Sabtu, 17 Oktober 2015

KORAN TEMPO, KORAN NASIONAL KEDUA MEMUAT PUISIKU





Seperti terinspirasi teori bubur panas maka demikian juga kulakoni dalam mengirim puisi. Bubur panas mulai dimakan dari pinggir piring sebab disitu bubur berawal dingin. Baru pelan-pelan kemudian sesendok demi sesendok mulai ditangguk  menuju tengah piring. Percaya diri yang tak seberapa membuatku juga mengawali langkah mengirim puisi dari media terdekat. Kumulai dari Harian Analisa Medan. Setelah dimuat, rasa percaya diri naik sedikit, lalu kutuju Harian Medan Bisnis. Bertambah percaya diri, kutapaki Harian Banjarmasinpost, lalu ke Buletin Jejak Forum sastra Bekasi, ke Harian Go Cakrawala, Jurnal Santarang Komunitas Flobamora yang dipimpin Mario F Lawi. Percaya diri yang menaik membuatku mulai berani mengirim puisi ke Media Nasional dan Media di luar Provinsi Sumatera Utara yang kuanggap tingkat kompetisinya juga ketat. Puji Tuhan, meski tidak semua koran yang kukirimi meloloskan karyaku tapi beberapa diantaranya memuat puisiku. Suara Karya adalah koran nasional pertama yang memuat 3 puisiku. Lalu ada Koran Pikiran Rakyat Bandung, Harian Rakyat Sumbar dan tanggal 17 Oktober 2015 ini media kaliber nasional Koran Tempo sudi juga memuat 3 puisiku berjudul 'BERGURU KEPALANG AJAR', 'TAFSIR DUA PEJUANG' dan 'BERHITUNG SETEBAL IQRA'

Beberapa penyair teman facebook dapat kujadikan teladan dalam meningkatkan mutu puisiku. Sebutlah Mas Budhi Setyawan Penyair Purworejo. Selain penyemangat dari kelas usia yang sama, aku banyak belajar dari metafor yang dihasilkan beliau yang selalu berhasil menemukan diksi yang pas untuk analogi puisinya. Lalu dari orang muda aku juga banyak belajar, seperti dari Maymoon Nasution yang sudah menemukan jati diri pada diksi 'begu', 'podang' dan 'datu yang selalu dimuat Harian Kompas'. Dari Muhammad Asqalani eNeSTe sudah sudah menerbitkan 4 Buku Antologi Puisi, aku belajar keberaniannya memakai diksi spontan dan seperti gol yang tak terduga dalam sepak bola. Dari Marsten L Tarigan, aku belajar gelora puisi anak muda yang matang dalam tema dengan diksi mempesona. Dari Marina Novianti aku belajar ketekunan mengamati situasi dan mencermati pengalaman yang dipadatkan menjadi puisi manis. Dari Mario F Lawi dan Cyprianus Bitin Berek aku belajar memakai kata-kata alkitabiah yang mempesona jadi puisi dan memudahkan pemahaman manusia tentang sebuah dogma. Dari penyair idola WS Rendra dan Chairil Anwar aku belajar menulis puisi dari situasi politik dan sosial terkini yang mesti dipuisikan. Dari Joko Pinurbo aku mulai belajar berhumor dalam diksi meski dalam tema memilukan. Dari Hana Fransisca aku belajar pesona diksi keseharian seperti bumbu dapur yang jadi wah di tangannya maka kucoba kuikuti menjadi diksi rimba yang akrab dalam pengetahuanku. Lewat karya Seorang Nurul Ilmi Elbanna aku juga belajar frasa yang sedap didengar dan diucapkan. Dan banyak lagi penyair yang kuanggap beken pantas kuteladani seperti Yudhistira Massardi, Sapardi Joko Damono, Dami N Toda, Remy Silado, Hasan Aspahani, Ook Nugroho, Endang Supriadi, Kiki Sulistiyo, Abu Nabil Wibisana, Isbedy Z Setyawan, Ramoun Aopta yang sering terbuai aku membaca puisi-puisi mereka. Semoga di umur 47 tahun aku masih dapat menyerap ilmu berpuisi dari mereka. 

Inilah 3puisiku yang dimuat oleh Koran Tempo



BERGURU KEPALANG AJAR
: ke negeri singa


1/
kutuju batu penjuru
batu terpungut dari babel itu
beranak tinggi dipercik peniru
kamilah terpendam pukau
yang silap-silap berguru kalbu

2/
hingga di bugis street
kutebus tubuhku berdada singa
seharga dua sesat pikiran
berendam  amuk perasaan
jatuh semuka
seperti tandan semangsa

3/
dari Little India peluh inang
subuh mengumpul-ngumpul remah
sebelum senja disusun jadi siasat kaum papa
sim salabim tiga tukang sulap
menujumnya  sewaktu gelap-gelap
dijelmalah semacam rejeki
senilai terbeli nasib di pekan negeri

4/
ke orchad, semeja interniran
mendongak-dongak kepalan
terungkit bagai duli kehormatan
tapi matanya  sehina lapar
bagai kaum gemar bercemar
penjual siapa saja demi apa saja

5/
sampai di sentosa anakku terpulau cerita
demensia batu moyang
dikupak seharga remah
besarlah ia kelak tak tahu amarah
selempar batu ke seberang
laut moyangnya terjerang


            Medan, September 2015


TAFSIR DUA PEJUANG


kau jelmakan tangga
untuk menyebut semangat dikebut
merekat  serpih patah tulang belikat
pintas lenguh pikirku menempuh.
bukan, bukan kataku. hanya penggoda
benihku petarung hendak disesat

lalu jubah bertabal nama  itu
tersebut marwah kau berikan
sungkup ke luka panjang moyang
upah perih  tubuh tabahku berkurban
buuukan, buuukan  gagapku. hanya pesolek
kelak rupa laluku lesap

kau kembang ranjang sepetak itu
menyebut-nyebutnya tujuan amin
hentian keluh mengaduh
buuuukaaaan, buuuukaaaan hardikku. hanya semimpi
pasti  merayuku senyap


                   Medan,  September 2015


BERHITUNG SETEBAL IQRA

aku hendak faham  sepanjang apa aksara mengikat ruh
selembar kata kutempuh,  sekejap kau cemas
belum kusebut soal khatam cinta semakna 
kau bilang aku pasti tertawan sekat paling rahasia
pucuk yang tak faham persembunyian ikhlas

akupun jadi enggan menghubungkan niat kepada  tanda baca
seperti memanjangkan tali seutas dengan ketabahan mudah retas
katamu pula  surga terbuka bukan sebab panjangnya kusambung suara
tapi setipis-tipis perut menapis ingin sampai angin tak mampu mendesis
kalau mau tercurah Amin

tapi aku bukan berhajat mengguruimu Tuan!

                                          Medan, Januari 2015

2 komentar:

  1. Dalam sekali makna puisi Bresman ini. Aku salut bangat. Darinya aku belajar bahasa Indonesia. Selamat berkiprah lewat tulisan.

    BalasHapus
  2. Terimakasih Mata Bening Bigcity. menyemangati saya untuk belajar frasa dan metafor yg mengindahkan dan memaknakan puisi

    BalasHapus