Jumat, 07 November 2014

ARTIKELKU DI HARIAN ANALISA MEDAN



Oknum vs Lembaga

Harian Analisa, Jumat, 7 November 2014 | Dibaca 59 kali
Oleh: Ir Bresman Marpaung. Bagi Umat Katolik kata oknum dapat bermakna suci, sakral atau setidak-tidaknya sesuatu yang positif. Kata tersebut merujuk pada penyebut diri Tuhan, kesatuan antara Bapak, Anak dan Roh Kudus. Perjalanan waktu dengan berbagai peristiwa serta persinggungan komunikasi, perilaku peradaban dan kebiadaban akhirnya mengakibatkan kata 'oknum' tersebut mengalami degradasi menjadi 'peyoratif'. Keagungan dan kehormatan kata 'oknum' tersebut menukik tajam menjurus hina, terlebih oleh ucapan pembelaan pemangku kewenangan, aparat, organisasi masyarakat (ormas), pers dan birokrat terhadap lembaganya menjadikan kata 'oknum' menjadi bermakna 'perseorangan', pribadi atau anasir yang kurang baik sebagai jalan keluar suatu tuduhan.
Kata 'oknum' menjadi sama populernya dengan kata 'kambing hitam' di negeri ini yang dipakai menetapkan dan membatasi penyebab peristiwa/masalah/kejahatan/keburukan kepada satu atau dua orang saja guna melepaskan diri dari jerat menggurita yang bisa menarik sekaligus banyak subyek bahkan seluruh subyek dalam lembaga.
Ketika seorang Ketua Partai diciduk Komi
si
 Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu, maka para petinggi partai lainnya segera melakukan konperensi pers guna klarifikasi bernada pembelaan bahwa penangkapan ketua partai tersebut tidak bersangkut paut dengan kehormatan dan kebesaran partai tetapi murni tindakan pribadi oknum yang bersangkutan. Untuk menegaskan bahwa perilaku jahat salah satu petinggi partai tersebut lepas dari sasaran dan tujuan lembaga, mereka menyatakan bahwa tindakan oknum itu tidak sepengetahuan mayoritas para petinggi partai lainnya. Pembelaan lembaga lalu mereka tingkatkan lagi dengan cara melakukan rapat 'luar biasa' yang memutuskan seseorang yang lain menjadi ketua partai baru. Ketua partai baru tersebut lalu berkeliling negeri untuk membersihkan citra lembaga lewat pernyataan oral. Bahkan ada partai yang tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap perlakuan kejahatan dari pemimpin partainya dengan bersembunyi di balik kalimat 'praduga tak bersalah' dan yang bersangkutan pun tidak mengundurkan diri sebagai keteladanan.
Lalu ketika beberapa anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) melakukan demonstrasi yang akhirnya menjurus anarkis yang menimbulkan korban, sejurus kemudian ketua organisasi partai tersebut membuat pernyataan di televisi bahwa ormas tersebut adalah ormas yang melakukan demonstrasi dengan cara damai dan mendapat ijin dari aparat.
Adapun tindakan tak beradab beberapa anggotanya adalah tindakan 'oknum' yang terpancing untuk emosi sehingga tanggung jawab anarkisme bukan tanggung jawab lembaga melainkan tanggung jawab oknum. Bahkan selanjutnya pimpinan lembaga itu mengeluarkan pernyataan bahwa kegiatan demonstrasi mereka telah 'ditunggangi' anasir luar yang memprovokasi terjadinya tindakan anarkis. Lembaga dan beberapa oknum mereka justru menurut pemimpin ormas tersebut hanya korban permainan pihak lain sehingga tak sepatutnya disalahkan.
Tidak Berani Sendiri
Lalu peristiwa lain dalam penangkapan pejabat teras suatu lembaga, besoknya pemimpin tertinggi lembaga tersebut segera melakukan jumpa pers untuk mengabarkan kepada khalayak bahwa perilaku jahat pejabat yang ditangkap tersebut bukan mewakili lembaga tetapi tanggung jawab pribadi oknum yang bersangkutan. Meskipun kemudian lewat proses pengadilan, masyarakat tahu bahwa proses kejahatan oknum tersebut tidak berdiri sendiri baik melalui bukti surat, rekomendasi, paraf, tanda tangan, rapat, telpon, sms ternyata kejahatan tersebut juga melibatkan banyak oknum di birokrasi, inspektorat (telah dinyatakan inspektorat kegiatan yang menjadi masalah hukum telah sesuai dengan prosedur dan peraturan), parlemen maupun dunia usaha. Masyarakat tetap dicekoki pesan oleh para petinggi lembaga yang terlibat bahwa peristiwa kejahatan oleh beberapa orang dari beberapa lembaga tersebut adalah peristiwa oknum, peristiwa perseorangan.
Pertanyaan: Dapatkah kejahatan 'oknum' tersebut dengan uang yang demikian besar yang menjadi persoalan dapat berlangsung senyap, sistematis dan berulang tanpa jabatan lembaga yang melekat padanya? Padahal di tiap-tiap lembaga ada garis komando ke atas berupa laporan dan perintah yang diterima dan koordinasi ke kiri dan ke kanan untuk menyamakan presepsi dan pemahaman serta kerja sama yang baik, yang tercantum dalam Prosedur Operasional Standard maupun struktur organisasi. Bukankah dalam kejahatan yang melibatkan berbagai oknum beberapa lembaga lainnya ada pola perilaku manusia yang mapan (jabatan yang melekat), interaksi sosial berstruktur dalam kerangka nilai yang relevan? Minimal kalaupun tidak terlibat aktif dalam memberi perintah yang salah maupun kerja sama yang tidak benar paling tidak ada pembiaran atau pendiaman. Ketika oknum yang melakukan kejahatan tersebut di atas ditanya hakim jawaban mereka tak ada yang bermaksud untuk memperkaya diri tetapi selalu berdalih sudah diketahui pimpinan, sudah disosialisasikan, untuk kepentingan umat, kepentingan partai, kepentingan rakyat terzalimi dan untuk kemajuan lembaga.
Lembaga yang disebut juga badan atau organisasi dicirikan oleh beberapa hal antara lain tujuan dan sasaran, keterikatan format dan tata tertib yang harus ditaati, adanya kerja sama dan sekelompok orang serta koordinasi tugas dan wewenang. Ketika polisi, jaksa atau KPK menangkap pemimpin partai, pemimpin ormas, kepala suatu instansi yang tidak menaati format dan tata tertib, menyalahgunakan wewenang dengan melakukan kejahatan dapatkah lembaga tersebut mengklaim bahwa itu hanya perbuatan oknum, sementara lembaga tersebut tidak berperan aktif dan sungguh-sungguh untuk mengawasi jalannya lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya? Lembaga tersebut baru merasa 'kebakaran jenggot' setelah aparat berwenang melakukan tindakan penangkapan atau pengungkapan terhadap seseorang dalam lembaganya.
Lembaga tanpa sumberdaya manusia di dalamnya tak berarti apa-apa. Bahkan suatu lembaga yang paling modern dengan perangkat komputer tercanggih tanpa sumber daya manusia tetaplah bukan lembaga. Suatu lembaga berhasil atau tidak mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh unsur sumberdaya manusia yang merupakan penggerak yang kuat terhadap unsur lainnya seperti peralatan dan lingkungan. Jadi bagaimana mungkin sumberdaya manusia yang tidak taat dan menyalahgunakan wewenang bukan merupakan aib dan kesalahan lembaga?
Lembaga yang terdaftar sebagai badan hukum pastilah dibentuk untuk mencapai tujuan yang baik dan benar, terlepas dari niat orang yang membentuknya apakah sebagai ajang legitimasi maksud terselubung atau memang sungguh-sungguh sebagaimana tujuan sebenarnya lembaga tersebut. Sangat naif jika lembaga baru dinyatakan turut bertanggung jawab jika seluruh manusia penggeraknya dinyatakan terlibat menyimpang atau tujuan lembaga secara jelas menyimpang dari hukum, norma dan atau etika.
Seorang pencetak gol yang membawa kemenangan dalam Tim Nasional Sepakbola Indonesia adalah kemenangan Indonesia bukan kemenangan si oknum pencetak gol. Seorang penjaga gawang Tim Nasional Indonesia yang kebobolan gawangnya sampai 5 kali tanpa balas bukanlah kekalahan kiper itu sendiri tetapi kekalahan Indonesia.
Demikian juga ketika suatu lembaga tidak dapat menemukan atau terkesan melakukan pembiaran ketidaktaatan dan penyalahgunaan wewenang dalam aktivitas lembaga tersebut, sehingga KPK atau kejaksaan atau polisi yang lebih dahulu melakukan tindakan hukum, tentulah ada permasalahan dalam fungsi manajemen lembaga tersebut. Permasalahan tersebut bisa disebabkan kesalahan dalam proses penetapan tujuan dan target lembaga. Sebagai contoh target partai dan ormas yang muluk untuk mencapai tujuannya sementara sumber keuangan produktif yang dibutuhkan untuk pencapaian tujuan tersebut tidak jelas secara hukum. Permasalahan berikut bisa terjadi dalam penetapan standard minimal, proses rekrutmen dan penempatan sumberdaya manusia yang tidak jelas sehingga cenderung berlangsung dengan faktor suka tidak suka, money politic, membeli kucing dalam karung. Permasalahan selanjutnya terkait dengan krisis kepemimpinan, bimbingan dan motivasi yang disebabkan pemimpin tidak punya integritas dan keteladanan yang baik, meskipun punya kompetensi teknis bagus.
Permasalahan yang terpenting adalah lemahnya pengawasan dan pengendalian meskipun dalam tiap-tiap lembaga sudah tersedia slot yang berupa Satuan Pengawasan Interen, Inspektorat, Badan Pemeriksa, Dewa Kehormatan, Mahkamah Partai, Dewan Etik dan lain-lain. Perangkat tersebut dibentuk tentunya dengan niat suci untuk memastikan semua unsur-unsur lembaga dapat berjalan lancar sesuai target, tujuan dan kewenangan. Namun permasalahan tetap terjadi yang disebabkan lemahnya kompetensi, keberanian dan integritas sumber daya manusianya. Bisa juga karena lemahnya kewenangan yang diberikan sehingga tidak menghasilkan keputusan yang bersifat memaksa tetapi hanya yang bersifat saran kepada pimpinan.
Beberapa organisasi pemerintah/BUMN/BUMS sudah ada yang mengarah menjadi lembaga yang baik dalam menemukan maling dalam internal lembaganya serta melaporkannya ke pihak yang berwenang secara hukum, disamping tindakan administratif dan etika di internal lembaga. Lembaga tersebut tidak membiarkan atau menutupi terjadinya penyalahgunaan wewenang sekalipun itu melibatkan middle dan high management. Lembaga tersebutpun aktif melakukan analisis, riset dan meningkatkan pengawasan untuk menghindari terjadinya kesalahan oknum berikutnya. Lembaga tersebutlah sebenarnya yang pantas mengklaim bahwa mereka bersih, tidak terlibat dalam permainan oknum. Lembaga lainnya, yang alih-alih menemukan 'oknum' pencuri dalam lembaga malah cenderung membentengi oknum dan lembaganya dengan berbagai argumen yang terkesan tergesa-gesa tanpa melakukan analisis mendalam dan melakukan tindakan evaluasi terhadap kinerja fungsi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan sebagai fungsi manajemen.
Sungguh tidak pantas orang yang berbicara atas nama lembaga menyebut tindakan oknum tersebut tidak menjadi tanggung jawab lembaga. Lembaga tersebut adalah lembaga puritan di zaman yang sudah begitu terbuka ini. Meskipun rakyat diam dalam perkataan, tetapi sebagian besar dari mereka tahu mana lembaga yang baik dan benar, mana yang buruk dan salah. Mana yang sungguh-sungguh, mana yang sekedar lips service. Rakyat sesungguhnya tidak diam seperti orang tidur. Sesama mereka banyak yang saling berbisik dan menyimpan memori kejahatan suatu lembaga dalam otak mereka meskipun pemimpinnya selalu menyanggah secara oral habis-habisan. Sebagian rajin membaca dan mencari fakta dan kebenaran serta membagi kebenaran itu pada yang lain. Sebagian lagi bila tiba masanya akan mengungkap kejahatan oknum dan lembaga tersebut melalui pilihan politik atau hukum.***
* Penulis saat ini aktif sebagai Pegawai Negeri Sipil di salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan, yaitu pada Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II Medan.