Minggu, 25 November 2018

4 PUISI DI HARIAN MEDIA INDONESIA 25 NOVEMBER 2018



Puisi yang berjuang, selalu menemukan jodohnya masing-masing kata banyak penyair. Maybe yes maybe no. Tapi kabar perjuangan puisiku sebagian besar begitu. Seperti kabar yang kubaca di minggu pagi. Ada 4 puisiku berjodoh di Harian Media Indonesia dengan judul antara lain: 'BERDAGANG SEGELAP KARBON, 'UPIN IPIN MEMBAJAK ULTRAMAN', 'DIHALAU TASMANIAN DEVIL', dan 'BUNG LON'. Mereka tak lahir kembar, didandani di hari berbeda-beda, tapi berjodoh di hari yang sama. Tapi puisi yang berjudul UPIN IPIN MEMBAJAK ULTRAMAN betul-betul membuatku jatuh haru di hari bahagia itu. Sebab puisi itu bermula dari pengamatanku terhadap kebiasaan putriku tercinta yang selalu kesengsem terhadap film kartun tak terkecuali UPIN IPIN itu. Putriku betul-betul penambah berkah imaginasi padaku.

BERDAGANG SEGELAP KARBON
: hantu penipu


kami masuki penanggalan antah-berantah rimba
kala sesuatu tuba meski tak direlakan tekun menyusup
seperti ular-ular mini menunggu mengacir
dari dengkur tekukur
atau siasat lama mengintip dari celah kepala batu
meloncat merasuki inang baru
tak menunggu rela

pada hari legam pitam
malam terperanjat lupa kemana tatapan bulan
mata bara penjaga sempurna menggarap gegabah
kami yang setia, terkesima bayangan ganda

tapi apa ada kompensasi tabah?
waktu yang terus berlari
meningggalkan bunyi goyah
jatuh melewati tabah berjangka

rindu merambat. belum tiba dari pelesir khayalan
entah kemana mengumpulkan nyata tak berlipat ganjil

kami makin lama terlentang di peraduan asa
terus larut merinci rencana membentang laba
yang serasa panjang ada, belum teraba

di Kyoto, wibawa aba-aba tak sadar sudah menua
menuai lelah bunyi peluit yang berkali tersedak menandai
berlagu sampai di lima belah bumi
belum pernah ada yang terkesiap pada nada hampa

maka perahu tetap diam di bandar jauh
nakhoda luput menyelami bahasa asing siaga

dengan jarak kepentingan amat sumir
nakhoda dan juragan asing
mengaku sibuk beradu hitung
selisih hutang-piutang penganan siang



UPIN IPIN MEMBAJAK ULTRAMAN

:ananda Pio Sorta Grace


Setelah Upin Ipin mahir berkacak di kaca
menumpah raut tak sabar. ingin ajian kebal sebebal tameng
sepantar waktu itu pula Ultraman baru menepi dari kubangan matahari
topeng hanya penutup malu kepalang tunduk
kuping digasak pahlawan-pahlawan bertanduk ganjil medan peran

Upin Ipin di kampung melayu jemu berlari-lari
sekali lintang-pukang hanya dianggap bermain-main perang

dua cerita lama gaya dua kota
berjuang daya di layar redup
sama-sama menyangsikan tabir kalah kembang
anak-anak kampung menyaksikan, bosan alip cendong di gunung
permainan berulang tayang mencibir semangat rasa garang

Upin Ipin kepingin peran riuh mengikis epos pedang
Iri nafas berburu pahlawan yang segigih acung
orang-orang mancung tak berpantang

sebab pendekar melayu lesak, ditarik masa lalu sejak malu berbaju usang
cerita-cerita membusung cuma gertak memantangkan usungan riuh pendatang

Upin Ipin ingin mampu tak memperpanjang jemu bincang-bincang
tapi lupa di celah jerami mana ujung pepatah bergulung maksud

demi semangat perang biar resek dari mulut genderang
Upin-Ipin belajar berkelahi menanggalkan rasa tenang
menguji berani kampung agar tak urung menantang
lewat mimpi petang, membajak ultraman, sekutu mengupas malang

dua kota berlainan maksud lahir dari celah sempadan, berebut marka
kapal-kapal membawa amanah bencana, menyebar ketuban amarah
Upin Ipin melatih kefasihan mengusik kesunyian dengan genderang gadget
cukup sekali berjampi pepatah latah, Ultraman cepat menyembul tiba
mencabar dari sisi kanan, melempar ajian bersilang tangan

Ahoooi, sepantaran waktu tak terlerai
betul, betul, betul*)
dari kota iri muncul lawan sepadan
gergasi bertaji gergaji!

      Keterangan:

     *) Ucapan khas film animasi UPIN IPIN



DIHALAU TASMANIAN DEVIL

: hantu binatang berisik


Behemoth tak malu-malu sejak mengaku maha reka
Tasmanian Devil jadi setan ketujuh belas
berjubah ayam saleh
memagari tangisan kemaruk dalam istana kubah riuh
selayak malaikat hulubalang keluar lubang
memajang gigi penuh jajaran benci

Kau ciumkah aroma darah putus setia dari nadi
searoma bangkai di tubuh pencerca semampai?

sebagai orang bersila, bernoda hanya iota
kau pasti bertalu-talu disiksa dengan tata cara

tetaplah berlipat jari pada hari jadi
walau terpaksa menjadi-jadi dihalau dengki
tetaplah dengan mata yang menutup konfrontasi
agar tak dihantui memasuki pintu moksa ragawi

kesucianmu niscaya tetap terjaga
melalui doa takzim kami kaum duka
berangkat saja seperti piatu duafa
sederhana lewat lubang pengasingan sementara
di sana mari muntahkan serempak
tiap keheranan spontan belum tersedak
sesontak tubuh kejang berkalut separuh percaya

atas nama perlawanan antibody jasad setia
tiada yang cermat seperiksa hamba
yang paling mengerti bahasa renik durjana

meski tiap setan dan hulubalangnya
membekali detail rupa ahli agama.



BUNG LON

: hantu pilon

Bung masih mengambang kalau mengebut diri
sebagai peruwat dan perawat rahmat dan kasih membumi
bukankah hulu makananmu tak lagi dari ibu sendiri?
sudah bersantap berdiri. sendiri, tak sudi menyaji saudara jejak rahim
Jangan mendelik tiap diingatkan racikan masa lalu 
mesti sesederhana ucap ibu!

firman yang mana telah kau potong, tanggal banyak kata
makna sekata kini bernafsu berbiak,
terhidang alang kepalang membuatmu berani lancang
tak berpantang menggantang ke altar dengan mulut basi
rajin memajang 
beberapa tahun sekali di layar masa
pada musim sekutumu lancang menjenguk
sambil menenteng bermacam bentuk serpihan duka

kami gagal metamorfosa dari lidah kepincut
mati bertanya “bilakah selamat menyesuaikan diri”

lalu sesudahnya tangan yang cemar tengadah
segemar pintamu yang serupa hantu lapar keramat
selalu tiba-tiba berwajah seterbuka baki
bernafsu menampung bermacam sesaji runtuh.

Bung Lon, sungguh engkau pembual terang-terang
meminang dengan mulut berirama bising
mengutil jampi-jampi sembarang poyang

tak bosan mendongengkan bermacam ulangan buaian tidur


    Medan, Januari 2018


Minggu, 28 Oktober 2018

4 PUISI DI MEDIA ONLINE BASABASI.CO 16 OKTOBER 2018




Berita menggembirakan itu datang dari inbox Mas Kian Santang Sang Penjaga Gawang Puisi di Basabasi.Co. Saya terima saat saya masih di Palembang menjalankan tugas sebagai abdi negara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tak kepalang suka citaku. Sebab menembus Basabasi.co penuh perjuangan. Mencoba berkali-kali. Tgl 17 Oktober 2018 sudah pula honor masuk ke rekening. Dan hari Sabtu 27 Oktober 2018 kuterima juga kaus bertuliskan wejangan Multatuli. Cendera Mata dari Basabasi.co atas puisi yang pertama kali dimuat di situs tersebut. Inilah 5 puisi yang berjodoh dengan basabasi.co tersebut


DARI SEKELUMIT RAMBUT TUAN BAHLUL


tuan bahlul masih serumit puntiran rambutnya
yang tak sampai tebal sejengkal
bebal berpilin

seperti jalan pendek sudah ditempuh
tak pernah berujung di mataku
menambahkan pening
memanah dari seputaran keningnya
membawa hantu-hantu bising
beriring di lubuk dada kami

layaknya orang kebal
tapi Tuan Bahul terlihat lebih pejal!

nasibmu kekasihku
pegal menjejak tujuan sejarak
terkerat akal sepangkalnya
mengakar sebanyak tali-temali
menyumirkan keadaan

rumit seperti Mister Pandir juga

         Medan 2018









SAAT ULAR MELUAP DARI TENABANG

tuan ogah kerja ogah capek
satu persatu mati kelaparan
di pasar lapang makanan

yang mengelu-elukan muhrim di musim lalu
tiarap mencari-cari balasan
mencuri-curi ayat tanpa palang
memotong-motong bayangan dengan geraham
dengan keyakinan kebal bahwa siasat lapuk
masih berkhasiat memutarbalikkan kenyataan

sebagai akibat pantangan sebuah lencana
bencana meluap dari satu kutukan
populasi yang khilaf terhimpun pada satu semesta
yang tak mau pasrah beririsan
menanggung balasan alasan

yang compang-camping
luka luar-dalam
dikepung ular
pun yang tekun mengirim doa-doa
terlempar di luar cara biasa bulus

sebab berada di tengah-tengah episentrum liar para nujum
porak-poranda dikucar-kacir semburan tak harum
seketika terpaksa bersamaan rebah tanpa senyum

     Jakarta 2018








LASKAR BERUSIA SEHARI


Mereka sudah menjadi hakim pendendam
kejam mendahului malaikat tuan langit takzim
ada pula bermacam latar belakang tak mahfum
menggiring minat menjadi penghukum

mengaku berakar dari lubuk dada terdalam berbibit harum
menjaga semerbak kuat pembasmi bau hantu sampai tak tercium
tapi gemercik bau mesiu dikulum, berpura ia tak maklum

orang lain kental mengenal mereka Si Buta-Tuli
dengan bulu kuduk tak bisa hikmat berdiri, meski
tuan langit hilir-mudik dan mendesir berkali
mencari anak-anak terlalu tak tahu diri
lari sudah lebih dari 10.000 hari

Laskar gagang pentungan, usiamu baru sehari!


PERIHAL KELUARGA CENTANG-PERENANG ITU


bapakmu tak pernah tiba sejak menjarah setanggi hutan
ibu hanya sekejap jadi pelakon murung
satu hari kemudian miring membilas tanda-tanda duka pingitan
saban malam rajin mengupas bekas puritan kutang

laluan singgah terbuka bagi pejantan yang suka bermata nyalang
sampai dua gadisnya menguping ciri-ciri tak risih membiakkan piutang

sejak itu serempak menanam cita-cita menantang
menumbalkan cinta di atas tinggi kurungan belah kutang
kira-kira kelak bisa terjual senilai bobot hutang

sedang si anak lelaki yang tak sempat berguru bapa
membiarkan loyo kaki yang ragu
diasuh mata pemalu
selalu tiba-tiba mengasah amarah tapi kelu di bawah bulu-bulu
tak faham berperang menumpas sembilu
betul-betul tak pilu hanya mampu jadi pecandu
membisu dan masih senang menyusu

wow, menjalar dari puri ke puri kepala batu
tumbal nafsu benalu
timbul-tenggelam bertalu-talu!

   Medan 2017


Minggu, 05 Agustus 2018

4 PUISI DI BANJARMASIN POST 05 AGUSTUS 2018



Tujuh bulan sejak pemuatan puisiku di Koran Tempo 13 Januari 2018, barulah 4 puisiku yang bertambah umur mendapat jodoh di media cetak.  Puisi yang berjudul RITUAL SABAN KELUARGA PASIEN, MENGIKUTI RITUAL DOKTER, MENDIAGNOSA JURU RAWAT, MENGIKUTI RITUAL PASIEN adalah hasil perasan perasaan sekitar bulan Juli-Oktober 2017. Masa-masa kami anak ibundaku diharu-biru oleh penyakit Sang Bunda, sebelum ia akhirnya takluk jua pada batasan maut. Draf kasar puisi ini sepertinya terbentuk lebih kurang satu bulan, satu Puisi tiap minggu. Tetapi untuk menjadi puisi dengan judul dan diksi sebagaimana yang sudah terpampang di Koran Banjarmasin Post ini tetap memerlukan polesan setiap kucermati kembali agar mendapat judul dan diksi yang lebih pas menurutku.

Di bawah ini, kusalin kembali 4 puisiku tersebut sebagaimana aslinya dalam format word. Sebab, ada beberapa dalam bait bait yang penempatannya berubah dalam edisi cetak oleh sebab penyesuaian kolom di surat kabar.

Selamat membaca!



RITUAL SABAN KELUARGA PASIEN

mengikuti dua ratus notasi rotasi
jam terdesak menusuk delik tabah
hanya sekali kami melawan
dengan doa penawan angin
semoga peri sakti tertarik hinggap di kepala
menyirami api perang
yang mengusung hari kelabu

tetapi ludah tergoda memercik abu
di hati karam sesama penunggu

di letusan uap mengganas
jangan dedah aib beriring ikan-ikan
biarlah berdiam di dasar lubuk dada

tapi ibu juga sudah lebam
dikitari waktu sepenuh diam

bagaimana kami yang sembab menahan jerembap
tiap bermalam dinaungi kelam




MENGIKUTI RITUAL DOKTER

seperti si dungu penunggu
kami dipaksa bisu
dipancing cemburu

sedang sekelebat bayu
si dokter malah berlalu
serupa maha guru angkuh
luar biasa memainkan harga rasa tahu
sampai tak tahu ilmu bergurau

tinggal kami yang sepuh menunggu
menyingsingkan mata kelu dikitari waktu
si dokter beri pengasuh, pengasah mulut nyinyir
yang merasa perlu menjaga kesaksian jam bicara
si tukang halau tak punya sendu
tak juga punya malu
bertalu sakti menyisihkan rasa tahu tabahku

selalu tak sempat kami rajam ragu
mengikuti begitu-begitu lagak-lagu
tepat pukul berapa ia bisa memandu nyeri ibu
mampu menjangkau mau


Medan, Juli 2017



MENDIAGNOSA JURU RAWAT

jika terlihat putih pasi
sesungguhnya ia sedang menandai
ciri sirna banyak warna sukma
pun hitam buram mengeram di lubuk mata
hanya tanda matang luka lama
hampir mati rasa

tak usah timpakan centang-perenang
jadi sekujur luka laramu
pada pelupuk kalbunya

sejak mengikis kesumat
pelajaran ia pikir sudah tamat
ia pun tak lagi bertanam niat
membiakkan ciri-ciri peri berhikmat
seperti perihal mala dan remah
di usia tertatih ibu kita
percuma kau mencari iba

ia baru bisa menjelma sewarna manusia
pada bulan-bulan berumur tua

bawakan saja sesaji
pas jejaknya setengah dewi


Medan, Juni 2017


MENGIKUTI RITUAL PASIEN
di lubuk pekat dada ananda
kusamak kata-kata tak kuat kecipak
kulihat tekadmu pun sudah letih menyimak

tapi biji-biji yang ibu beri ingin kutanam
agar kuat melalui sepanjang kumat tiga musim
takkan mati senasib tungkai terbenam

lihat! sudah bercucuran dari setitik celah masa lama,
panjang jejakmu berbiak ke hilir mata
mengarak cinta jelas deras tak hingga

rupanya begitu caramu bunda
membilurkan takjub pati cerita
pertanda seseorang telah sampai di kabut
ke pucuk redup kobar cita-cita

sedikit demi sedikit masa lalumu
terkabul mengibarkan perpisahan

dengan kabar duka










Sabtu, 13 Januari 2018

PUISI DI KORAN TEMPO UNTUK KEEMPAT KALI





Puji Syukur pada Allah, sejak Tahun 2015, Koran Tempo  telah meloloskan puisiku sebagai laik muat. Sampai sekarang telah 4 kali puisi-puisiku berjodoh dengan KOran Tempo. Sekali di Tahun 2015, Sekali di Tahun 2016, SEkali di Tahun 2017 dan yang diawal Januari Tahun 2018 ini. Puisiku yang Berjudul 'PEKAN-PEKAN TERBETIK MATI TERASING' malah hanya berwaktu tunggu kurang dari seminggu telah dimuat. Nasib baiknya tak lama menunggu sama dengan puisiku yang dimuat Tahun 2016 yang berjudul 'EMPAT PERKABUNGAN BERSINGGUNGAN'

Terima kasih buat Mas Budhi Setyawan yang pertama kali menginfokan pemuatan puisiku ini. Terima kasih buat Ito Dengsi Pardede yang telah berkenan mengirimkan penampakan puisiku lewat jepretan kamera HP bahkan berbaik hati mengirimkan koran versi cetak ke alamat kantorku.

Sila Tuan dan Puan menikmatinya


PEKAN-PEKAN TERBETIK MATI TERASING

: Onan na Marpatik1)


“tiga parsinggungan, onan parsaoran
antaran na bidang, lobuan na godang
pardomuan ni raja, parsaoran ni akka dongan2)

aku mengais tanda-tanda kisah lama
dari sepuhan masa ini
yang terlukis sempat tabah
dan pernah membubung niat bulat raja-raja

kuusik sebiji asam jungga
tak kukira masih menyimpan asam-pahit petaka
kumat dari mati suri, memercik nyeri
di lahir anak-anak raja terkucil

di pekan-pekan, kisah tua bertuah
sejak dikebiri
kini dihayati hanya tersisa
satu hari yang setia
tersiksa menampung hiruk-pikuk
dalam kerumunan simpang-siur harga

patik tak lagi marka ditohok menjorok
sedalam jari-jemari beringin
tak ada sumpah yang kepingin tumbuh bercagak
merelakan urat menjuntai berurai dari tungkai
martir menopang patik tiga3)
ikatan mata seksama hari lepas ari

penyerbu ganjil menumpang di celah sakal
telah menang bertaji akal
ikatan gigih temali jerami
terkikis dipantik jemari pengusik
bersama singgasana raja
sungguh hangus dilucuti bara

muncul penyaru hitam dari debu kematian
senyap keliling sebagai cara berganti faham
berlagak bertaruh sekukuh pengaruh baginda
cuma disepuh sembarang datu
duduk tak setenung raja meramu rambu dari bambu

tapi saudagar-saudagar lekas mengira
bisik-bisik separuh diam tanda tenang pemenang
yang pantas memetik upeti
upah perang yang damai
makhluk terutus dimenangkan bermain patuk api

ada pula nasehat tuan Padri ikut menyudahi,
“segara niat ramai
mesti dicuci di bejana suci
dicicil di satu per satu hari terpuji

walau menalak hantu derita
dipantang di onan bercanang perjamuan
sebab segala bekal bukan umpan berkah
mendinginkan amarah hari membara
jika berkurung jampi-jampi”

maka sekumpulan penunggu
yang sesungguhnya tak bernafsu pengganggu
lintang pukang dari seluas rindang hariara4)
sebab tengah menjulang dirongrong
dipaksa kurban dijatuhkan doa bersekutu

bersama ruh pengasuh
yang tertuding mengasah dosa-dosa
lekas menggelinding dari sanubari onan
meninggalkan irama derap gaduh
tanda mati tak sudi
dicaci-caci di hari suci

warisan pelik perih dan ricuh peluh
dipicu mendidih
setumpah hawa nafsu di hari ketujuh
di luar batasan tanpa palungan keluh

beringin berhati dingin
kini hanya berakar di makam-makam tua
berangan mempertahankan setia
meninggikan harkat paduka
empat yang terjengkang dari pekan
sejak hilang singgasana


          Balige 2017


Keterangan:

1) Onan na Marpatik adalah salah satu dari dua jenis pekan di tanah batak yang merupakan pusat perdagangan dan hubungan lain diantara sesama orang yang tergabung di daerah cakupannya

2) Adalah salah satu ungkapan batak toba terkait onan (pekan)

3) Patik tiga adalah peraturan pasar (Rule of the market)

4) Hariara adalah sejenis pohon yang menjadi ciri khas dalam budaya batak. Sebelum masuknya agama samawi di Tanah Batak, masyarakat mempercayai pohon ini sebagai penentu kehidupan dan pengambil keputusan





Minggu, 07 Januari 2018

DUA PUISIKU DI HARIAN ANALISA MEDAN PEMBUKA KARYA DI TAHUN 2018




Sebenarnya, puisi  saya  yang dimuat ini adalah kiriman tahun 2017. Satu telah dimuat pada bulan Agustus tahun 2017. Bayangkan, bagusnya pengarsipan karya di Harian Analisa yang dikomandani Bang Idris Pasaribu. 



YANG SEMBUNYI DALAM PERMANDIAN INI


dalam persekutuan yang sepakat dirajah basah
apa yang kau terka pada beberapa gigil
hujan pemanah itikad sembunyi
atau kuyup pemerangkap kehendak?
liang zakarmu mengusung air kalam
tapi berdebur debar di secipak-cipak air kolam.
masgyul temaram riang sejak mengandung tiap noda.

kau yang biasa dingin di pertapaan hibernasi
tiba-tiba ingin memandikan jalang meski rahimnya belum dibilas
dari sendawa benih penggoda laten
matamu pun belum kau duga seberapa pedih
mau mengayak batasan dosa

tak kau tahu sejak perempuan Magdala
peramu wewangian dengan air mata
punah
retina rentan sekarang pandai mengaduk
bayang-bayang laut tenang
dititipnya gelombang di lembar almanak
menunggu waktu ruah di ujung hari lengah
perempuan-perempuan penatap bimbang
tiba-tiba mengambang berbangkai hati

kau hendak menunggu seperti si buta kolam siloam
yang bertuah menuai sakti mimpi
tapi seorang tuan lajang pemberi bukti
takkan hinggap lagi di depan pancuran belah

setelah sebab dipunahkan akibat
sejak hakikat karam di persuaan mata
bertalian hajat sumbang

           Kolam renang Cemara Asri Medan, September 2015


KEINGINAN ORANG-ORANG TIMPANG

:Corrado Gini


aku perlu tonik
setempayan tegukan nasib
perlintasan pintas pintas senyawa samak darah
agar panjang jarak kemuliaan kita
tak berbatas jejak biru-merah

gerak mengalir yang terlanjur
buruan hidup kami kaum panik
akan terus bergulir mempersoalkan
luka-luka peperangan nasib

betapa parah parasmu bertekak
betapa gagal kami membentang rupa baik-baik
mengerang kegeraman sedalam gertak
sejak mendelik di hina congkakmu

kaummu pengerat tinggi menakik tuah seharga hidup
berlaksa kawan sedarah kami, telah runtuh ke kasta timpang
tersuruk kami bergulung digiring amarah
menajamkan niat terasah menghunus dendam
sampai huyung kaki terakhir pasti kami tempuh
perjuangan menyayat seruas gemukmu sebagai berkah
mengoyak kulit bebal yang dimaterai aorta biru
sampai merdeka sungai darah bersekutu dalam warna
jika tiba, puasku kelak di atas harga barang langka

kalau kau tak ingin itu terjadi
beri aku menenggak tonik
seteguk dari congkakmu
cara akur menyamak tampak
sampai kulit kita mampu beranak tampak
sekasta mulia yang tegak
tak dipajang pemburu hanya seperti barang antik


Keterangan:

CORRADO GINI adalah ahli Statistika yang mempublikasikan Indeks Gini atau koefisien Gini dalam karyanya Variabilita e mutabilita pada tahun 1912, yaitu salah satu ukuran umum untuk distribusi pendapatan atau kekayaan guna menunjukkan seberapa merata pendapatan dan kekayaan. Kisaran Indeks ini 0 sampai 1.Apabila koefisien Gini bernilai 0 berarti pemerataan sempurna, sedangkan apabila bernilai 1 berarti ketimpangan sempurna.Semakin besar indeks semakin tidak merata pendapatan dan kekayaan dalam suatu negara. Pada tahun 2014, Indeks Gini Indonesia 0,42. Sampai tahun 2010, rasio Gini Indonesia berada di kisaran 0,32-0,38. Tahun 2011-2013 dikisaran 0,41-0,413. Artinya dari tahun ke tahun terjadi kecenderungan peningkatan kesenjangan distribusi pendapatan dan kekayaan.

Rabu, 03 Januari 2018

SATU PUISIKU DI ANTOLOGI PUISI BERSAMA PUPUTAN MELAWAN KORUPSI ,MENGUNYAH GERAM



Puisiku adalah satu yang termaktub dalam Antologi Puisi Bersama 'MENGUNYAH GERAM' bertema Puputan Melawan Korupsi, kerja sama Yayasan Manikaya Kauki dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan kurator tunggal Penyair Wayan Jengki Sunarta. Puisi ini juga sudah pernah dimuat di Harian Suara Karya Jakarta 


PANGLIMA TALAM

kenduri di kampung ibu menghadang lenggang seratus talam
sebab seribu piring terhidang menghianati langgam lidah
selalu berkata penyungut di hati sendiri-sendiri
nikmat tak digenggam, satu peramu sesaji berpura dirayu beramai-ramai
diam-diam membusung penusuk pongah setiap budi terpahat
meski pahit terkabar seperti gurih remah tercuri dari tiap bisik sunyi
talam menjunjung puncak duli, menimang ratu pujian semayam di hati

di hati gampang cemburu dan gampang mendua
talam setia meniti kenduri menatah tahta lebih 10 tingkat piring
menjaga hati pemabuk kalau memuji diri dengan telanjang alibi
panglima talam dari pantai teguh menjunjung lintah para petinggi
tak terjual setengah harga di kabar terpagi gemuruh pantai
entah di malam hari ada yang diam-diam menjumput kilau seharga tertinggi
ketika peminang hati berkubang segala maksud

pada kenduri di kota kawanku, di tepian keping talam
berkeliling ruh inkarnasi setengah hati membekal meja jamuan
sembunyi-sembunyi itikad meneguk kabar bisik-bisik
siapa tahu panglima talam mabuk santan
sejak bosan berlagak santun
melepas harga tafsir mimpi duli dan menteri
demi sepotong dendam rindu meletup dari bokong
langgam matlumat nasib kenyang

Medan, 2015