Sekitar Tahun 1974 sampai dengan 1983, di sebelah rumah kami ada kediaman rumah Pak Silitonga yang punya halaman sangat luas. Halaman ini oleh kami anak-anak sering kami pergunakan untuk aneka permainan. Di siang hari pulang sekolah sampai sekitar pukul 5 sore, kami kumpulan anak-anak, tak luput juga anak wanita yang tomboi suka sekali bermain bola 'hockey' menggunakan kayu bengkok seadanya dan bola plastik kecil. Permaianan ini selalu riuh ria, dan gawangnya hanya satu, kiper satu, pemainnya boleh 5 atau sepuluh orang tergantung berapa orang yang mau.. Permainan pertama tanpa kiper. Yang bisa memasukkan bola ke gawang itulah yang menjadi kiper. Demikian seterusnya. Karena permainan ini sangat asyk bagi kami, maka seringkali tak ingat waktu. Bahkan sampai pukul 18.00 WIB. Permainan baru berakhir setalah kedengaran teriakan Oma, Bapak, Kakak atau Abang masing-masing pemain dengan suara melengking untuk menghardik pulang. "Baruden, pulang!" teriak orang tua yang satu, "Cincin, pulang kau bandal" kata yang empunya abang, "Lasma, mau jadi laki-laki kau rupaya hingga maumu main bola terus?" kata si empunya kakak."Kale, puuuuulaaaaang, mandi sana" kata emaknya si Kale. Maka permainan kami pun berakhir dengan rasa dongkol masing-masing karena permainan harus terhenti tiba-tiba.
Di malam hari, terutama malam minggu, halaman luas milik Pak Silitonga pun acap menjadi arena permainan kami. Terutama apabila bulan purnama menyenter terang dari langit. Sesekali permaian alip cendong, di lain minggu bermain 'margala' atau 'main cabur' menurut istilah kami. Dalam permaianan alip cendong, sifatnya individual. Setelah dilakukan om pim pah, maka orang yang kalah akan menutup matanya dan menghitung sampai beberapa hitungan, sedang peserta yang lain segera berhamburan, menyembunyikan diri. Ada yang bersembunyi dekat, ada yang jauh. Ada bersembunyi di balik pohon pisang, dibalik pohon mangga, tak jarang pula sampai turun ke parit berbau air comberan dan tinja, semata-mata biar tidak menjadi orang yg pertama ketahuan si penjaga cendong. Dalam permainan ini bila ada seorang anak yang selalu menjadi pihak yang kalah yaitu, dia tak bisa menjaga cendongnya sehingga anak lain segera menyusup dan memegang cendong, maka dia akan berulang-ulang menjaga cendong. Anak ini sering kami ejek dengan sebutan 'loca'. Disebut 'loca' berulang-ulang, barangkali ketika itu sungguh mengerdilkan keperkasaan si anak itu, sehingga tak jarang anak yang disebut loca tak terima, bahkan jadi menangis pulang terbirit-birit.
Di malam hari, terutama malam minggu, halaman luas milik Pak Silitonga pun acap menjadi arena permainan kami. Terutama apabila bulan purnama menyenter terang dari langit. Sesekali permaian alip cendong, di lain minggu bermain 'margala' atau 'main cabur' menurut istilah kami. Dalam permaianan alip cendong, sifatnya individual. Setelah dilakukan om pim pah, maka orang yang kalah akan menutup matanya dan menghitung sampai beberapa hitungan, sedang peserta yang lain segera berhamburan, menyembunyikan diri. Ada yang bersembunyi dekat, ada yang jauh. Ada bersembunyi di balik pohon pisang, dibalik pohon mangga, tak jarang pula sampai turun ke parit berbau air comberan dan tinja, semata-mata biar tidak menjadi orang yg pertama ketahuan si penjaga cendong. Dalam permainan ini bila ada seorang anak yang selalu menjadi pihak yang kalah yaitu, dia tak bisa menjaga cendongnya sehingga anak lain segera menyusup dan memegang cendong, maka dia akan berulang-ulang menjaga cendong. Anak ini sering kami ejek dengan sebutan 'loca'. Disebut 'loca' berulang-ulang, barangkali ketika itu sungguh mengerdilkan keperkasaan si anak itu, sehingga tak jarang anak yang disebut loca tak terima, bahkan jadi menangis pulang terbirit-birit.
Di lain minggu terang bulan, ketika kami bermain 'cabur' atau ''margala', suasananya lebih meriah lagi. Permainan ini bersifat Tim. Ada dua tim yang bertanding. Masing-masing Tim merasa ada pemimpinnya, dan dialah yg memilih anggotanya. Lalu setelah om pim pah, pihak yang kalah akan menjaga benteng, dan pihak yang menang ompimpah akan berupaya melewati rintangan orang, jangan sampai anggota tubuh tersentuh si penjaga, agar bisa bergerak terus sampai ujung lapangan satu. Bila lolos, maka kedudukan 1-0. Permainan kami riuh rendah, dipenuhi tawa, ejekan dan terkadang juga sorakan, sering membuat orang tua yang mungkin terganggu jelang tidur, sehingga tiba-tiba terdengar umpatan"Hoy, bubar, ribut kali kalian!"
Bahkan tak jarang orang tua datang menjemput anaknya ke arena permainan kami dengan marah-marah dan menjewer telinga anaknya karena keasykan bermain sampai pukul 23.00 WIB. Dirikupun termasuk yang sering dipanggil oleh omakku dengan lengkingan yang sangat nyaring.
Sekarang, halaman luas milik pak Silitonga, tempat kami bermain saat masa kanak-kanak sudah tak ada lagi. Sudah berdiri tiga rumah koppel disitu yang menyiratkan kesan sumpek dan sempit. Pemiliknya pun bukan keluarga Alm Pak Silitonga lagi tetapi sudah punya Alm Bang Bos (Kakak Kandung si Paradep, si Pemilik 'PARADEP TAXI Siantar)', bahkan penyewa rumah itu satupun tak kukenal lagi. Kenangan indah permaian individu dan permainan tim ala anak-anak di lingkungan kami Jalan Siatas Barita, Kelurahan Tomuan Pematang Siantar sungguh menggugah saya menulis puisi di bawah ini pada tahun 1987 saat saya kelas 3 di SMA Negeri 3 Pematangsiantar
Permainan alip cendong Permainan margala
KETIKA BULAN MENGUAK DI LANGIT
Biarkan anak-anak berkejaran
melapisi bayang-bayang tiap tubuhnya
Seperti kita bapaknya melapisi
ketakutan
pada wajah yang diam melukis kusam
Karena anak-anak bisa cerita lewat
bulan
tanah ainya lebih cantik dan
bergairah
Seperti bapanya dulu memuji ibunya
juga di bawah bulan
“Maka jangan lagi bentak anak itu”
(Cintanya pada bulan
Cintamu pada ibunya)
Puisi ini telah dimuat di Mingguan Taruna Baru
Minggu I April 1987
Tidak ada komentar:
Posting Komentar