Minggu, 04 Juni 2017

DUA PUISI DI HARIAN SUARA MERDEKA 4 JUNI 2017



Beberapa kali mengirim puisi ke suatu Media tanpa jawaban dimuat atau ditolak selalu menimbulkan rasa penasaran dalam diriku. Bukannya menyerah tetapi membuatku semakin bersemangat untuk mencoba dan mencoba lagi, walau terkadang disertai gerutu juga. Ternyata selain puisi yang belum dianggap kuat, salah satu penyebabnya adalah email tak valid atau email yang nyasar. Dari email Mas Triyanto Triwikromo akhirnya kutahu bahwa pengasuh rubrik sastra Harian Suara Merdeka adalah Mas Gunawan Budi Susanto. Terima kasih kepada Mas Triyanto Triwikromo yang sudah berkenan meneruskan puisiku ke email Redaktur.

Puji syukur, dua minggu setelah pengiriman, dua puisiku berkenan dimuat oleh Rubrik Serat Harian Suara Merdeka Minggu 4 Juni 2017 yang  berjudul 'Perang Daun' dan 'Damai Air' sebagaimana yang kutulis kembali di bawah ini.


PERANG DAUN


jika ini tentang bunga

tiada berani namamu kutanam di lubang dada



jika ini tentangmu

meski bukan aku

musim pasti menulis bunga

seperti kelopak jatuh raga

tak satu gugur warna

sia-sia hari menjelmakan petaka



jika ini tentang muslihat

tiada bunga tak kuat jika berkawan seikat

melampaui sepanjang hamparan maksud

menyerah dinujum  persekutuan harum tirakat



jangan membawa angin beritikad keji

tak guna mendera sepanjang tangkai

walau pucuk  tak lagi mampu membusung

tampuk kau petik tetap semurni cita-cita  

mekar berguling ke hampar sungai mengurai

gelagatmu  tak bisa selamat menabur sekujur bilur



tiap lembah masih gampang mengingat

cara musim setia menghibur firasat sepasang zigot

seperti bunga kawin  yang selalu sempat bersatu

menyisipkan  calon serdadu

meski diterjang mati

           
            Medan,  2016



DAMAI AIR


air di tempayan

yang kau dulang segigih beriak

dari hulu ingin anak-anak

tentu tenang dan tak pernah berhasrat dalam

menyimpan gelagat

seperti jarum di jerami



dalam sejengkal terbaca akal paling dangkal

walau khatam mengendap firasat paling redam



serasa lebih pandai

aku harus merasa mengerti bahasa air

yang tak riam dan tampak pasrah telanjang

kubaca ruam lebih dari sepangkal

mendatar sejengkal



andai ku tepuk seperti kawan

paling-paling berlagak berisik memercikku

seperti kecipak rasa malu menawan-nawan  kawan



apalagi  bila kubiarkan mukaku tersipu

hamparan di wajah lebih cepat terdampar

disapu hamparan masa lalu

maka tak perlu aku berancang-ancang kencang

mengarak  balasan bak sebuah perang



sampai  tiba-tiba terdengar

suara memanggil-manggil

dari tepi selokan berburu ke tepi kali

meliuk ke  ujung muara



orang-orang sibuk memastikan

aroma bangkai

seorang lelaki dan air setempayan

telah hilang tiada  kabar pasti



“kau harus tetap  hanyut dalam damai.

damai yang bisu seribu basah

kalau masih ingin jadi takhyul”

begitu tenang  bisik air itu mengasingkanku
 
            Medan  2016





1 komentar:

  1. Wow... mantap sekali..
    “kau harus tetap hanyut dalam damai.

    damai yang bisu seribu basah

    kalau masih ingin jadi takhyul”

    begitu tenang bisik air itu mengasingkanku

    Saya suka...

    lrisar.wordpress.com

    BalasHapus