Minggu, 26 Oktober 2014

RASA TAKUT





Pada masa aku berumur 5 sampai dengan 11  tahunan, ada 3 hal yang memberi rasa takut mendalam  pada diriku. Pertama: gelap, kedua film yang ada duel pedang dan pukul-pukulan dan yang terakhir kematian. Apabila tiba-tiba lampu mati di rumah, sedang ayah, ibu maupun saudara-saudaraku tak berada di sampingku maka mulailah rasa takutku hadir. Meskipun tidak sampai berteriak memanggil-manggil atau menangis sejadi-jadinya, tetapi takut cukup membuat debaran jantung bertambah kencang. sinar dari luar masuk melalui lubang angin jendela dan terpantul di dinding kurasakan seperti hantu yang mau datang menggelitikku. Hantu yang sering diceritakan ibundaku kepada saudara-saudaraku atau cerita  pengalaman sesama  para anak kos di rumahku yang berasal dari Jawa Tonga dan Nagojor yang berpapasan dengan hantu atau homang di kampungnya (yang sering kucuri-curi dengar). Maka jangan heran, kalau di malam hari bila kebelet pipis, aku tak akan pernah berani ke dapur sendirian karena gelap yang kuanggap identik dengan tempat bermain para hantu.

Tetapi sekali waktu, aku pernah berhasil mengalahkan rasa takutku pada gelap. Bermula dari rasa sukaku makan kue lapis. Kebetulan penjaga sekolah menengah kesejahteraan keluarga (SMKK) Pematang siantar pada tahun 80-an masih berada satu gang dengan rumahku yaitu di Jalan Siatas Barita. Biasanya penjaga sekolah itu sudah selesai membuat kue lapis itu sekitar pukul 22 WIB. Maka kumintalah pada malam itu kepada ayahku agar dia membelikan kue lapis itu. Eh, tiba-tiba ayahku menyuruhku beli sendiri.Tentu saja kujawab tidak mau karena aku takut. Segala macam argumen diberikan ayahku untuk melawan rasa takutku, mulai dari bulan yang ada di langit untuk menuntun jalan, cerita tentang anak yang akan dijaga Tuhan atau  tentang laki-laki yang tak boleh penakut. Meski pada mulanya sewot namun semua cerita itu akhirnya membuat rasa beraniku timbul dan mengatakan "ya" demi legitnya kue lapis. Tetapi begitu keluar rumah, rasa takutku datang lagi ditambah suara-suara yang kuanggap aneh dari beberapa tanaman ketela pohon dan bambutergesek angin  yang kulewati. Akhirnya kuputuskan berlari sekencang-kencangnya menuju rumah penjaga sekolah itu agar rasa takutku tak terlalu lama. Begitu kubeli 10 buah kue lapis, pulangnya pun aku berlari sekencang-kencangnya. Sampai di rumah kutunjukkan kue lapis hasil berlariku. Amboi, ada 2 buah kue lapis yang terjatuh ketika aku berlari.

Suatu ketika, abangku satu-satunya (10 tahun jarak usianya denganku baru aku lahir) mengumpulkan rongsokan aluminium, botol-botol tidak terpakai dan onderdil apkiran yang tak lagi digunakan ayah kami  sebagai bahan dagangannya ke pedagang onderdil dari jalan salak Medan.. Setelah terkumpul, semua barang itu, abangku lalu menjualnya ke pedagang pengumpul besi bekas yang lazim disebut tukang botot. Lalu abang mengajakku ke kota. Mulanya kupikir dia akan mengajakku untuk makan mie pansit atau mie so siantar kesukaanku. Ternyata kali itu dia membawaku menonton bioskop. Nonton bioskopku yang pertama. Masih bisa kuingat namanya  "Bioskop Riang" di Jalan Merdeka Pematang Siantar. Bioskop itu sekarang sudah tidak ada karena  bangkrut seiring dengan teknologi televisi dan DVD yang semakin canggih. Sebagai gantinya saat ini berdiri bangunan "Siantar Plaza".  Ketika itu nonton bioskop adalah hiburan paling heboh di kotaku selain menonton tukang jual obat kaki lima yang menyediakan atraksi sulap. Orang siantar lama tentu juga pernah dengar tukang jual obat keliling terkenal bernama Baktiar Sikumbang si jago sulap.

Kembali ke soal menonton bioskop pertama kali buatku ketika itu, maka saat lampu dalam bioskop mulai dipadamkan, aku langsung merasa kecut ketakutan. Takut kalau-kalau ada preman siantar yang tiba-tiba datang menculikku, takut kalau ada kuntilanak lewat lalu menggelitikku. Pada masa itu preman siantar terkenal ganasnya suka cari gara-gara. Demikian juga soal kuntilanak pencuri bayi sering dilontarkan orang dewasa untuk menakuti kami anak-anak kalau bermain sampai tengah malam. Tapi begitu layar mulai memainkan cuplikan film yang akan dimainkan beberapa hari ke depan, rasa kecutku mulai hilang karena sudah ada sedikit terang dari sinar projector. Namun ketika film silat hongkong yang kami tontotn mulai memainkan adegan perkelahian dengan pedang dengan tusukan yang banyak mengeluarkan darah pada salah satu pemain, aku takutnya luar biasa. Pikirku ketika itu, ngerinya jadi bintang film harus mati tertikam. Bahkan saat yang tertusuk pedang semakin banyak, aku semakin ketakutan dan menundukkan mukaku tak berani menonton. Walaupun abangku sejurus kemudian berkata itu hanya lakon dalam film, aku tetap tak mengerti apa itu lakon dan sungguh-sunguh yakin telah ada peristiwa pembunuhan. Barulah 3 tahun kemudian akal pikiranku bisa menerima bahwa film hanyalah sebuah lakon dan warna merah yang muncrat dari tubuh pada sebuah film action di  bioskop bukanlah sungguhan.


Ketakutan masa kanak-kanaku yang ketiga adalah ketika aku sudah mulai bisa melagukan "Na sa Jol ma Ikkon Mate" (Semua orang pasti meninggal), salah satu lagu dari Buku Ende, Nyanyian rohani gereja suku. Membayangkan wajah ayahku suatu saat diam terbujur memakai jas dan berdasi dan terbaring di dalam keranda sungguh sering menghinggapiku menjelang tidur saat usiaku 8-11 tahun. Dan aku sangat ketakutan, Takut itu terjadi dan aku menjadi piatu. Bahkan hingga aku telah menikahpun kalau bayangan itu datang, maka rasa ketakutan juga belum sirna. Setiap ada melayat ke rumah teman SD yang sedang kematian ayah atau ibu, maka ketakutanku pun muncul lagi. Ketakutan itu melahirkan aroma-aroma  aneh di penciumanku. Aroma  yang menggambarkan kehilangan dan kesedihan.Hingga aku bersekolah di tingkat SLTP, aku mempantangkan makan nasi dan lauk yang disajikan keluarga yang sedang kematian menjelang acara penguburan atau yang dibawa bundaku dari tempat orang mati. Tetapi ketakutanku melihat peristiwa kematian tak bisa menghalangi ajal yang menjemput beberapa anggota keluarga besarku. Bermula dari nenek yang melahirkan ibuku, lalu adikku perempuan yang nomor lima dan terakhir ayahku. Sebagaimana yang sering kubayangkan saaqat aku kelas 1 SD, akhirnya harus kulihat jelas, kuraba dan kutangisi nenekku, adikku dan ayahku yang berpakaian songket, berpakaian jas, berdasi tapi terbujur kaku melipat tangan.

Senin, 20 Oktober 2014

MENUNGGU


Diantara pembaca barangkali pernah menonton lakon  “Menunggu Godot” yang diambil dari naskah Samuel Beckett yang diterbitkan pertama kali tahun 1952. Drama ini  ini adalah kisah yang menggambarkan harapan yang tidak kunjung berakhir. Drama ini  merupakan lakon paling aneh menurut bentuk, maupun isi. Kisahnya mengenai dua orang gelandangan yang menunggu Godot.  Aktor dalam cerita ini termasuk Vladimir, Estragon. Mereka adalah sekawanan teman yang  setia pada kedatangan Godot. Bahkan, Godot tidak akan pernah datang. Ia berbicara terus-menerus, tapi dia tidak muncul. Ketidakhadirannya telah membuatnya menjadi pusat perhatian dan itu adalah cara dia menunjukkan kekuasaannya dalam hal Vladimir dan Estragon untuk terus menunggu Godot. Mereka berharap segera datang, tapi mereka menunggu dengan sia-sia karena drama terlambat diberitahu bahwa Godot tidak pernah datang.

Sejak negeri ini diproklamirkan, seluruh eksekutif negeri ini dengan dukungan rakyat dan diawasi legislatif dan judikatif  telah memiliki tekad sebagaimana jelas tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mewujudkan masyarakat adil dan Makmur. Bahkan rezim Orde Baru sangat melakukan indoktrinasi tujuan bangsa ini lewat penataran P4, pemutaran film dokumenter maupun slogan-slogan lainnya. Sampai usia ibu pertiwi 69 tahun, wujudnya masih seperti fata morgana. Serasa ada bagai mata air tetapi begitu mendekat malah hanya hamparan pasir panas yang melepuhkan telapak kaki. Bahkan bagi sebagian orang yang sudah merasa ikut berperan dengan susah payah dalam upaya tetap menegakkan berdirinya negeri ini, merasa adil dan makmur itu sudah seperti deja vu, serasa pernah ada hadir di suatu ketika tetapi kemudian seperti disadarkan bahwa hal itu tak pernah ada. Bahkan Tahun 1998, kesadaran itu memuncak, bahwa penantian adil dan makmur itu memang benar de ja vu. Bangsa ini dilanda krisis moneter, krisis kepemimpinan yang berujung runtuhnya orde baru yang menumpukkan hutang negeri ini ke negeri asing. 

Diantara pembaca barangkali juga punya mimpi dan hasrat pribadi yang diidam-idamkan bakal tercapai dalam beberapa tahun, katakanlah dalam 3 tahun. Idaman tersebut dapat saja berupa jodoh, materi, karir, atau apapun dalam benak masing-masing. Namun ketika 3 tahun itu tiba, harapan tersebut tak dapat terwujud dengan alasan-alasan yang masih dapat diterima akal, pikiran dan perasaaan. Bahkan sampai jarak waktu 2 x 3 tahun, harapan itu masih tetap ada terpendam meski dengan kadar keyakinan yang semakin menurun. Lalu kemudian ketika tiba pada waktu 3x3 tahun harapan masih belum terwujud, sehingga akhirnya melahirkan retorika di dalam diri sendiri. Kita bertanya dan menjawab sendiri dan akhirnya menuju krisis kepercayaan diri dan stress.

Memang tak salah jika ada pemeo yang mengatakan menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Bahkan ketika dalam masa menunggu itu kita melakukan banyak aktivitas, baik yang berkaitan dengan tahapan langsung terhadap apa yang diidam-idamkan, atau aktivitas lainnya yang mendukung tercapainya idaman tersebut. Atau bahkan hal-hal lain yang tak bersangkut paut,  pasti ada masanya kita diperhadapkan akan pertanyaan: terwujud apa tidak ya? berapa lama lagi kesabaranku diuji? Berbahagialah orang yang   mengaku selama dalam hidupnya tak pernah bimbang, cemas atau ragu  dalam menanti berhasil/terpenuhi atau tidaknya sesuatu yang sangat didambakannya. Diriku termasuk yang beberapa kali ada diambang kecemasan, kebimbangan dan hampir putus asa untuk suatu hal yang sangat kuidamkan. Untunglah sampai saat ini rasa putus asa tersebut belum pernah melanda diriku. Hanya pernah hampir putus asa tetapi tidak putus asa. Disaat putus asa terasa sangat mendekat selalu ada invisible hand yang selalu menolong. Peristiwa yang kulihat, pengalaman dari diriku sendiri akhirnya menyublimkan perenungan menjadi puisi di bawah ini


                                        Puisi ini telah terbit pada Harian Medan Bisnis
                                        Tanggal 19 Oktober 2014. walau foto closeup milik
                                        orang lain ditempel redaksi