir air lelap menancap  di palka
memimpikan perjalanan membolak-balik waktu sekehendaknya
menunggu waktu tiba sampai matanya bertemu cara
menepuk kaki dan pikiran  di dulang, tumbuh seliar  jalang merindu
memahat buih-buih gelombang membeku sebagai tangan
merancap wajahnya meretakkan masa lalu ternanti
tapi semua cita-cita telah  tenggelam sebab benak tak selalu tertebak
sering karam dijebak lanun, membiarkan perahu teronggok
melapuk di tengah  perjalanan yang bingung

kemana tanjung, kemana selat, kemana teluk menyandar?
sepotong perahu lapuk terbelah histeria menghunjam ke laut
sepotong lagi mabuk meriung-riung tak tahu kemana timur
dermaga kian berlumut tertular nanah  bujang lapuk seberang
menyepi dari kota setelah bosan bermain  kuman  plesir cumbu  
bujang rancak telagamu menggadai pusaka tak tahu malu
menukar benda-benda terpajang di kaki lima orchard
bersama  laksamana mengobral pencak kesurupan

Nagoya dan kumpulannya mengonggok jasad-jasad mengasing
berlagak jual mahal meski tinggal bangkai
berlagak muda seperti toean perdana tiba
mengobral masa manis, masa mudah menerima harga tak dikekang
sekarang seturut toean, tertatih kota memapah usia
merapuh tergerus hajat laksamana melepas tabiat tak jera-jera kencing
melamur karat pada kaidah dan hakikat yang toean lekat
tinggal plakat buram menunggu waktu  jatuh, sebab tak ada yang menyentuh
lanun berkeliaran hingga ke jalan menunggu rampasan

o, pulau melayar senja, telanjang memapar keriput

                        Medan, 4 Maret 2015



Minggu, 29 November 2015

5 PUISI DIMUAT MEDAN BISNIS DI PENGHUJUNG NOVEMBER 2015






Sejak dikomandani Bang Diurnanta Qelana Putra, puisi-puisi yang masuk ke Harian Medan Bisnis menurut pengakuan beliau semakin berjibun. Penyair yang mengirimkan karyanya semakin banyak yang terbilang penyair mumpuni. Akupun merasakan kehadiran puisi-puisi yang semakin bernas dan beragam asal pengirimnya di harian tersebut. Sebutlah Marina Novianti, Subaidi Pratama, Muhammad Asqalani, Budhi Setyawan dan lain-lain..  Dan aku termasuk beruntung, dapat menyisipkan karya diantara penulis beken itu. Kali ini ada 5 puisiku yang bersanding dengan karya Penyair Selendang Sulaiman yang sudah ngetop itu. Adapun kelima judul puisi itu adalah PENGASAH BATU, BUNYI-BUNYI BERTEMPURAN BUNYI-BUNYI BERGUGURAN, MENANTANG MATI, RUPA-RUPA MANUSIA,MANUSIA YANG MENGGARUK-GARUK TELAPAK TANGANNYA.

Memang untuk karya yang dimuat tersebut ada  cacat tampilan, yaitu editor dan tukang layout di Harian Medan Bisnis tampaknya kurang cermat dan kurang komunikasi dengan Redaktur. Akibatnya tata letak puisi yang diterbitkan kurang sedap dipandang mata. Belum lagi soal pemenggalan bait dan peletakan baris banyak yang tak tepat. Barangkali akibat diburu deadline sehingga terburu-buru menyesuaikan kolom yang ada dengan jumlah puisi yang harus tertampung dalam setengah halaman koran tersebut. Dan respon Bang Diurnanta terbilang cepat atas ketidak nyamanan yang kualami. Ya, aku memaklumi. Sungguh manusiawi jika terkadang kualitas pekerjaan naik turun.

Di bawah ini kutampilkan beberapa dari 5 puisiku tersebut



PENGASAH BATU 


sepercaya firman:  
sebongkah batu  berkilau diasah peluh
lelaki itu menghunjam  kulitnya bertambah dalam
mengopek batu bebal
mengupas  batu kumal
dari sebundar harapan buram.

Seperti hantu hasrat menggertak geram
sekuat batu sekeping ditatal
tiga empat  serpih tubuh kaku
membabit  urat
terangkatlah cerita samar
sejauh perjalanan negeri gunung
dari rendaman rupa puteri laut
ke genang darah  negeri lumat
sampai camuk lima warna centang semburat

di semangat  semakin kukuh
terkikis kabut dan pekat tubuh 
hingga terungkap kejujuran semata biru
sejak lama terkubur peristiwa
berapa keras  hati terpendam
di masa silam tergerus ?

lelaki pengasah kini terpasung janji
berutang  tumpangan teduh
sewajah batu merekah
hendak diberi hidup baru
jika sempurna menggambar surga



MANUSIA MENGGARUK-GARUK TELAPAKNYA


bapanya yang percaya khasiat telapak gatal
tiap-tiap  memanggil amin dalam harapan
sang bapa meminta selalu:
tuhan, berilah aku telapak gatal secukupnya yang  datang tiba-tiba
penanda berkah sedang selancar
menggelitik semangatku yang runduk

gelitik  lalu datang seketika
entah setelah  hujan, setelah angin,
setelah matahari bertulah
di sela ilalang dan batu kali mengasah
telapak gatal jernih meneteki benih tawa
di regang  garis mata hampir lengkung.

menguat gatal,  menguat yakinnya
menepuk garis tangan segaruk nyaring
tergarislah  rezeki  selandasan berlabuh

hingga seramai kabar  mengepung
delapan  mata angin meriuh kampung
berita telapak bapaknya yang bergenang berkah segepok ruah
lalu sekampung berduyun-duyun meminta khasiat
cara merasuk  gatal  menyinggahi tiap-tiap orang
bapanya yang takut disatron, terpaksa menuntun cara tengadah :
tuhan, berilah telapak gatal berserak sesungai meniris
bertabur ke lubang  pikiran  sekampung cemburu

dari sanalah kepercayaan bermula telapak gatal berhulu berkah

dua pagi lalu telapakku gatal segatal telapak istriku
bibirku rekah tergoda membayang genang berkah dua kali lipat
dalam perasaan  tengadah sambil menggaruk  di sofa coklat menekuk senja
hingga malam tiba berkah ternanti tak menyusup juga
sampai gatal memuncak setinggi amarah
sampai saling menyalah
saling menampar dengan telapak gatal




MENANTANG MATI 
      

Akulah yang berkayuh menajamkan tubuh
ke utara menjemput  jejak tak sampai luruh
menggenapi  lingkaran darah ke bumi sesempurna putih
mengalir  surga   ke hulu perih menumpah cemas
marilah kemari  mematah semua yang biasa lumrah
bersepakat dengan riak  menepi dusta karam
yang mengumbang pelaut  membuang  dendang ke karam sejarah
menyerah di luka  angin, takut bertentang arah

akulah yang berkayuh mengguncang gunung tapa dari rekat hati patah
yang tak berlama di rimba utara  mengulam  urat-urat getir
setengah lelah lagi cinta  terjerat tak lagi rapuh
aku  tekong dengan peluh, menghembus  samudera
diasah kayuh,  mencacah sumpah rimba berhantu:
mustahil  laut kepada sungai berserah
mustahil  muara tak tergoda batu lepuh
seberapa hujan kekasih sungai tak ingat waktu bersetubuh?
hanya sepercaya kayuh kutajam tubuh, meluka angin  menyingkap  arah


Taman Nasional Ulu Temburong, Brunei  2013








Minggu, 01 November 2015

DUA MINGGU BERTURUT-TURUT PUISIKU DI RUBRIK REBANA HARIAN ANALISA





Kali kedua Analisa memberi kejutan padaku. Dua minggu berturut-turut Harian ini memuat puisiku. Puisi yang sudah kukirim beberapa bulan lalu. Malah kupikir sebelumnya sudah tak layak muat lagi. Tapi ketika aku iseng membuka analisadaily.com pada pukul 23.30 WIB hari sabtu tanggal 31 Oktober di menu  minggu/rubrik/minggu/rebana/puisi rebana ternyata puisi-puisi yang akan tayang di Koran cetak minggu 1 November 2015 sudah terpampang. Dua puisiku berjudul RIWAYAT KATA dan PERMAINAN ANAK DAN BAPAK dapat kulihat dengan jelas. Kesabaran ternyata membuahkan berkah.  Terimakasih buat Bang Idris Pasaribu selaku Redaktur yang sudah berjerih payah menyeleksi puisi dan member layout cantik bagi puisi yang terbit. Inilah puisiku tersebut.

RIWAYAT KATA


sebab tak beraga
cepatlah tujuan menguap
bertengger ke pucuk  congkak
setinggi itu hendak  mengangkang
berlayang  ke mana-mana
mau terpandang
menodai tiap perasaan

di negeri mengawan
seketika  mengembun
tapi tak hunjam di panas dendam
diperam  laut lupa
hanya karam perasaan beku
mengasin darah

di perut siapa bisa tumbuh kata
jadi sembunyi perasaan
tabah terendam noda
dalam keranda tak bernisan

            Medan, 11 Mei 2015



PERMAINAN ANAK DAN BAPAKNYA

anak  mencipta-cipta permainan
dari barang petikan sejangkau akal dan mata
memahat cita-cita dari bongkah kepala belum berbentuk rupa
ibunya tertawa menabung harapan menebal nyata

manakala bapaknya mencari-cari permainan rasa
dari barang di mata sembunyi ke hatinya
sesungguhnya dengan akal dia  beradu tega
dan ibu menabung letih, membukit di kantung  mata
tafakur yang meresap  tak dapat menegak kepala

dari daun dan buah yang dipetik seorang anak
sebatang dahan bertambah percaya menakik  tunas putik
jadi buah  sekepal di ranting dipetik seorang bapak
membelah luka yang  meranggas ke akar sampai mati pucuk
seorang anak memilih permainan dari takaran kelemahan
seharga koin
seorang bapak memilih permainan dari takaran kabur
seharga mahar
berbeda tuaian meski sederajat maksud memuaskan
seorang ibu bingung menimbang-nimbang sisa dua keping perasaan



                                    Medan, 20 April 2015

Sabtu, 31 Oktober 2015

LAGI PUISIKU TERBIT DI SUARA KARYA


­Minggu terakhir Bulan Oktober masih membawa hujan suka cita bagi puisi-puisiku. Setelah dapat kabar dari Komunitas Seni Berkabung lewat facebook lewat pengumuman Dewan Juri Lomba Cipta Indonesia Berkabung yang mengabarkan puisiku termasuk diantara 39 Puisi terpilih dari seleksi 1.441 puisi (335 penyair) yang akan diterbitkan dalam Antologi berjudul DI BAWAH PAYUNG HITAM, maka lewat informasi dari Messenger, cerpernis SAM SEMBIRING menginformasikan bahwa ada puisiku dimuat oleh Harian Suara Karya. Aku sempat bertanya-tanya dalam hati puisi mana kira-kira yang dimuat harian itu pada tanggal tersebut, mengingat tak ada kukirim puisi baru sejak 3 puisi telah dimuat Suara Karya pada 22 Agustus 2015. Kejelasan kuperoleh dari info Kang Endang Supriadi lewat FB Sastra Minggu. Kubaca bahwa 3 puisiku dimuat di Harian Suara Karya 31 Oktober 2015 adalah yang berjudul “ KUNCI CINTA”, “LELAKI DI POHON ARA’ dan “YANG BERGURU SEUMUR-UMUR’. Lebih yakin lagi setelah kubuka Suara Karya Online. Surprised, Koran tersebut memuat ulang lagi puisi Kunci Cinta dan Yang Berguru Seumur-Umur. Tetapi tetaplah kusyukuri. Kuanggap saja Suara Karya begitu mencintai puisiku tersebut. Lagi pula masih ada satu puisi yang baru dimuat. Mengingat dua judul yang sudah pernah dimuat sudah kuulas pada tayangan blogku beberapa waktu lalu, maka kali ini cukup kutayangkan puisi LELAKI DI POHON ARA. Puisi yang kutayangkan sedikit berbeda dari versi terbit di Suara Karya karena memang kupikir puisi tersebut tak bakal tayang lagi di Suara Karya sehingga kuniatkan dikirim ke media lain dengan diksi dan metafor yang telah kuperbarui.
LELAKI DI POHON ARA                             

siapa yang terkantuk-kantuk
meratapi  pohon ara mematuk-matuk kutuk
berharap menangisi luka bertakik
menggusarkan Musa lalu  gampang bersungut
sampai  menggusur  sepasukan lebah
agar langit terbuka menabur sari searoma paling jantan
pengatup  berahi  carang perawan  menganga menahun

berkali bulan hinggap ke peraduan  meluruskan senja
tergaris langit dan laut belum  membelah penantian
lelaki di pohon Ara selalu bersungut sebab tak ada asa dipungut
sepuluh musim carang rontok, sepuluh musim daun bebal
sepuluh musim putik rubuh berkatup berahi

lihatlah janggut lelaki itu setinggi akar memagut
sekukuh penunggu abad berlalu
bibir telungkup menangkup bulan sabit
renta mengumpat redup dan kuncup
mencemburui tuan Natanael dikukuhkan penjaga ara setia
hanya sekejap taat dari khianat taman tapi diberi rejeki tertawa
di laut memungut buah mengerut, diberi azimuth ke langit.
sedang dirinya patok kekal dihanyut waktu
di persekutuan lapuk merayu peluh
tak dapat siasat  membelah lolong masa terjepit
resah mengadu ke langit tak bertampuk
Ia kah yang harus menunggu sungut  mendahului Musa
menjemput kutuk sebatang ara yang ingin benar-benar berbagi?

sepuluh musim berkejaran, sepuluh musim berpulangan
lelaki di sepohon ara gelap terjerat senyap
tak pernah ia berpikir jalan itu bukan laluan guru atau nabi
jalan  memanggil si anak luntang ternanti