Seperti sebuah pembelajaran, menulis puisi, tak hanya hanya soal intuisi yang datang, tetapi juga memancing intuisi datang. Pengamatan detail tiap peristiwa, melahirkan persepsi akan peristiwa. Persepsi ini tercoret-coret di kertas jadi materi pokok puisi sebelum dipindahkan lebih rapi ke mesin ketik. Ada juga beberap kali, puisi bisa tertulis rapi satu judul penuh pada kertas.
Tiada minggu pada masa 1986-1987 tanpa mengirim puisi, cerpen atau artikel ke Media. Mayoritas puisiku masih punya pertinggal di buku Agenda berupa tulisan tangan. Namun cerpen-cerpen ku, tak satupun saat ini dapat kudokumentasikan. Dulu klipingnya lengkap. Tapi tertinggal di Banjarbaru tempatku kuliah. Kabar terakhir dari kakak di sana, sudah diupayakan dicari diantara tumpukan buku tetap tak ketemu.
Di bawah ini sengaja salah satu puisiku yang pernah terbit di media berikut latar belakang peristiwa puisi tersebut tercipta
INILAH TAWA PERTAMA
(Senja di pinggiran danau Toba)
Inilah tawa
Anak bumi yang semedhi
Di atas tangis lama
Mengurut-urut nadi
Yang liat merobah situasi
Inilah tawa
Tawa dan air mata nenek
serta kakek yang senyum simpul
Senja ini sangat manis
Semanis senyum cucu
meraba-raba nikmat
Inilah tawa pertama
tawa sedikit basi
dan bau dari luka-duka semalam
Inilah tawa
tawa keriput
tawa yang bundar
tawa perempuan menimang rejeki
tawa yang terbawa dari sisa lelucon
semalam!
Puisi ini telah dimuat pada Harian Mimbar Umum
11 Januari 1987.
Puisi di atas tercipta sekitar tahun 1986, ketika kami rombongan Ikatan Penulis/Penggemar Sinar Remaja Harian SIB Cabang Pematangsiantar, antusias menghadiri Pesta Danau Toba. Di sore hari, kami bergerak naik bis ke Simpang Kawat, dekat Tiga Dolok Kabupaten Simalungun. Dari Simpang Kawat, romobongan sekitar 30 orang berjalan kaki menunju Parapat, dipimpin Bang Ranto Napitupulu. Perjalanan kerap terhenti oleh berbagai sebab. Sebutlah karena ada anggota rombongan perempuan keram kaki. Di lain momen perjalanan terhenti di pinggir jalan, karena banyak bus besar lewat berpapasan sehingga kami harus diam menepi. Atau lain ketika, saat ada satu dua orang teman cowok yang kebelet mau buang air kecil, sehingga cari semak di pinggir jalan. Uang minim, bekal seadanya, menimbulkan rasa haus dan lapar dalam perjalanan, namun cuma bisa mengumpat dalam hati. Semangat muda kami, akhirnya mampu mengantarkan seluruh rombongan sampai di gerbang Kota Parapat, tepian Danau Toba sekitar Pukul 04 subuh. Begitu tiba di emperan toko, semua teler, dan tertidur seadanya di emperan. Selama perjalanan itu, aku samar-sama aku ingat, aku selalu ada dekat ito Erris Julieatta Napitupulu (Ibunda Joshua Pangaribuan Juara III Indonesia Mencari Bakat), Yanti Siahaan, Albert Marbun, Gustaf Marpaung, Charles Purba. Sengaja aku dekat-dekat dengan perempuan karena kutahu biasanya kaum perempuan selalu menyimpan roti atau sebangsanya di tas ranselnya. Sedikit licik juga.
Di Pagi hari Pukul 06.00, kami lanjutkan berjalan kaki menuju tepi danau toba, arah ajibata. Rasa kantuk belum hilang, tapi komando pimpinan rombongan sudah terdengar. Begitu sampai di Danau Toba, ada kelegaan. Langsung cuci muka, sikat gigi dan teriak-teriak. Ada moment penting yang kuingat: Ito Erris ndak bawa sikat gigi dan dia pinjam sikat gigiku. Weleh, weleh. Moment ini melahirkan senyum dan tawaku karena lucu aku pikir dan sore, ketika kami bersiap pulang tertulislah puisi di atas.
Silahkan dikoment ya
BalasHapus