Sabtu, 19 September 2015

DI HARIAN RAKYAT SUMBAR, PENANTIAN TERPENUHI





Pertama kukirim puisi ke Harian Rakyat Sumbar adalah sekitar bulan Maret 2015. Lalu dua bulan tak ada kabar berita, membuatku semangat untuk mengirim lagi kali kedua beberapa puisi pada sekitar bulan Juni 2015. Lewat 2 bulan tak ada juga kabar berita, kukirim lagi puisi ketiga pada bulan Agustus 2015. Lalu pada tanggal 11 September 2015, Redaktur mengirim email padaku, meminta konfirmasi dari seluruh puisi yang kukirim pada pengiriman kedua mana yang sudah dimuat media lain. Dalam email itu redaktur menyampaikan bahwa Harian Rakyat Sumbar tidak akan memuat puisi yang sudah dimuat media lain. Apabila puisi yang saya kirim tersebut belum pernah dimuat media lain, maka akan dimuat oleh Harian Rakyat Sumbar pada tanggal yang ditentukan kemudian oleh Redaksi. Lalu saya sebut dalam balasan email, ada satu puisiku berjudul KUNCI cinta yang sudah dimuat Harian Suara Karya Jakarta. Selebihnya belum pernah dimuat dan kuserahkan keputusan kepada Redaksi. Begitulah proses dimuatnya puisiku di Harian Rakyat Sumbar pada hari Sabtu tanggal 19 September 2015.. Sengaja saya uraikan proses menunggu terbitnya puisi tersebut semata-mata sebagai penyemangat buat rekan yang bercita-cita puisinya dapat di muat di Media agar tidak cepat putus asa apabila dalam 2 minggu puisinya belum dimuat media. Tidak semua media yang langsung mendelete arsip email puisi kita setelah satu bulan atau dua bulan. Puisi email keduaku baru dimuat 3 bulan setelah pengiriman. 

Dibawah ini saya muat dua foto koran oleh sahabatku Pak Ahmanuddin Bayer, temanku sesama Rimbawan yang bekerja di Balai Pengelolaan DAS Agam Kuantan Padang. Aku meminta tolong pada beliau sebab Harian Rakyat Sumbar sampai hari minggu tanggal 20 September belum juga memuat foto lengkap dengan nama penulis puisi, cerepen dan esai sebagaimana biasanya tiap minggu. Beliau juga berbaik hati akan mengirimkan koran versi cetak padaku. Aku sungguh bersyukur pada Tuhan Maha Esa telah memberiku kesempatan bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan, sehingga punya teman-teman yang baik hati dari Sabang sampai Merauke yang sudi kuminta tolong mengirimkan koran cetak yang memuat karyaku.

Inilah puisiku dalam versi JPEG dan tulisan asli 



KISAH SEBIJI FICUS

bermula sebiji ficus terdampar
terhempas angin cemburu
kemana pun lupa jalan pulang.
saat langit  terbuka panasnya tak terkira
ia terdampar ke mulut bebatuan. tapi tak lama
seekor Lutung gila mengeratnya
menggores garis-garis  kilaunya  bertanda noda
tercampak ke balik benua
sebatang inang  menjanda memungutnya karena iba
sepenuh usap dan menimang
tercapai maksud mimpi jauh terbang dari negeri  muasal
sejak itu dirinya pun  ditanam sebagai keluarga

sebatang inang  mengajar  tega mengkhianat  budi
membunuh rasa ke jalan sempurna pengorbanan
penampakan  hidup ikhlas  tak ada pewarisan
sekejam tabiat  memecah benak  tanpa dendam. untuk tetap ada.
dengan angin  yang mahir berkelit  berangkulan sebagai kawan
demi menabur abu inang  yang dibakar di kepala lutung
setelah  dibelahnya sempurna jadi dua
semuanya tanpa amarah. biasa saja.
sebagai ficus sekarang sempurna tak perlu kawan


KAMPUNG SUDAH PUNAH
: nelayan dan penambang


di malam laut mabuk berguling
pasir hitam tak hendak karam  janji
menjerat pelaut melambung ke pantai riuh
terkutuk jadi batu-batu tinggi
buaian dewa langit menjejak kaki
mencari-cari sesaji
di ranum Jungku
porak poranda lukanya

tiang-tiang penopang masa lalu
keriput dalam lapuk  dimasin laut
ingatan rubuh tenggelam bersama sunyi
meringkuk menahan perih
dalam sedih  semakin terasing.

sejak malam itu  satu-satu lelaki membatu
menandai tahun-tahun  putih berkabut
memudar akar kenangan.  luntur di linang
perempuan tak gelinjang berahim gemuruh.
laut  cuma tampak saat  berdandan di malam pilihan
menyendawakan dewa-dewi asing wara-wiri
dari bingkai pelaut membatu di pantai sepuluh.
satu-satu kampung raib
karam sebagai sesaji
di tiap-tiap bulan luruh
 
                Belitung, Desember 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar