Minggu, 29 November 2015

5 PUISI DIMUAT MEDAN BISNIS DI PENGHUJUNG NOVEMBER 2015






Sejak dikomandani Bang Diurnanta Qelana Putra, puisi-puisi yang masuk ke Harian Medan Bisnis menurut pengakuan beliau semakin berjibun. Penyair yang mengirimkan karyanya semakin banyak yang terbilang penyair mumpuni. Akupun merasakan kehadiran puisi-puisi yang semakin bernas dan beragam asal pengirimnya di harian tersebut. Sebutlah Marina Novianti, Subaidi Pratama, Muhammad Asqalani, Budhi Setyawan dan lain-lain..  Dan aku termasuk beruntung, dapat menyisipkan karya diantara penulis beken itu. Kali ini ada 5 puisiku yang bersanding dengan karya Penyair Selendang Sulaiman yang sudah ngetop itu. Adapun kelima judul puisi itu adalah PENGASAH BATU, BUNYI-BUNYI BERTEMPURAN BUNYI-BUNYI BERGUGURAN, MENANTANG MATI, RUPA-RUPA MANUSIA,MANUSIA YANG MENGGARUK-GARUK TELAPAK TANGANNYA.

Memang untuk karya yang dimuat tersebut ada  cacat tampilan, yaitu editor dan tukang layout di Harian Medan Bisnis tampaknya kurang cermat dan kurang komunikasi dengan Redaktur. Akibatnya tata letak puisi yang diterbitkan kurang sedap dipandang mata. Belum lagi soal pemenggalan bait dan peletakan baris banyak yang tak tepat. Barangkali akibat diburu deadline sehingga terburu-buru menyesuaikan kolom yang ada dengan jumlah puisi yang harus tertampung dalam setengah halaman koran tersebut. Dan respon Bang Diurnanta terbilang cepat atas ketidak nyamanan yang kualami. Ya, aku memaklumi. Sungguh manusiawi jika terkadang kualitas pekerjaan naik turun.

Di bawah ini kutampilkan beberapa dari 5 puisiku tersebut



PENGASAH BATU 


sepercaya firman:  
sebongkah batu  berkilau diasah peluh
lelaki itu menghunjam  kulitnya bertambah dalam
mengopek batu bebal
mengupas  batu kumal
dari sebundar harapan buram.

Seperti hantu hasrat menggertak geram
sekuat batu sekeping ditatal
tiga empat  serpih tubuh kaku
membabit  urat
terangkatlah cerita samar
sejauh perjalanan negeri gunung
dari rendaman rupa puteri laut
ke genang darah  negeri lumat
sampai camuk lima warna centang semburat

di semangat  semakin kukuh
terkikis kabut dan pekat tubuh 
hingga terungkap kejujuran semata biru
sejak lama terkubur peristiwa
berapa keras  hati terpendam
di masa silam tergerus ?

lelaki pengasah kini terpasung janji
berutang  tumpangan teduh
sewajah batu merekah
hendak diberi hidup baru
jika sempurna menggambar surga



MANUSIA MENGGARUK-GARUK TELAPAKNYA


bapanya yang percaya khasiat telapak gatal
tiap-tiap  memanggil amin dalam harapan
sang bapa meminta selalu:
tuhan, berilah aku telapak gatal secukupnya yang  datang tiba-tiba
penanda berkah sedang selancar
menggelitik semangatku yang runduk

gelitik  lalu datang seketika
entah setelah  hujan, setelah angin,
setelah matahari bertulah
di sela ilalang dan batu kali mengasah
telapak gatal jernih meneteki benih tawa
di regang  garis mata hampir lengkung.

menguat gatal,  menguat yakinnya
menepuk garis tangan segaruk nyaring
tergarislah  rezeki  selandasan berlabuh

hingga seramai kabar  mengepung
delapan  mata angin meriuh kampung
berita telapak bapaknya yang bergenang berkah segepok ruah
lalu sekampung berduyun-duyun meminta khasiat
cara merasuk  gatal  menyinggahi tiap-tiap orang
bapanya yang takut disatron, terpaksa menuntun cara tengadah :
tuhan, berilah telapak gatal berserak sesungai meniris
bertabur ke lubang  pikiran  sekampung cemburu

dari sanalah kepercayaan bermula telapak gatal berhulu berkah

dua pagi lalu telapakku gatal segatal telapak istriku
bibirku rekah tergoda membayang genang berkah dua kali lipat
dalam perasaan  tengadah sambil menggaruk  di sofa coklat menekuk senja
hingga malam tiba berkah ternanti tak menyusup juga
sampai gatal memuncak setinggi amarah
sampai saling menyalah
saling menampar dengan telapak gatal




MENANTANG MATI 
      

Akulah yang berkayuh menajamkan tubuh
ke utara menjemput  jejak tak sampai luruh
menggenapi  lingkaran darah ke bumi sesempurna putih
mengalir  surga   ke hulu perih menumpah cemas
marilah kemari  mematah semua yang biasa lumrah
bersepakat dengan riak  menepi dusta karam
yang mengumbang pelaut  membuang  dendang ke karam sejarah
menyerah di luka  angin, takut bertentang arah

akulah yang berkayuh mengguncang gunung tapa dari rekat hati patah
yang tak berlama di rimba utara  mengulam  urat-urat getir
setengah lelah lagi cinta  terjerat tak lagi rapuh
aku  tekong dengan peluh, menghembus  samudera
diasah kayuh,  mencacah sumpah rimba berhantu:
mustahil  laut kepada sungai berserah
mustahil  muara tak tergoda batu lepuh
seberapa hujan kekasih sungai tak ingat waktu bersetubuh?
hanya sepercaya kayuh kutajam tubuh, meluka angin  menyingkap  arah


Taman Nasional Ulu Temburong, Brunei  2013








Minggu, 01 November 2015

DUA MINGGU BERTURUT-TURUT PUISIKU DI RUBRIK REBANA HARIAN ANALISA





Kali kedua Analisa memberi kejutan padaku. Dua minggu berturut-turut Harian ini memuat puisiku. Puisi yang sudah kukirim beberapa bulan lalu. Malah kupikir sebelumnya sudah tak layak muat lagi. Tapi ketika aku iseng membuka analisadaily.com pada pukul 23.30 WIB hari sabtu tanggal 31 Oktober di menu  minggu/rubrik/minggu/rebana/puisi rebana ternyata puisi-puisi yang akan tayang di Koran cetak minggu 1 November 2015 sudah terpampang. Dua puisiku berjudul RIWAYAT KATA dan PERMAINAN ANAK DAN BAPAK dapat kulihat dengan jelas. Kesabaran ternyata membuahkan berkah.  Terimakasih buat Bang Idris Pasaribu selaku Redaktur yang sudah berjerih payah menyeleksi puisi dan member layout cantik bagi puisi yang terbit. Inilah puisiku tersebut.

RIWAYAT KATA


sebab tak beraga
cepatlah tujuan menguap
bertengger ke pucuk  congkak
setinggi itu hendak  mengangkang
berlayang  ke mana-mana
mau terpandang
menodai tiap perasaan

di negeri mengawan
seketika  mengembun
tapi tak hunjam di panas dendam
diperam  laut lupa
hanya karam perasaan beku
mengasin darah

di perut siapa bisa tumbuh kata
jadi sembunyi perasaan
tabah terendam noda
dalam keranda tak bernisan

            Medan, 11 Mei 2015



PERMAINAN ANAK DAN BAPAKNYA

anak  mencipta-cipta permainan
dari barang petikan sejangkau akal dan mata
memahat cita-cita dari bongkah kepala belum berbentuk rupa
ibunya tertawa menabung harapan menebal nyata

manakala bapaknya mencari-cari permainan rasa
dari barang di mata sembunyi ke hatinya
sesungguhnya dengan akal dia  beradu tega
dan ibu menabung letih, membukit di kantung  mata
tafakur yang meresap  tak dapat menegak kepala

dari daun dan buah yang dipetik seorang anak
sebatang dahan bertambah percaya menakik  tunas putik
jadi buah  sekepal di ranting dipetik seorang bapak
membelah luka yang  meranggas ke akar sampai mati pucuk
seorang anak memilih permainan dari takaran kelemahan
seharga koin
seorang bapak memilih permainan dari takaran kabur
seharga mahar
berbeda tuaian meski sederajat maksud memuaskan
seorang ibu bingung menimbang-nimbang sisa dua keping perasaan



                                    Medan, 20 April 2015