Kamis, 23 Juli 2015

PUISIKU DI JURNAL SASTRA SANTARANG


Hampir semua wilayah nusantara melahirkan sastrawan tangguh. Nun di daerah yang penuh Sabana, panas dan gersang juga melahirkan sastrawan yang tekun memungut dan mengolah kata, tak peduli pada terik yang menyengat dan tanah berbatu yang menyembul. Semua keadaan itu bisa jadi sumber inspirasi, terlebih lagi suasana religi yang cukup kental di Nusa Tenggara Timur. Dari sekian banyak sastrawan asal NTT kuingat 4 nama tersohor.
       Tersebutlah Gerson Poyk yang sudah kubaca karyanya saat aku masih duduk di Sekolah Menegah Pertama. Bahkan seorang guruku bernama Pak W Sitorus sangat bersemangat tiap membahas karya Gerson Poy berjudul Sang Guru. Karya – karyanya banyak mengandung unsur etnis Nusa Tenggara Timur dan telah diterjemahkan dalam berbagai Bahasa seperti Jepang, Belanda, Inggris, Turki, Jerman serta dimuat dalam sejumlah antologi dan majalah asing. Beliau merupakan sastrawan angkatan pertama penerima International Writing Program dari University of Iowa, Amerika Serikat pada 1985. Selain itu, seorang Gerson Poyk juga peraih penghargaan karya jurnalistik Adinegoro (1986,) hadiah Sastra Asean (1989), Academy Award dari Forum Academia NTT (2012) serta beragam penghargaan lainnya. Bahkan sampai saat ini, seorang Gerson Poyk masih melahirkan karya meski mulai didera umur tua. 
    Lalu  kemudian ada penyair sepuh Umbu Landu Paranggi. Penyair yang tekun mengapresiasi karya yang dikirimkan kepadanya sebelum dikatakan layak muat di Harian Pos Bali. Tuna komputer tak menjadi penghalang baginya untuk menghasilkan karya dan menilai karya. Puisi – puisinya yang sarat dengan nuansa spritualitas dan sosial budaya banyak dipuji. Selain terbit dalam bentuk buku dan antologi bersama penyair – penyair lain, karyanya juga dimuat di berbagai media seperti Kompas, Mimbar Indonesia, Basis, Gelanggang, Merdeka, Pelopor Yogya, Bali Post, dan lainnya. beberapa sajaknya juga diterjemahkan dalam Bahasa asing seperti Melodia (A Melody) dalam antologi puisi dwibahasa berjudul A Bonsai’sMorning (Bonsai Memandang Pagi) pada 1996. 
      Sastrawan Ketiga adalah Dami N Toda yang juga sudah kubaca karyanya saat aku masih duduk di bangku kuliah tahun 1987-1992. Salah satu bentuk penghargaanku kepada beliau, pernah salah satu sajakku memuat bait yang lebih mempercayai kata-katanya daripada sebuah kotbah.  Ia menghasilkan puisi pertama berjudul “SesandoNegeri Savana” yang dimuat di majalah Sastra pada 1969. Lalu Beberapa puisinya yang lain adalah Epitaph Buat Daisia Kecil (1973), Pidato Kuburan Seorang Pembunuh (1977). Kumpulan puisinya yang pertama terbit pada 1976 dalam bentuk antologi bersama penyair – penyair Indonesia lainnya. Puisi – puisi lainnya juga terbit dalam Antologi Tonggak II (1987) dan Kumpulan puisi pribadinya yang berjudul Abadi (2005). Dami N. Toda adalah seorang kritikus sastra yang sejak menjadi mahasiswa telah aktif menulis artikel, opini, esai, telaah dan kritik sastra. Ia sering tampil sebagai pembicara dalam berbagai forum sastra di dalam maupun luar negeri. Karya – karyanya di bidang telaah dan kritik sastra adalah tentang karya dari beberapa sastrawan hebat seperti Taufik Ismail, Goenawan Moehammad, Iwan Simatupang, Sutardji Calzoum Bachri juga salah satu karya dari Friederich Nietszche. Buku Telaah dan kritik sastranya yang berjudul Hamba – Hamba Kebudayaan diganjar penghargaan hadiah sastra dari Dewan Kesenian Jakarta pada 1984
        Nama Keempat yang lekat dalam ingatan adqlah Mario F Lawi, seorang penyair muda dan bertalenta.  Puisi-puisinya sudah pernah dipublikasikan di beberapa surat kabar seperti Kompas, Koran Tempo, Sinar Harapan, Bali Post, Sumut Pos, Pos Kupang, Victory News dan Flores Pos, juga dimuat dalam sejumlah buku festival kepenulisan seperti Tuah Tara No Ate (TSI IV, 2011), Sauk Seloko(Pertemuan Penyair Nusantara VI Jambi, 2012), Through Darkness to Light (UWRF 2013), Senja di Kota Kupang (Kantor Bahasa NTT, 2013) serta sejumlah jurnal dan buletin sastra. Tema biblikal menjadi ciri khas yang ada pada setiap karya yang dihasilkan oleh Mario. Sepak terjangnya dalam dunia sastra yang gemilang pun membuat ia berulang kali meraih penghargaan. Pada awal tahun 2014, buku puisinya yang berjudul Memoria menjadi salah satu buku sastra yang direkomendasikan oleh Majalah Tempo. Selanjutnya pada 2015 ini, buku puisinya yang berjudul Ekaristi mendapat penghargaan sebagai buku puisi terbaik dari Majalah Tempo. Penghargaan lain yang ia terima adalah NTT Academia Award kategori sastra pada tahun 2014. Kumpulan Puisinya yang teranyar terbit adalah Lelaki Bukan Malaikat terbitan Gramedia.

Dan  ternyata seorang Mario F Lawi juga Pemimpin Redaksi di Jurnal Sastra Santarang, suatu Media yang dikelola oleh komunitas Flobamora, yang di dalamnya tergabung para pastor/frater mumpuni dalam bersastra. Beberapa edisi digital Jurnal tersebut telah saya baca dan memunculkan kekaguman terhadap bobot tulisan yang dimuat. Oleh karenanya satu setengah bulan lalu kukirim via email 6 puisi ke redaksi Jurnal Santarang. Dari pemberitahuan Bang Mario F Lawi, kutahu puisiku dimuat pada Edisi 39/Juli. Dari versi pdf yang kubaca ternyata 6 puisi yang kukirim semuanya dimuat. Terimakasih Jurnal Santarang! Terimakasih omunitas Flobamora!  Inilah Keenam puisi tersebut







Minggu, 12 Juli 2015

ENAM PUISIKU DI HARIAN MEDAN BISNIS





Ada dua hal unik yang kualami seminggu sebelum  Pak Abdul Rahim Qahar Redaktur Rubrik Art And Culture Harian Medan Bisnis kembali ke haribaan khaliknya. Pertama,  adalah soal rasa penasaranku terhadap satu akun email bernama ramalialubis.com tempat pengiriman cerpen/puisi ke Harian Medan Bisnis. Sebelumnya aku berpikir bahwa akun itu adalah milik seseorang bernama Ramalia Lubis, yang merupakan salah satu Staf Redaksi Pak Abdul Rahim Qahar. Namun setelah 3 kali aku email puisi ke alamat itu pada rentang waktu Januari-Mei 2015 dan tak kunjung satupun puisiku dimuat membuatku pensaran. Siapa sebenarnya Ramalia Lubis ini kok begitu acuh terhadap karya puisi yang kukirim tahun 2015? Padahal di tahun 2014 pemuatan puisi lancar-lancar saja. Rasa penasaranku terhadap nama akun email itu kuungkap kepada Bang Antony Limtan seorang sobat lama zaman remaja di Ikatan Penulis/Penggemar Sinar Remaja Harian SIB (IPPSR SIB) yang saat ini merupakan salah seorang Redaktur di Harian Analisa Medan. Pada mulanya dia pun kurang mengetahui akun itu milik siapa. Tapi beliau berjanji akan mencari tahu. Beberapa hari kemudian aku mendapat jawaban bahwa akun email itu adalah milik Pak Abdul Rahim Qahar Sang Redaktur Art And Culture Harian Medan Bisnis. Nama ini sejak zaman aku SMA sudah kutahui dan kukagumi sebagai seorang penyair SUMUT yang bagus karyanya.  Lalu  entah dorongan darimana aku tergerak untuk mencari-cari akun facebooknya. Kutelisik satu persatu akun yang menyerempet-rempet namanya, sampai aku merasa yakin bertemu satu akun yang menurutku adalah kepunyaan beliau sebab infromasi yang terbaca sekilas merujuk kepada profil pekerjaan dan foto beliau. Kuajukan permintaan pertemanan  dengan harapan jika telah diterimanya pertemanan yang kuajukan, aku akan menyampaikan unek-unek.  Soal nasib puisiku yang sudah tiga kali pengiriman seperti diabaikan saja. Namun belum sempat mendapat penerimaan, kuperoleh kabar dari status penyair Syafrizal Sahrun bahwa beliau sudah berpulang ke rakhmatullah. Aku turut bersedih atas kepulangannya.

Lalu beberapa hari setelah berpulangnya Pak Abdul Rahim Qahar,  tepat di hari minggu 5 juli 2015, kulihat pada lembar koran Medan Bisnis Rubrik Art and Culture bahwa alamat email pengiriman karya cerpen/puisi sudah bukan ramalialubis.com lagi. Hal tersebut semakin meyakinkanku bahwa email ramalialubis.com adalah aku Pak Abdul Rahim Qahar. Akhirnya aku kirim enam puisi ke alamat email baru itu yaitu diurnanta@gmail.com. Puji Tuhan pada Minggu 12 Juli 2015, 6 puisiku dimuat pada halaman 16 Rubrik Art And Culture yang pada hari itu menampilkan Galeri Puisi dari 3 Penyair, yang berbeda tampilan dari edisi sebelumnya. Tampilan yang apik dari Seorang Redaktur Bang Diurnanta Qelana Putra! Inilah 6 puisiku tersebut


KOTA  MENUNGGU


tubuh para ibu terpasung  di kepala dan mata kaki kota itu
regang jadi temali,  membusung gerbang kota  sebusur-busurnya
berlusin anak  muda pun satu persatu dilepasnya sebagai mata panah
memburu kilau impian ke menara cahaya  mengikut  lengkung pikiran
kota masih sabar menunggu tuaian di tapal batas menuakan lapar
jika tiba waktunya pulanglah perantau  dari ranah jalang
bertiti lengkung pulang-pergi  yang sama, yang samar terpeta dalam harapan
membawa senyum terpanah ke gerbang, mengenyangkan masa tunggu

selama mata panah pergi, beton-beton kota lepuh karat menanti
urat jantungnya bertambah mampat menampung larian muntah peminum tuak
selalu mengerang di malam-malam hampa dengan nyanyian patah-patah tak tuntas
mabuk berbual rindu yang tak sampai  ke seberang lautan
tentang panglima berganti-ganti, meracau  kebingungan  menyudahi epilog notasi
tentang hulubalang memagar kota dengan slogan-slogan berkerumun tanpa sungkan
kota terhuyung beban pergulutan, terperosok marwah di bait-bait melompong
ah, pemabuk berkata kosong, panglima berkata bohong, gelas tertungkap gosong
nyanyian berdengung tak bersyair kelimpungan mencari tujuan
hendak menangisi amplop kosong, gelas kopong atau muslihat lolong berbasa-basi?

duhai mata panah kilau di pucuk menara gaung
sesekali kenanglah busur yang melambungmu sebagai petarung
kenanglah ibumu sebab punggungnya mulai patah bertambah lengkung
kenanglah lolong bapamu terperangkap bermabuk rindu bergulung
kenanglah semua yang terpasung gertak  pagar-pagar kota mengerubung
mainan paksa panglima dan para hulubalang bingung
datanglah ramai-ramai memanah rindu kami bersama senyum membusung
niscaya panglima dan berlusin hulubalang kau lesat sebagai mata panah tumpul
bingung mengonggok di jurang terbuang

                        Medan,  Mei 2015

  
ANOMALI NASIB


Probabilita 50:50
di buku seorang penghitung
menyengat pikiran para pembaca hidup
orang-orang optimis berpacu ke jurang umur
yakin menang  menyisir  separuh kenyataan

100 pembaca  terperosok ke lubang itu
semua berjumpa sesal
yang tak habis-habis
lalu menggali bertambah dalam
teringat  probabilita 50:50
yang pernah terjadi sewaktu ceteris peribus
di alam raya mula-mula
mungkin mengubur nasib baik  disitu

goda keberuntungan melupakan ajaran
sejak tuhan membagi benaknya
siapa lagi yang tak luput merekayasa?
agar sekali menang terbilang terus
kalau sekali hilang siapa peduli.
seperti yang hilang berulang di jurang itu
100 mengubur  kepala dan ekor

                        Medan, Juli 2015

  

MENCARI RUMAH BARU AYAH


Seseorang masih menangiskan ingatannya
Jantungnya tumpat meniup niup debu cukup lama
lunglai mengais empat titik  yang pernah  diberi tanda
berharap menemukan lubang udara
tempat biasa  hatinya berkirim kata
Mengenang-ngenang  luka.
berulang mencoba
lubang itu sembunyi kemana
dimana tempat  mencari? dia menangis sejadi-jadinya.
rindu  yang sudah digenggam   berhambur sia-sia
lama digenang  dan waktu tumpah  harusnya tiba

lewat bunga yang pernah ditancapnya di antara mata
segera dia siuman dari lupa
disitu lubangnya menggenangi rupa

            Medan, Januari 2015



 PENUNGGU HUTAN 1 

katamu kita akan menebalkan belantara
melebihi rapat alis perempuan menggoda
selalu jadi bandingan cinta tak bertara
mengibas  teguh mata daun runtuh berjaga

kaupun menanam maksudku meninggikan bibit cinta
di hamparan perasaan membusuk  luka
jalan pintas mengatup rintih tanah menganga
ingin merdeka mengobarkan bau rahasia  kita
dari tempat dibuang di jurang-jurang  kematian pertapa
secepatnya  tersekap oleh harum bunga-bunga
secepatnya didekap kerlingan rupa raflesia
meraup lapuk belantara  yang rubuh tergoda

katamu setubuh cinta kita telah menebalkan belantara
menenung kegaduhan orang bunian lelap tak karena mantra
semut beriringan telah tiba dari perjalanan menjauhi alis wanita
katamu meninggalkan perempuan kerontang kehilangan gelora
laki-laki  tergoda melepas pucuk berahi di payung rimba
(lelaki kota yang tak takut lagi pada penunggu menjelma
memang berduyun-duyun ke rimba sebab mendengar rayu suara)

aku mengintip, aku mengendap-endap ke tepi belantara
astaga! hanya ada tumpukan penunggu rimba dan pertapa
semut-semut itu membelah alis para pertapa
ramai-ramai memanggulnya ke kota
lelaki membelah penunggu rimba
memanggulnya ke kota

            Medan, 2015




PENUNGGU HUTAN 2


sepasukan burung menanam rahasia di tajuk rimba
sedalam persekongkolan  muasal lorong petaka
melamur cacat kelam hilang di lubang raga

berlabuh siasat ke persembunyian sempurna
menjejali kesesatan pikiran pendekar kota
seharga kebingungan selinap di mata mereka
cerita keramat akal beranak hantu di cabang dua
mendebar-debarkan jantung tajuk strata
hendak membanting, bila mendekat siapa saja

lingkaran tahun perlahan  terbunuh bersama catatan peristiwa
siang dan malam berderit, dikerat  tinggal debu serbuk dupa
bau dan suaranya menyergap pemburu meraba rahasia
membawa roh bunian ke jelmaan batang hilang 
mengerat tunggul dan menyangka telah memangsa manusia
manusia yang merampas mahkota rimba

orang-orang rimba tak berani menyebut kemana jasad petaka
meski tajuk  raib  serempak dari mata
sebab menyangka pasukan bunian selalu menjelma
menghadang dengan rupa tak tembus mata
membanting, bila mendekat penciuman siapa saja
memangsa, bila dekat keberanian siapa saja


                                    Medan, Mei 2015


  
PENUNGGU HUTAN 3
: musim sawit di pantai timur

telah  kutahu  tabiat pelepahlah
yang membakar-bakar sunyi
selepas mengembara dari afrika singgah di belanda
ke satu berahi industri di eropa
terjengkang sampai ke swarna dwipa membawa musim gaduh 
membelah berahi bunga-bunga
tak sempat berkawin merumpunkan turunan
 
berimbas pemukim gunung-gunung  menangisi  langit terbuka
mengutuk hantu-hantu mengapa  hilang tak menghalang
rumpun yang bersikukuh memeluk gunung, dicacah  tinggal bencana
rintih  bakaran berbau abu dupa, tersisa hanya  seserbuk aroma
bukan lagi persembahan yang biasa kepada hantu
hanya penanda abad berganti adab
tajuk bersilsilah strata ke pelepah  sekultur

hantu gunung jengah di muara  mengutuk  pantai timur
turut pula mengapungkan  serdadu kaku  ke  tepi-tepi bakau
kucar-kacir  langkah orang-orang melayu yang berburu kerapu
terhalau melarikan langgam dari payau tertimpa petaka
bagai pelarian terlunta  membenam di kampung tak bermuara
hantu gunung dan serdadu kaku berdendang memanggang jembalang
melayang memutus silsilah bakau di payau punah ke hitam arang
serupa membakar pemukim gunung  ke panas petaka
sepenuh bebal mengabukan  rimbun kenangan

                                    Medan,  Juni 2015