Sabtu, 17 Juni 2017

KALI KEDUA PUISIKU DIMUAT DI HARIAN KOMPAS


Puji Tuhan! Untuk kedua kali Harian Kompas berkenan memuat puisiku. Betul seperti kata Mas Dedy Tri Riyadi dan May Moon Nasution bahwa ke Kompas  kudu rajin mengirimkan puisi mengingat  banyaknya email masuk perhari yang ingin menembus Media tersebut. Maka 6 bulan sejak puisi pertamaku dimuat pada Tahun 2016 lalu, aku pun mengikuti kebiasaan sobat berdua itu dalam hal frekuensi pengiriman dan tematik yang ditulis. Walaupun bukan tampil pertama kali di Kompas, bagiku ini tetap sesuatu yang luar biasa yang patut kusyukuri. Terima kasih kepada Mas Budhi Setyawan, Dik Muhhammad Daffa, Lae Hotma Tobing, Mas Galang Pratama yang lebih dahulu menginformasikan tampilnya puisiku di Harian Kompas. Di saat aku belum mengetahui sebelumnya. Terima kasih juga untuk Mas Umar Affiq atas file jpg yang meng-upload-nya di FB sehingga bisa kudownload dan kutampilkan di blog saya ini. Inilah tiga puisiku yang dimuat tersebut.


MASIH MERINGKUK DI GULITA TOBA





1)       

di sini dulu gulita terancang

jangan harap berani berkunjung bintang

meski sesekali langit membuka tudung

cahaya takkan kunjung kencang dari bait gunung

semangat berharap kerap rentan berguncang

lenggang mengacir  kala menumbang rimba gelanggang



sepasang lengan baru berani  bergelagat ria

kalau merayu kerelaan hantu-hantu dengan ratapan mantra iba

gejolak luka-luka tepi belantara akhirnya mau seperti hamparan yang rela rata



selesai masa bercinta,

tercipta tujuh belas laki-laki penggembur bentala

enam belas benih jadi perempuan peniup bara

tertunduk-tunduk meneguhkan  padi siaga  



kebiasan lelaki penghilang malang

lalu-lalang ke bukit.  datang dan pulang menyalakan perang

menghela tindak-tanduk binatang jalang

menggubah lembah lalang ke rupa ladang



menggurah muka ke garis merona

selepas waktu melahap tenaga

agar jembalang tak seseram masa padam bentang petang



jika tak ada padi-padi mampu diguncang 

tak ada pembayar tulus tenaga

dewi murung masih terbungkus setengah bunting 



sejumlah  tanya yang  lapar

kerap mengusik inti kepala bapa-bapa

maka berburu mabuk dan adu  tidur

adalah waktu  tercepat menentramkan  sengsara



2)       

di sela ketibaan selera lancang pencari-cari upeti

di celah riak samudera terselip  dua tiga pendoa

 diutus menawan pukau mantra datu wangsa



mula-mula dua pendoa datang tak matang

tumbang ditebang abar barbar pemangsa



tapi darah tiris selain tragis selalu mengikhlaskan sesal suci

dengan rayuan beratus-ratus ayat yang berjurus  tulus  tanpa benci

datang merasuk turunan. datu tirus simpuh, patuh ditebas cikal doa hari-hari

bersama pedang keji,  para penanam belati pasrah rebah ditembus kasih

satu persatu mantra tawar sakti. mati dipapar bahana cahaya hati



mahir bersimpuh, tumbuh dan rekahlah badan  mekar si jalang

mendirikan satu-satu mimpi dengan beriring doa berani terbang

tiba-tiba terkabar mencapai  awang  tinggi mencari terang

disulut  berita sudah menggapai berkat. ditabal  setingkat kejora menjulang

 

3)

mata pengeluh dari keruh tidur, terbelalak menatap langit toba

mula-mula terbata-bata

menduga-duga makna

kelap kelip datang menumpas sengsara gulita?



yang berawan cemburu, sesungguhnya mata peronta

tergoda memanen piutang

demikian putera-puteri penentang

bermimpi disuruh bapa ikut menumbuhkan tulang

berharap kelak pulang  seperti bintang

beruntung menenteng cahaya senang



tapi rasa senang dimana-mana selalu bernasib  tak pernah tenang

mimpi-mimpi bintang  melanglang sejujurnya tak lagi ingin pulang

yang tegar  menjulang menerangi hanya negeri laut seberang

bapa pun muram di malam toba gulita kedua kali. terguling bercucuran linang



4)

satu-dua orang loba lekas mengaku saudara  Sang Bintang Punggawa

mencuri hikmah binar ke mata, benar-benar tak gentar  meniru-niru cahaya

beribarat mengantar warna pengusir ratap merana dan bimbang

di pintu-pintu kampung  mengakui diutus satu bintang 

meski hanya bertanda jubah berpenampang cahaya benderang



menghamparkan sinar, konon pantulan untung-untung  Sang Bintang

konon tulus diterbangkan dari sisi kanan  Saudara seperut inang

cara bagi lengang huta-huta melepas kesima  mendengar lolong



si loba mengarak orang-orang ikut meninggikan batu. mengatasi bukit tenang

persatuan tatap bintang, pertemuan mengenang buah mimpi-mimpi pemenang



tujuan pertama di antara rumah kampung oleng dan kandang bau kencing

menumbuhkan lambang mulia di tampuk paling agung

bertangkai gemerlap asing, sedap dipandang-pandang

persekutuan satu rumpun keluarga menggunturkan dada

wahana menaikkan serunai  setinggi hati

penanda pemilik bintang  bukan sembarang



di belakang iringan riuh yang lantang

diam mengerling sekaum lapar dan compang

diri disuruh sembunyi nasib

sebab di upacara seagung itu aib pantang dijulang-julang



5)

satu dari si loba bernasib jadi penghulu lembah gaung

dulu penggerutu gunung, kini saban hari semangat berhitung-hitung

di purnama pertama bimbangnya sering  menjelang

di purnama kedua pandai bersenandung  mengapung mumpung



 jangankan jagung, kulihat padi-padi  dan kemenyan sudah jarang dilarung

“ mengapa kau tambahi lumbung?” mataku bingung

“berhitung jangan pakai mata, Pung! nanti kau pusing, ia membusung



6)

desas-desus tiba menjadi rupa  menjelang  purnama kelima kali

ada si loba diusung kelap-kelip beriring bunyi-bunyi

kusangka dibawa bintang, hendak jadi bintang atau mendapat bintang

(ternyata disebut sekampung,  seseorang digaruk kabar buruk saat berhitung)



Di bulan sama, berentetan tiba di tiap pagi sulung

kusangkakan perantau  agung pulang menenteng kelap-kelip terang 

(disebut orang sekampung  sudah tiga bintang mengeram dalam peti 

mengakhiri  mimpi ulung) 



“mereka bintang  jatuh. Tiap sehari menggenapi umur di petang seberang

sebelum kaku terlentang, berpesan diusung menyuburkan kampung.

minta disimpan di kolong batu tinggi, di bawah belulang ompung, di bawah among

selalu begitu cara bintang tiba ke muasal. kaku dalam gelap” ujar kerabat malang



peristiwa peristiwa demikian melintang di toba  

menambah gulita terbentang di mata kerabat

menabung linang di bukit-bukit



                                    Balige, Juli 2016

Keterangan:

datu (bhs batak toba) = dukun  Pung = singkatan Ompung

ompung  (bhs batak toba) = kakek/nenek
             among (bhs batak toba = ayah. horas= selamat sejahktera


MENYARING TITAH DI PARTUKKOAN


mari duduk menukil kebiasaan cermat pendengar tua
menangkap ngengat berjingkat-jingkat di celah cerita
diam-diam  ingin beranak pinak ke ceruk gelap tangga tahta
menyiksa raja cemas sampai berkepala tampak oleng
tak mampu sesekali bersabda

jangan kau bayangkan akibat peninggalan keji raja
walau memutus nadi kurban lumur darah tanpa raut amarah

ingatlah letih kening baginda yang tunduk memutar pelik
sesekali kepingin mengundang rentak memantik gelak
sampai tiba suara bungsu dari lubuk dada
mencipta cahaya menemukan renik meski tak semerah kerumut
benderang segala angkara dari pusaran gelagat
mengenyahkan  alibi di altar eksekusi

sekarang mulailah mengumpul makna
dari waktu yang liar beterbangan
merangkai debu hingga bersatu meninggikan kerangka
landasan pulang pecahan tubuh dari liang setengah baka
upah terhalau dikucar-kacir sengketa

seperti  para moyang agung bertarung
setia bersandar sendi di partukkoan
kembalilah  kemari menampilkan keajaiban batu-batu
dalam hikmat menampakkan khasiat kata-kata datu

mampu merayu segala yang sembunyi sedingin
hantu palung 
tahu-tahu ruh terpana dibawa pulang
dari plesir tega angin surga

cukup tersungging memahami pertanda
         
          Medan, Mei 2017

          Keterangan:
Partukkoan adalah wadah komunikasi para pihak yang difasilitasi raja  Huta atau raja Parbaringin dalam mengambil keputusan, baik dalam hal penyelesaian sengketa tanah, masalah pertanian, perencanaan pembangunan,  di wilayah tertentu di tanah Batak







kecut unte jungga

  

rupaku makin mirip keparat mulai keriput

menabung  kecut di rongga dada tua

diperas-peras hantu belanga



siapa bilang aku tambang karma

menimpa doa-doa ikan menempa maut

belum  pernah kugantung ratap

menjenguk  jagad danau dan lelembut

jangan umpat-umpat aku sepantar telaga sampah



si tua sepertiku bertuah luluh melulu

ditusuk tumpah sumpah perantau

sebelum membusuk kuingat nasibmu

kurasuk susuk  aroma paling  ampuh

sampai keberanian ajalmu berbaring setampan  teguh



siapa bilang aku kumparan bala

di mata luka-luka medan laga

belum pernah kujajah darah

seperti lelembut buruk memamah



kubantu ajal ikan-ikan bergelagat  sia-sia

menangga derajat raja-raja





 keterangan
       Unte jungga adalah asam khas batak, bentuk agak mirip jeruk purut tetapi dengan kerut yang lebih dangkal. Asam ini memberi rasa dan aroma khas pada masakan batak bernama naniura  yaitu kuliner khas batak, biasanya ikan mas yang 'dimasak' dengan perasaan 'unte jungga'  mirip sashimi jepang namun naniura sangat kaya bumbu, yaitu selain perasan 'unte jungga'  juga ditambah bumbu halus berupa campuran  kacang tanah, rias, cabai dan andaliman