Kamis, 14 Agustus 2014

PEMBISIK-PEMBISIK SESAT





Tersebutlah Haman, yang membisikkan sesuatu yang jahat kepada Raja Ahasyweros. Bisikan yang seolah untuk keutuhan negara, tetapi sebenarnya didasari kebenciannya kepada Mordekhai Paman Ratu Ester. Haman menganggap Mordsekhai tak menunjukkan rasa hormat karena tak menundukkan muka kepada dirinya selaku Panglima Besar dengan kekuasaan sedikit saja di bawah raja. Kebencian pribadi ini hampir berujung kepada Genosida yang kesekian kali dalam sejarah hidup suatu bangsa. Raja nyaris percaya dan bertitah menyiapkan tiang gantungan. Tetapi karena Tuhan tak pernah tidur, dia menggerakkan batin Mordekhai, menggerakkan pikiran dan hati Ester untuk mengkomunikasikannya dengan raja sehingga baginda tahu duduk perkara sebenarnya. Tiang gantungan yang untuk Mordekhai akhirnya menjadi tiang gantungan untuk Haman si Pembisik sesat.


Tersebut juga seorang Jenderal brilian negeri ini bernama Tahi Bonar Simatupang yang dengan gagah berani telah turut memperjuangkan negeri ini untuk merdeka dan berdaulat. Tapi oleh karena pembisik sesat demi menjadi orang kepercayaan di sekitar Soekarno, Sang Jenderal yang sempat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang RI. harus pensiun dini tahun 1959. Pembisik-pembisik sesat telah dengan gencar menebar racun fitnah kepada Presiden sehingga Yang Mulia Tuan Presiden menganggap Sang Jenderal suka melawan perintah sehingga mereka berdua tak bisa bekerja sama lagi. Tetapi sebagaimana Tuhan membisiki Ester maka Tuhan juga membisiki Sang Letnan Jenderal sehingga meski pensiun dari dinas militer ternyata bukan berarti istirahat baginya. Pak Simatupang aktif dalam lembaga pedidikan (sempat menjadi Ketua Yayasan dan Pembinaan Manajemen) dan dalam organisasi keagamaan. Ia menjalani kehidupan reflektif di DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia) -- sekarang PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia)--.. Di DGI ., mungkin saya akan bisa memberikan sumbangan yang kecil dalam pengembangan landasan-landasan etik teologi bagi tanggung jawab Kristen di suatu masa .,'' kata Pak Sim.


Negeri Indonesia tak pernah berhenti melahirkan Jenderal pengabdi tulen kepada tanah airnya. Setelah Soedirman wafat, TB Simatupang lengser, lalu muncul kemudian LB Moerdani pada waktu dan tempat yang tepat pada tahun 1978-1983, dalam era kepemimpinan Menhankam / Pangab M. Jusuf, dimana banyak purnawirawan jenderal yang mulai kritis terhadap kepemimpinan Soeharto. KSAD aktif Jendral Widodo, yang ditunjuk pada saat Menhankam / Pangab dijabat Jenderal M. Pangabean, membentuk Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD, sebuah lembaga yang dinilai terlalu keras mengritik Soeharto. Lawan-lawan politik Presiden Soeharto mulai menampakan diri. Mereka justru berasal dari almamaternya sendiri, yaitu Angkatan Darat. Saat itulah Presiden Soeharto memang memerlukan sosok yang kuat untuk melindunginya, tetapi tidak mungkin mengkhianatinya. Benny Moerdani orang sosok yang dituju sebagai Panglima ABRI.

Pada tahun 1983-1985, Mayor Prabowo menjadi staf khusus bagi Jenderal Moerdani. Sebagai staf khusus, Mayor Prabowo melaporkan langkah-langkah pemberantasan gerakan ekstrim kanan Benny kepada mertuanya, termasuk rencana Benny untuk menjadi Presiden RI. Prabowo juga membisikkan bahwa Jenderal Moerdani juga dicurigai punya agenda untuk membersihkan ABRI dari orang-orangnya M. Jusuf. Mendengar laporan menantunya, mula-mula Presiden Soeharto tidak percaya. Tetapi berdasarkan informasi lanjutan yang didapatkan sendiri, dia akhirya percaya. Jenderal itu pun diganti mendadak dan mulai dijauhi. Hanya karena bisikan sesat seorang Mayor. Padahal Jenderal LB Moerdani ada militer tulen yang mencintai tanah airnya melebihi cintanya pada yang lain.


Pun saat ini masih ada pembisik sesat di sekitar penguasa, dari pembisik kelas Presiden, kelas menteri, kelas gubernur, kelas walikota, kelas bupati, kelas kepala dinas bahkan kelas kepala desa, sebagaimana bisikan Fathonah yang menginformasikan lezatnya komisi dari kuota sapi impor, lalu bisikan Nazaruddin betapa lezatnya margin markup hambalang, bisikan staf khusus gubernur betapa lezatnya upeti yang bisa dimainkan dari calon kepala dinas atau bisikan sesat orang-orang di sekitar gubernur yang mengancam karier seorang PNS, bisikan jahat orang dekat Kepala Dinas untuk mematikan seorang staf pengabdi tulus lainnya karena dianggap tak bisa berbagi soal margin kewenangan.


Di masa aku kuliah, seorang temanku pun pernah mengalami sakitnya dizolimi pembisik sesat di sekitar dekan, dosen dan diantara kami mahasiswa. Pembisiknya juga dari kalangan mahasiswa. Pengalaman pahitnya itu kucoba kutuangkan dalam puisi dengan mengambil simbol beberapa tanaman hutan sesuai dengan sifatnya: ada yang epifit, ada yang parasit, ada yang mutualisme, ada yang komensalisme, sebagaimana juga hubungan antara manusia. Tidak banyak puisiku yg bernafaskan idiom dan diksi berbau kehutanan. Kesedihan kawanku ketika itu memberiku inspirasi menulis puisi.


Wahyudi, salah satu sobat karibku di Fahutan Unlam berasal dari Jawa Timur sekarang dia sudah Doktor dari IPB dan menjadi dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Palangkaraya, meskipun bertempat tinggal di Banjarmasin. Kini hidupnya penuh bahagia ditemani isteri seorang dokter berbudi dan anak-anaknya.. Ketika itu dia merasa terzolimi oleh sekelompok orang tanpa alasan yg hakiki (menurutnya hanya persoalan senang atau tidak senang saja).Dia terzolimi hanya oleh karena pernyataannya dalam suatu kegiatan magang kami yang dianggap merendahkan almamater. Padahal menurutku, ucapannya itu hanya dipelintir sekelompok orang yang tak suka dengan kesuksesannya sebagai mahasiswa perantau yang unggul dalam akademik maupun organisasi. Wahyudi Ketua BPM, mahasiswa tercerdas kami, baik hati, berapi-api dan punya idealisme tinggi dianggap sebagian mahasiswa lokal sebagai ancaman untuk menjadi dosen di almamater kami. Aku dan Wahyudi berkawan akrab sebagai pribadi maupun organisasi. Bahu membahu kami menerbtikan buletin Warta Sylva hingga menjadi media kesayangan mahasiswa. Kutulis puisi ini ketika itu sebagai bagian dari nasehatku waktu itu untuk membangkitkan semangatnya. Dan syukurlah, meskipun dia tidak jadi ditempatkan sebagai dosen ikatan dinas di UNLAM tetapi dia sukses jadi dosen di Universitas Palangkaraya dan gelar Doktornya dari IPB dia raih dengan IP 4,00. Orang-orang yang menzoliminya, aku dengar berita perjalanan hidupnya kemudian ada yang tersendat sebagai bagian dari upahnya sebagai pembisik sesat.



NASEHAT KEPADA TEMANKU WAHYUDI


Dalam cadas lumutpun bisa berjambul
Dalam rahim bumi yang subur
Liana menjadi ular meneteskan segala
bisa pada mahkota Damar
Siapa yang tak kuat akan meranggas
terburai otaknya dalam persaingan segala tuba
Bung, kecemburuan ficus pada Damar
adalah kecemburuan Kain pada Abel
Dari jabang kaum ficus dihidupkan putik
Dihidupkan sari
Memagut rahim bumi, memandulkan rahim Damar

Ini juga perjuangan
Perjuangan kaum Ficus menjadi Ficus

Jadi meniadakan kaum Ficus
Harus juga dengan perjuangan!
Bila perlu Damar-Damar membentuk barisan
Memayungi rahim bumi yang subur
Lalu Ficus gelap sendiri
meraba-raba sendiri
Dan kaum liana saling memagut

           
             Banjabaru 22 Agustus 2014
             Puisi ini telah dimuat di Harian Analisa, Rabu 13 Agustus 2104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar