Senin, 21 September 2015

DUA PUISI YANG DIMUAT KORAN ANALISA TANGGAL 20 SEPTEMBER 2015



Redaktur Rubrik Rebana Koran Analisa Medan menurutku adalah tipe orang yang serius dalam pekerjaannya. Beliau ini orang taat pada jadwal deadline koran. Minggu baru terbit tapi Hari Rabu malam semua puisi, cerpen dan esain sudah harus tuntas. Keseriusan lain adalah, bagaimana beliau mempercantik tampilan rubrik dengan ilustrasi sesuai tema tulisan.  Hal-hal tersebut turut membuatku selalu jatuh hati pada koran Analisa.

Terkait puisiku, meskipun aku terbilang rajin dimuat di Koran Analisa, tetapi perlakuan Bang Idris terhadap penulis puisi seperti aku tetap profesional. Buktinya, tak selalu puisi yang kuemail lolos seleksi. Dan Puji Tuhanlah, Tanggal 20 September 2015 ada 2 puisiku yang diberi kesempatan 'mejeng' di Rubrik Puisi Rebana. Satu lagi yang membuat kagumku pada Bang Idris, Pukul 00.010 Wib 20 September 2015, puisi tersebut sudah tayang versi onlinenya di analisdaily.com/rubrik minggu/rebana/puisi rebana. Jarang koran seserius Analisa mempersiapakan rubrik sastranya seserius itu, bahkan sekelas kompas pun tidak.

Dan Satu hal yang membuatku bertambah senang, puisiku berkesempatan bersanding dengan dengan Cerpen Syawaludin Sembiring yang beken dengan nama fesbuk SAM SEMBIRING (berjudul KUPU-KUPU DI RUMAH MARINA), anak muda energik, yang rajin diskusi dan kami saling menyemangati untuk menelisik kiat-kiat menembus media.

Inilah 2 puisiku berjudul HERMAPHRODITE dan ANAK TANGGUNG KARAM DI LAUT.




HERMAPHRODITE


sebab Zeus tak sabar menunggu.   gelap menabur benih
dewi-dewi putih bermuka ganjil  bunting  tanpa malu
sepadan ketampanan yang terjatuh  kala berahi sesukanya
mencemarlah derajat kayangan ditabur kaum hina
seribu tubuh eksotik terpental menguapkan bau-bau liar
ditetes hasrat ke jagad bumi, mampuslah kekalnya
uap membesarkan awan, awan membesarkan hujan
hermes dari bintang mengambil rupa bulan
menggelitik dewi tak berkelamin. menetas mani yang jalang
jadi anak kayangan  membawa-bawa dua kelamin sungsang

begitu juga jagad bumi memahat tabiat anak-anaknya
meniru berahi penghuni langit dewa
gelap sudah dihalau tapi semua menuju keinginan timpang
mencumbu semua pikiran yang cacat dan tabu
dengan tetabuhan segala sumbang terdengar dimaklumi
bersetubuh pikirannya dengan perasaan, bersetubuh hatinya
dengan badan, bersetubuh bunga dengan tangkainya
bersetubuh suci dengan bangkai
menjelma maksud paling pintas menganakkan berahi
sebagai hardik raja mencintai dunia tanpa malu
selalu dengan kesepakatan sungsang
diteguk kehausan kelamin.


 ANAK TANGGUNG KARAM DI LAUT

di  biduk rentan
dua anak tanggung beradu kecongkakan
soal gelombang dan angin
siapa pantas dipersekutukan

dengan rapalan semangat  berbeda haluan
mereka bertentang membusung pikiran
hentak alasan tarik-menarik sekuat keyakinan
sekejap pula biduk itu retak dalam perasaan
serapuh ruas  umur  di tubuh

tak pernah mereka sangkakan
angin dan gelombang sekongkol kekasih
yang kawin dalam lidah berpagutan
menyembur  laut berahi menuju petaka
selingan bulan madu pernikahan


                        Medan,  Februari 2015

Minggu, 20 September 2015

BERLABUH JUGA PUISIKU DI PIKIRAN RAKYAT





Dari sejak bulan Februaril 2015 aku sudah mengirim puisi ke Harian Pikiran Rakyat Bandung. Sebulan tak ada berita, kukirim lagi puisi, sebulan lagi kukirim lagi. Beberapa bulan tak ada berita (barangkali 4 bulan lebih), aku mulai melupakan peluang puisi-puisi tersebut akan muncul di Koran Pikiran Rakyat. Tapi ternyata, Redaktur Pikiran Rakyat bukan manusia pelupa, bukan manusia pilih kasih. Mereka masih mengarsipkan puisiku dengan baik, mereka juga melakukan kurasi puisi dengan telaten. Kemarin Siang tanggal 20 September 2015, teman-teman di grup Sastra Minggu menginfokan, Bang Syafrizal Sahrun juga mengabarkan. Dan benar saja, ketika aku login ke epaper Pikiran Rakyat Bandung, terpampang satu puisiku berjudul PRABU LALU PRABU LALANG PRABU DATANG. Puisi itu merupakan satu dari beberapa puisi yang kukirim pada Email kedua kali. Inilah Puisiku tersebut


PRABU LALU PRABU LALANG PRABU DATANG

 abadikah negeri?

(Dari baginda, maharaja, duli Tuanku sampai yang Mulia tersebut Agung Prabu)
Engkaukah  itu tuan berkunjung dengan abadi tanda masa lalu?
bual  jelata, memutar bundar kemudi pinisi bernyayi mengabulkan janji
berlayar malam hari dengan didong lagak lagu, berharap pagi tiba di pulau tepi.
padahal janggutmu malam tiap malam masih berahikan darah berguci-guci
Perempuan mana yang tak kau timang, mertua mana  tak kau beli,  bual laksamana berbudi. hulubalangmu menghardik kami.
Katamu kami sudah beranjak dari derajat kelasi
Ooo, prabu, upeti mana  yang mesti kami janjikan lagi, kesabaran apa yang harus kuikhlaskan.  lautan panjang kami pandang,  dimana  cakrawala memanggul semangat?
terlanjur kami setia, berpantang marah karena mahkotamu engkau Prabu.
tapi mestikah kami mendusta  dahaga, mengingkari lapar, mengaminkan bekal tak di sini
memasung raung-raung dalam timbul tenggelam buih. Gelap gulita sesunggukan.
bukankah janjimu, kami bergilir makan malam denganmu  prabu  baik hati?
tapi perempuanmu  bergantian bunting muda, bergantian kenyang di buritan. bilangan  kami mengerdil. jauh menjamah kemudi. Ladang, jagung, pepohonan dan kenari kau pundi-pundi
alasanmu  bekal kita nanti di musim menggadai.
Prabu, penanggalan ke berapa kita sepakat berbagi?
Sudahlah berjanji.

                        Medan 13 Agustus 2014


Sabtu, 19 September 2015

DI HARIAN RAKYAT SUMBAR, PENANTIAN TERPENUHI





Pertama kukirim puisi ke Harian Rakyat Sumbar adalah sekitar bulan Maret 2015. Lalu dua bulan tak ada kabar berita, membuatku semangat untuk mengirim lagi kali kedua beberapa puisi pada sekitar bulan Juni 2015. Lewat 2 bulan tak ada juga kabar berita, kukirim lagi puisi ketiga pada bulan Agustus 2015. Lalu pada tanggal 11 September 2015, Redaktur mengirim email padaku, meminta konfirmasi dari seluruh puisi yang kukirim pada pengiriman kedua mana yang sudah dimuat media lain. Dalam email itu redaktur menyampaikan bahwa Harian Rakyat Sumbar tidak akan memuat puisi yang sudah dimuat media lain. Apabila puisi yang saya kirim tersebut belum pernah dimuat media lain, maka akan dimuat oleh Harian Rakyat Sumbar pada tanggal yang ditentukan kemudian oleh Redaksi. Lalu saya sebut dalam balasan email, ada satu puisiku berjudul KUNCI cinta yang sudah dimuat Harian Suara Karya Jakarta. Selebihnya belum pernah dimuat dan kuserahkan keputusan kepada Redaksi. Begitulah proses dimuatnya puisiku di Harian Rakyat Sumbar pada hari Sabtu tanggal 19 September 2015.. Sengaja saya uraikan proses menunggu terbitnya puisi tersebut semata-mata sebagai penyemangat buat rekan yang bercita-cita puisinya dapat di muat di Media agar tidak cepat putus asa apabila dalam 2 minggu puisinya belum dimuat media. Tidak semua media yang langsung mendelete arsip email puisi kita setelah satu bulan atau dua bulan. Puisi email keduaku baru dimuat 3 bulan setelah pengiriman. 

Dibawah ini saya muat dua foto koran oleh sahabatku Pak Ahmanuddin Bayer, temanku sesama Rimbawan yang bekerja di Balai Pengelolaan DAS Agam Kuantan Padang. Aku meminta tolong pada beliau sebab Harian Rakyat Sumbar sampai hari minggu tanggal 20 September belum juga memuat foto lengkap dengan nama penulis puisi, cerepen dan esai sebagaimana biasanya tiap minggu. Beliau juga berbaik hati akan mengirimkan koran versi cetak padaku. Aku sungguh bersyukur pada Tuhan Maha Esa telah memberiku kesempatan bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan, sehingga punya teman-teman yang baik hati dari Sabang sampai Merauke yang sudi kuminta tolong mengirimkan koran cetak yang memuat karyaku.

Inilah puisiku dalam versi JPEG dan tulisan asli 



KISAH SEBIJI FICUS

bermula sebiji ficus terdampar
terhempas angin cemburu
kemana pun lupa jalan pulang.
saat langit  terbuka panasnya tak terkira
ia terdampar ke mulut bebatuan. tapi tak lama
seekor Lutung gila mengeratnya
menggores garis-garis  kilaunya  bertanda noda
tercampak ke balik benua
sebatang inang  menjanda memungutnya karena iba
sepenuh usap dan menimang
tercapai maksud mimpi jauh terbang dari negeri  muasal
sejak itu dirinya pun  ditanam sebagai keluarga

sebatang inang  mengajar  tega mengkhianat  budi
membunuh rasa ke jalan sempurna pengorbanan
penampakan  hidup ikhlas  tak ada pewarisan
sekejam tabiat  memecah benak  tanpa dendam. untuk tetap ada.
dengan angin  yang mahir berkelit  berangkulan sebagai kawan
demi menabur abu inang  yang dibakar di kepala lutung
setelah  dibelahnya sempurna jadi dua
semuanya tanpa amarah. biasa saja.
sebagai ficus sekarang sempurna tak perlu kawan


KAMPUNG SUDAH PUNAH
: nelayan dan penambang


di malam laut mabuk berguling
pasir hitam tak hendak karam  janji
menjerat pelaut melambung ke pantai riuh
terkutuk jadi batu-batu tinggi
buaian dewa langit menjejak kaki
mencari-cari sesaji
di ranum Jungku
porak poranda lukanya

tiang-tiang penopang masa lalu
keriput dalam lapuk  dimasin laut
ingatan rubuh tenggelam bersama sunyi
meringkuk menahan perih
dalam sedih  semakin terasing.

sejak malam itu  satu-satu lelaki membatu
menandai tahun-tahun  putih berkabut
memudar akar kenangan.  luntur di linang
perempuan tak gelinjang berahim gemuruh.
laut  cuma tampak saat  berdandan di malam pilihan
menyendawakan dewa-dewi asing wara-wiri
dari bingkai pelaut membatu di pantai sepuluh.
satu-satu kampung raib
karam sebagai sesaji
di tiap-tiap bulan luruh
 
                Belitung, Desember 2014