Jumat, 15 Agustus 2014

GEMBALA PENYESAT DOMBA DAN KAMBING


       Selama masa ramadhan dalam beberapa tahun ini, sebuah televisi swasta selalu menyajikan sinetron religi yang berjudul Pencari Tuhan. Sukses jilid I, menggoda produser untuk membuat sekuelnya bahkan sampai 4 sekuel. Juga bintang utamanya yang sudah menjadi wakil gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar merasa penting tergoda tampil  meskipun dikritik cari uang lewat sinetron religi agar double pendapatan sebagai pejabat negara dan pekerja seni.
     Sinetronnya sendiri sangat bagus meskipun bukan alasan untuk membenarkan pekerjaan ganda Deddy Mizwar karena Sinetron itu bukan Iklan Layanan resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Sinetron tersebut murni jualan televisi swasta untuk menggaet iklan sebanyak-banyaknya agar untung, sedangkan Deddy Mizwar mestinya punya waktu 24 jam kerja sebagai wakil ghubernur. Sinetron Pencari Tuhan  apik dalam cerita. Ada lucunya, ada hidayah realistis, ada konflik, ada kisah aktual dalam kapasitas rakyat jelata (bukan seperti sinetron abal-abal Manusia Serigala, Mak Ijah Naik Haji, Diam-Diam Suka Kamu atau sinetron hidayah yang menampilkan hidup seolah-olah soal hukuman dan hadiah saja) bercerita tentang kehidupan seorang merbot (penjaga mushala) bernama Bang Jack  dan ketiga muridnya yang mantan narapidana, yaitu Chelsea (Melky Bajaj), Barong (Aden Bajaj), dan Juki (Isa Bajaj). Setelah keluar dari penjara, Barong diusir dari komplotan curanmor lantaran sering menyanyi di pengadilan. Setali tiga uang, Juki yang mantan copet, ditolak mentah-mentah saat kembali ke rumah ibunya. Nasib Chelsea agak berbeda. Ketika akan mengajak rujuk kembali dengan mantan istrinya, Marni (Anggia Jelita). Ternyata sang istri sudah menikah dengan Sumarno, polisi yang menjebloskannya ke penjara. Akhirnya mereka bertiga secara tak sengaja bertemu dan luntang-lantung menyusuri Jakarta yang tak lagi ramah. Seharian mereka menjumpai warung tutup. Hati mereka makin sakit, merasa dunia sudah benar-benar menutup diri bagi mereka. Mereka baru tersadar saat ada yang memberitahu bahwa hari ini adalah hari pertama bulan puasa, sehingga tak ada orang makan di warung.
      Di lain waktu, kita disuguhi pula tontonan di tv, bukan sinetron, tapi jadi seperti sinetron. Ada yang mengaku hamba Tuhan yang mendapat urapan, sehingga tiap niat, ucapan, tindakan yang dibuat dianggapnya sah, suci dan tak terbantahkan. Ada sekelompok hamba Tuhan mengaku pendeta yang membuat ibadah syukur kemenangan capres yang diyakini sudah menang mesti sebatas quick count Lembaga survey abal-abal. Dari sebelum Pilpres hingga pasca pilpres mereka membuat 'sinetron" pencari Tuhan, berkeliling ke berbagai kota di Indonesia  sebagaimana mereka mencari dompet, uang, sekondan dan teman intrik tanpa merasa berdosa.
     Bahkan ada seorang Muchtar Ngabalin yang suka nyebelin, yang kerap gonta-ganti partai sebagai sunnah hidupnya dan selalu berlagak suci dan paling benar dengan tameng jubah 'sufi". Merasa dipakaikan jubah kesucian, dengan lantang tanpa etika merasa berhak memaksa Tuhan memenangkan capres pilihannya. Bahkan seorang sekondannya yang wanita dan mengaku Kandidat doktor, dengan jumawa menyebut jagoannya titisan Allah. Meski diralat kemudian, tetapi apa yang mereka ucapkan pasti  didasari kesengajaan serta menganggap jemaah lain orang yang gampang mereka permainkan keimanannya sebagai komiditi, terlebih di negeri ini yang susah membedakan mana yang hanya sekedar symbol mana yang hakiki.
     Bahkan dalam organisasi yang menaungi Jemaat (bukan filial partai tapi murni organisasi agama), para yang mengaku hamba Tuhan, banyak melakonkan cara-cara mencari Tuhan dengan pikiran dan kehendak sendiri, seolah-olah ini hasil perbincangan dengan Tuhan. Sehingga, ketika money politik, intrik mereka mainkan untuk menjadi bishop, ephorus, ketua sinode dengan cara dan langkah partai memilih ketuanya: dengan fasilitas uang, makan dan penginapan, mereka bilang itu sah sebagai hamba Tuhan. Dan gereja pun banyak berdarah-darah, dipenuhi kesumat antar jemaat sekalipun sudah puluhan tahun itu berlalu.
     Aku sebagai jemaat pernah muak dengan itu. Jijik melihat pendeta, jijik melihat ustad, jijik melihat penginjil (yang ternyata tak sedikit di Amerika yang hobby main perempuan), jijik melihat vornganger yang selalu berseteru dengan pendeta jemaatnya soal kewenangan dan fulus. Ada tahunan diriku tak mau ke gereja untuk ritual ibadah, selalu mencari ucapan untuk bertentangan dengan yang mengaku hamba Tuhan itu biar terkesan menelanjangi badan mereka yang apik dalam balutan jas tetapi penuh borok busuk di hati dan pikirannya. Syukurlah, masa itu sudah mulai terlewati, tetapi sekali-sekali masih mau menyindir hamba Tuhan yang suka bersungut-sungut soal kecukupan jasmani, yang mempersoalkan amplop terimakasih untuk layanan bidston pemakaman, bidston pernikahan atau sakramen baptisan kudus. Ketidakpercayaan kepada para pengkhotbah sesat itu membuatku menulis puisi ini 

                                          Bersama kawan karib sealmamater Fahutan Unlam
                                         Foto diambil di rumah Mas Hasanuddin di Palembang

DALAM SAJAK  AKU MENCARI TUHAN

Dalam sajak aku mencari Tuhan
pada puisi Om Willy
pada puisi Bang Anwar
Aku berdzikir dalam sajak
Aku bermazmur dalam sajak
(Bapa, Bapa
dengarkanlah
dengarkanlah)

“Pikullah salib”, kata badut
dan perempuan di pundaknya

Berjanjilah pada Maha
dan mereka telah berjanji pada hama
pada malam-malam yang selalu lupa

“Berjaga-jagalah
Bianglala akan suram
dan mereka yang pertama menyulutnya jadi gosong

(Bapa, Bapa
Dengarkanlah
dengarkanlah)

Dalam sajak
Om Willy berkata jujur
Dalam Mazmur ada janji tak melulu janji-janji
Dalam sajak ada Isa dipotret Anwar
Mengucur darah, mengucur darah

(Bapa, Bapa
Dengarkanlah, dengarkanlah)

Dan bila lonceng itu berdentang
Pada Minggu yang bersolek dengan gincu
Kupanggil Om Willy
Kupanggil Bang anwar
Kupanggil Om Dami
Kupanggil sajak

Allah Ibrahim, Ampunilah
Ampunilah.Aku.
Yang percaya pada sajak
Tidak pada kotbah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar