Minggu, 13 Agustus 2017

SATU PUISI DI HARIAN ANALISA 13 AGUSTUS 2017









Aku vakum selama dua puluh tahun menulis puisi, tepatnya sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2013. Lalu di awal tahun 2014 kumulai lagi merangkai kata. Pelabuhan pertama puisi yang kucipta pada umur di atas 40 tahun itu adalah Harian Analisa, itupun di Rubrik Puisi hari Rabu yang diasuh Bang Antony Limtan. Sasaran dalam hati ketika itu adalah Rubrik Rebana yang sudah terkenal sebagai kawah candradimuka penyair Sumatera Utara sejak tahun 80-an, dimasa kami remaja.

Syukurlah Bang Antony Limtan Redaktur analisadaily.com itu teman lawas sejak kami terhimpun dalam Ikatan Penuis/Penggemar Sinar Remaja Harian Sinar Indonesia Baru (Harian SIB) sudi memberikan alamat email dan nomor HP Bang Idris Pasaribu Sang Pengasuh Rubrik Rebana. Maka sejak tahun 2014 itu pula puisiku mampu lolos pisau seleksi Bang Idris Pasaribu. Bahkan berlanjut dengan lancar hingga awal tahun 2016 lalu. Terus terang, di tahun 2017 hanya sekali kukirim puisi ke beliau karena diriku terfokus mengejar angan-angan menembus media nasional seperti Harian KOMPAS, KORAN TEMPO, MEDIA INDONESIA dan MEDIA ONLINE BASABASI.CO, disamping koran daerah yang kuanggap berselera nasional seperti SUARA NTB, PIKIRAN RAKYAT, JAWA POS, SUARA MERDEKA, BANJARMASIN POST, KEDAULATAN RAKYAT LAMPUNG POST. Syukurlah, sebagian besar Media nasional itu bisa memenuhi angan-anganku kecuali Lampung Post, Krdaulatan Rakyat dan Jawa Pos.

Tapi aku tak ingin melupakan akar mula pendorong tumbuhnya semangat berpuisiku. Maka betapa bahagianya aku jika Harian Analisa Medan tetap berkenan memuat puisiku berjudul DI LUAR ARENA ADU VOLKSRAAD NUSANTARA sebagaimana di bawah ini. Tentu yang saya tuliskan kembali di bawah ini agak berbeda seikit dengan yang sudah dimuat. Sebab aku merasa ada beberapa diksi yang harus saya ubah atau saya hilangkan untuk lebih mempertajam penyampaian maksudku lewat puisi dan mengurangi ambigu.


DI LUAR ARENA ADU VOLKSRAAD NUSANTARA


sepetak arena dirubung kutu
sejak dua petarung kerap dulu diadu
dicukur mati kutu hingga ruhnya jemu
diam sepatah biksu dirajam tinju

lama tak ada adu
tapi taji selalu patah ditandu

kutu-kutu di arena gelisah menunggu sorak
entah berserak mengkhianati bimbang 

dan menabur segala lancang
geraknya menyimpang-nyimpang itikad
seperti hisop mencungkil-cungkil luka
di darah kami yang gentar

di luar kandang tinju
gaduh kadung meruncing tumbuh
terpancing penonton mengharap sindrom jago
pengamat cemburu menggarap pentungan  dalam sarung tinju
menggiring harapan sepukul, dua karung untung diadu tak jemu
sampai kami jatuh ke rimba masa tempat hening guru-guru
himpunan terbebat di tempat membelalak ‘aduh’

kampung petak kami retak dari ingatan sebagai labuhan teduh
sungut terakhir getir tertekan nasib runtuh
tinggal angan-angan mengiang dipancang setinggi babel

inilah kini pusat adu lancang para lancung kantung bebal
kami diganyang-ganyang belatung menumpang
selepas menjadi kutu, mereka lihai memancung gelak
memantik-mantik petaka dalam gelap

tapi arena tempat beradu sesungguhnya
cuma makam bisik-bisik ruh
ditinggal keramat menggaung aum
sesuara hantu negeri menggadang-gadang lolong

       
Kolam Renang Cemara Asri Medan 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar