Minggu, 26 Juni 2016

TIGA PUISIKU DI NUSANTARANEWS.CO



Kepada puisi-puisi Selendang Sulaiman aku banyak berguru tema, diksi, frasa dan metafor. Bahkan beguru diam-diam agar bisa menembus media nasional. Beberapa puisinya di Horison, Medan Bisnis dan Riau Pos dan kedaulatan Rakyat selain kunikmati juga kupelajari.

Lalu beberapa waktu lalu aku mendapat inbox dari beliau.  Perbincangan tentang  honor di satu media cetak di Medan. Menyusul lagi inbox periode ke-2 berupa perbincangan tentang permusuhan  ala anak-anak di kota Pematang Siantar yang disebut 'musuh bub-bab', yaitu suatu kesepakatan permusuhan antara dua anak yang berseteru karena suatu perkara. Kesepakatan dimana seorang anak berhak meninju bagian belakang tubuh musuhnya jika tangan kiri musuh itu alpa memegang bagian siku kanannya dari arah belakang tubuh.

Beberapa hari lalu masuk lagi inbox dari beliau. Prolog berupa percakapan basa-basi khas orang timur lalu sampai ke satu topik bahwa beliau saat ini mengelola rubrik sastra di media online bernama nusantaranews.co yaitu di rubrik inspirasi. Beliau mempersilakan saya mengirim puisi untuk dapat dimuat di media online tersebut. Sebelum ku 'ya' kan, maka kuselancar  dulu media tersebut. Ternyata isinya aduhai. Mulai dari persoalan politik dan hal-hal terbaru negeri ini, juga esai-esai budaya beliau sangat bagus dan pantas untuk pembelajaran bagi penikmat sastra dan budaya. Akhirnya kuputuskan mengirim beberapa puisi. Hari Minggu 26 Juni 2016, 3 puisiku berjudul 'RITUS AYAM', 'ASAL-USUL VOLKSRAAD NUSANTARA' dan 'HARIMONTING LELUHUR IBU' sudah tayang di nusantaranews.co/ritus-ayam-harimonting-dan-asal-usul-volksraad-nusantara/
Inilah salah satu puisiku tersebut yang merupakan puisi perdana yang tayang di media online tersebut.

RITUS AYAM


umurmu merasa berkarat menggempur kehendak waktu
sedang  aku menandai tapak  putus-putus
di bekas jembatan nasib, jejak menipis ke pucuk
segala bentuk kau baca, lupa kepalamu tinggal labirin
kepompong dianginkan pikiran sia-sia
dinding keyakinanmu  rapuh  diguntur siasat.
Jejak mulai oleng  menahan penat bertahun
keberanian jantungmu  sangsi  berguru bunyi-bunyi 
mengerat  kerak lusuh nasib yang melekat peluh segemar kesah

padahal pada wajahmu akan kupajang
pengakuan bersih sedatar kaca
menghampar maumu sampai  dipercaya
ingatan jangan lagi hanya memikirkan
cermin  pintar  menggandakan bayangan
membuat sembabmu yang sedih terlihat mengada-ada
seperti tawamu mengitari garis tangis
persis licik karat-karat yang melepuhkan
membangun tabiat sekuning hina

baiklah jangan kau percayakan mata dan perasaan
mari kita pergi menapaki  cara moyangku
memaknai perjalanan musim dari tubuh ayam
kiat temurun mengungkit mutu waktu
mengungkap  nasib karam terbenam dalam
mari seperti aku meyingkap  waktu
menyisir terang dan  gelap umur
bertubuh tampak sepanjang 17.167 ruas

mari  kutunjuk letak umurmu berkalut hitam
kuning jiwa terancam, buram keluh berdahak
jejakmu terhunjam pada masa  terjebak
kutunjuk dari sesobek perut ayam ini
terbaca  ruas demi ruas bulir panenmu
hanya dengan memaknai  usus terburai
lorong nafsumu tertebak menimbun dusta
gagal mengakali tanda-tanda
                                                                                                                       
jangan tanya ke hatimu kerap limbung
biarkan  kandung usia terurai di belahan dada ayam sesaji
seberapa timbul kelak merambatkan najis nafsumu
atau untungmu sejelas kapan terantuk batu-batu
upaya panjang batas-batas kesabaran terlihat dicerna
kuterka pada bentang 17.167 ruas umurku diagak
pasti tak jauh dari rongga kepastian itu
tak serumit caramu menghitung buah pikiran
lebih terukur jarakku setahun melaju
sebelum almanak yang kau susun-susun menunjukkan rupa

kutandai tanggal-tanggal hitam musim bermuram
tanggal-tanggal merah menyerahkan amarah
tengoklah, terpajang jadwal senyummu
persis selagak moyangku memilih musim tiba
hanya dengan sesobek dada ayam
kutandai musim tepat membuhul tunas

                        Medan, 2016




Minggu, 05 Juni 2016

SETELAH 3 TAHUN LEBIH BERJUANG, PUISIKU TERBIT DI HARIAN KOMPAS



Dari perbincangan dan dengar-dengaran dengan sesama penulis, beragam pengalaman mereka mengadu peruntungan di Media Cetak kelas nasional. Rata-rata berjuang lebih dari 1 tahun untuk menarik perhatian redaksi. Yang bertuah seperti 'Pedang' May Mon Nasution tak sampai tiga tahun untuk lulus pisau seleksi. Bang Jamil Massa harus bertarung selama 8 tahun baru dilirik harian KOMPAS meski sudah melanglang buana juga di Koran Tempo dan majalah beken lainnya. Bahkan cerita seorang sahabat, ada yang sudah menulis puisi dan cerpen selama 30 tahun tapi masih belum berjodoh dengan Harian Kompas.

Cerita kawan baik saya di dunia maya (menurut beliau hasil percakapannya dengan salah satu kartunis/ilustrator Kompas), bahwa rata-rata Harian Kompas menerima 5000 naskah puisi dan atau cerpen setiap minggu. sedangkan penulis yang laik tampil hanya seorang cerpenis dan maksimal 2 orang penyair. Jadi, untuk dilirik Redaktur memerlukan keunikan, kebaruan, kekuatan tema, tentunya juga kesabaran, kegigihan dan ridho Allah.

Maka tentu saja aku langsung memekikkan, "Luar biasa anugerah Tuhan buat saya" begitu membaca pesan inbox Bang Jamil Massa dan Anfalah Mulia yang mengabarkan ada dua puisi saya dimuat di Harian Kompas Sabtu 4 Juni 2016. Jantungku pun berdegup kencang, perasaan seperti orang melayang.  Perjuanganku belumlah apa-apa dibanding banyak para senior yang menurutku juga luar biasa hanya belum mendapat tuah dariNya. Berjuang 3 tahunan, 12 kali mengirim puisi, Tuhan sudah melayakkan diriku lewat pisau seleksi redaktur yang mumpuni. Dari 12 puisi yang saya kirim pada kali ke-12 pengiriman, akhirnya 2 puisi yang berjudul 'KEMATIAN HANG DI PAYAU DELI' ynag bertema lingkungan dan budaya Pantai Timur Sumatera Utara yang terancam serta 'CATUR VOLKSRAAD NUSANTARA' yang bertema situasi para politikus negeri ini dilirik Bli Putu Fajar Arcana. Terimakasih untuk jerih payahmu dan ketulusanmu menilai Bli.
Inilah puisi tersebut:


KEMATIAN HANG DI PAYAU DELI
  

1)
para tengku bersama hulubalang
barangkali juga angin keramat
selepas tumbuh  musim berburu laba
jatuh dibabat penyusup bernafsu pengerat

babah dan tuan kota pandai menyimpan rupa
memetik-metik rancak gelegak ombak
dihempang di kubang melintang
memetiki kelong, merongrong   parang garang
gedebum!  sejak kerontang jadi arang
rumah panggung malu berkaki panjang
diserbu  rayap bersayap gemerincing, berhati kering
petuah di tiang datuk dihempas berguling-guling
raungnya  diraun-raun pantun

ikan-ikan gagal menanam silsilah
pulang  di tengah musim
bersama arus-arus pembawa kepiting
dipalang  dada tanjung
terusir ke seberang
punah di palung

2)
payau segera mengubur rupa
dibunuh berbatang-batang  hantu perantau
dibawa pemuja  musim khalwat
tenar sekarang bergelagat di baris pantai
cepat dan pandai mengisi pundi
menguras masa lampau sekukuh mpu
penghulu ikut  terpukau
pemburu laut ramai-ramai diserbu racau
dirasuk pelarian hantu bakau
Hang pun  terkurung malu
gagu di  lorong lereng karang
berjaga tak segigih pasukan  kekar pelebur debur
sia-sia menunggu peziarah bertandang

siapa orang kampung kagum memandang
kalau tak bisa berkacak pendekar
sejantan dua pemarang memuncak perang?
pendekar  hanyalah nama tafakur
jika terhuyung membawa takdir
tinggal  tulang bergelimang gamang
pelan-pelan dikikis habis gerimis tangis

pengakar itikad sepanjang lengan
kekal bermusim-musim  menyekap perjalanan  selat
menggantang cermat rampasan sebunting tandan
seramai armada bertaji maut, serakus gerigis bergelut
menyeruput kering  air tubuh negeri gagah
terkubur si buyung  lupa berniat laksamana 

3)
selagak-lagak lanun berguru di pangkal
tuan Demang ikut berakal dangkal
serupa koloni tumbuh bermuslihat nakal
sepakat meliang-liang  maksud menggoyang hikayat
sunguh tak disangka pendek tirakat
nakal berbisik-bisik mengguling Hang 
menggulung  jasadnya  serahasia payau hilang
lihat, mesti banyak serempak doa berkalang
dalam sekejap tak  ada kubur penanda maut  dapat kau susur
ombak  terperangkap tak mau menunjuk sisa bencana
di tanjung  yang kau pikir asal hikayat
hanya kabar-kabar burung mati mengapung

penghulu kampung takkan membawa sesaji
tanda sepakat menyanjung  ruh jembalang laut
menghujat Hang dan laut sekedar penepi
pecahan sekutu ombak tak setia di musim maut
penyebab lambung sekampung borok berkarat
tak patut disanjung, sebab menggiring
hanya sekerat berkat dapat dijerat
di muara ramai pengerat

pada koloni menggantung pundi berikat-ikat
tuan demang, penghulu dan  sekampung sungguh kepincut
genap menyerah sembah, mau dipasung  mengusung-usung  mimpi
gadis-gadis  penunggu emas pun  rela menanggal cemas
bosan  menunggui Hang berjuang tiba
pulang paling merayu  di pantun purnama






CATUR VOLKSRAAD NUSANTARA


menabalkan akal, duli mengangkat kuli
raja tuli memungut siasat Sisah
percaturan satu serdadu  dituntun  jadi  tujuan
tujuh bidak jelata sudah kurban  membuka jalan
dua gajah mati di sisi petak satu dan delapan
dihimpit benteng idaman  di langkah sembunyi tiran

delapan tumbal  gugur satu-satu
menggenapi sejarah jengah  rubuh masa lalu
tak satu sempat menagih-nagih
janji semusim upah

di atas dua barak rubuh, dikubur  para serdadu
tumbuh  kastil penggiring penjuru
bidak tanggal belulang  dikurung waktu
raja berkilah itu menara dituju
jelma kemakmuran upah serdadu
dua tempat  raja dan ratu bercumbu
di dua persil  menteri perdana memetak  ragu
bermain umpet dan dadu
menakar-nakar peluang   tak tentu
dikawal dua jago tega sekebal batu penjuru
berkuda  inkarnasi bayangan 

tak nampak  murung mesti dibedaki
mata berlinang tak  melarung daki
hitam-putih di petak  tampak tumbuh serasi
sudah punah dataran hijau-kuning 
dua raja di luar kastil akur bermain seluncur kalbu
mengulur-ulur waktu
dalam perang tak kalah-kalah menunggang  ragu
kemenangan  tak jadi mangsa diburu-buru
dipakat cincai separo-separo