Selasa, 12 Agustus 2014

KEMATIAN SELALU ADA DAN SELALU MENDUKAKAN

Pada umur 5 tahun aku ingat satu peristiwa yang masih  lekat diingatanku sampai hari ini. Ibuku membeli seekor babi hitam ukuran sedang (sekitar 50 kg). Kubilang kepada bundaku: “Oma, ini babi peliharaanku kan?”. Jawab ibu: “Olo, lomom (ya, sukamulah”. Maka ketika besok paginya sekitar pukul 6 pagi kudengar ada suara ringkihan babi seperti kesakitan, aku pun melompat dari tempat tidurku dan berlari kesatu arah. Ya, ke arah kandang babi hitamku. Dari beberapa jarak, kulihat ada orang pegang pisau, maka reflek, kuambil balok dan berlari ke arah pemegang pisau. Sebelum balok itu menghantam kepala pemegang pisau, tiba-tiba ada orang memegang tanganku kuat-kuat sehingga kepala orang itu tak terhantam. Aku meronta, tapi sia-sia tenaga kecil. Para tamu di rumahku riuh. Pak Tua Ralin, yang hendak kubalok itu terdiam sesaat. Itulah pertama aku meronta, menangis dan berduka melihat kematian. Kematian babi hitamku yang kuanggap peliharaan kesayangan, harus disembelih untuk acara kumpul keluarga besar karena adik bapaku (Pak Uda Lindung) pulang merindu dari Singkawang.
      Pada umur 7 tahun, aku menyenangi memelihara bermacam binatang. Seperti semangat anak-anak, nafsu pelihara besar, tetapi sesungguhnya lebih kepada niat menjadikan binatang itu hanya mainan selayaknya pistol-pistolan buat anak lelaki atau boneka buat anak perempuan. Maka di suatu ketika, aku merengek kepada ayahku minta dibelikan anak ayam. Dengan senjata air mata, ngambek dan raungan. Bapaku pun luluh. Dibelikannya 5 ekor DOC ayam potong. Gembiraku tak kepalang. Tiap hari kusediakan minumnya, kuberi makan beras. Tetapi anak ayam, walau masih kecil, sudah punya tabiat memberontak mencari kebebasan. Satu dua ekor ayam, berupaya tiap hari melompat dari kotaknya hingga berhasil. Tetapi pencarian kebebasan mereka berakhir sia-siaa, Mereka kemudian ada yang masuk parit dan mati, Ada satun ekor berlari ke sana-kemari lalu digigt anjing. Mati juga. Hingga tinggallah satu ekor dengan besar segenggam tangan anak remaja. Ayam yang tinggal seekor ini kusayang berlebihan karena kuanggap sebatangkara. Tiap malam kubawa ke tempat tempat tidur, satu peraduan dengan aku dan saudari-saudariku. Namun di suatu pagi, biasanya dia mematuk tanganku, tapi pagi itu tak kurasakan. Kucari ke sudur kiri, tak ada. Di sudut kanan, tak ada. Kusingkap selimutku; Astaga, ayam itu sudah mati menegang, tertindih badan ku rupanya malam harinya. Aku meraung, menangis sekencang-kencangnya. Menyalahkan Ayahku menyalahkan ibuku yang tak memeriksa tadi malam, menyalahkan adikku perempuan yang kutuduh telah menindih ayam itu. Itulah tangis keduaku tentang kematian.
             Pada kelas 4 SD, aku punya anjing kesayangan, namanya Kemon. Kusebut nama itu berasal dari kata ‘Co me on” hasil belajar bahasa Inggris dari kakakku Lince yang kuliah di FKIP Nommensen Pematang Siantar. Nama itu jadi nama anjingku karena setiap aku bekata 'Kemon", dia akan berlari ke arahku dengan ekor dikibas-kibasnya, lidah menjulur dan tak lupa menjilati tangan dan kakiku. Si Kemon adalah anjing betina yang sangat produktif melahirkan. Sebagian anaknya kujual, satu dua ekor dibesarkan menemaninya. Kemon ini termasuk anjing unik. Jika sebagian besar anjing melahirkan biasanya  sangat ganas apabila ada yang memegang anaknya. Tapi tidak dengan Kemon. Dia tahu siapa tuannya, dia tahu siapa yang serumah dengannya. Maka ketika kakakku, atau adikku perempuan sengaja iseng mempermainkan Kemon, seolah-olah mau mengambil anaknya, Kemon tak menerjang, mengaum atau menggigit. Dia selalu berlari padaku. Menggaruk-garukkan kukunya ke badanku dan melompat-lompat, lalu berlari gelisah, melengking minta dikasihani dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Sepertinya minta tolong agar aku mengambilkan anaknya yang dipegang saudariku untuk dikembalikan ke tempatnya. Kepintaran Kemon yang lain: Jika kujulurkan tangan minta salam, maka dia pun minta salam. Jika ku bermain ke luar rumah, dia pun maunya ikut mengawal walau kularang. Demikian kedekatanku dengan anjing kampungku ini. Namun di suatu ketika, Kemon menghilang tiga hari. Saat itu dia hamil besar dan bakal melahirkan buat yang keempatkali. Kucari ke banyak tempat di sekitar gang kami, tidak ketemu, hingga suatu saat, kulihat di parit besar di jalan Siatas Barita di depan rumah Pak Tua Panggetong, ada seonggok sosok mengambang di parit itu. Dadaku berdesir, tangisku meledak. Itu Kemon kataku. Kemon telah mati. Cerita dari Mak Tua Panggetong, Kemon ditabrak mobil. Aku berduka untuk hewan peliharaan untuk yang ketiga kalinya.
            Tahun 1991, sepulang dari Magang di HPH 4 bulan, aku berkesempatan pulang dari Banjarbaru Kalimantan Selatan ke rumah orangtua di Pematang Siantar. Aku menemukan nenekku (boru simanjuntak) mamanya mamakku (berumur 99 tahun ketika itu) sudah merasakan keletihan hidup. Hingga seminggu aku di Siantar, keluarlah ucapannya kepada Bapa dan Mamakku: "Antarkanlah aku pulang ke kampungku di Natolutali Kecamatan Sitorang, Taput. Waktuku sudah dekat. Karena tiap malam Bapa dan Mamakku sudah datang menjemput aku biar jangan repot kalian nanti".
        Awalnya orang tuaku keberatan karena membayangkan di kampung tidak akan ada yg mengurusnya se telaten di Siantar. Tetapi setelah seminggu berturut-turut dia sampaikan permintaan itu, maka Bapa dan Mamaku luluh. Dicarter Bapakku lah mobil dan aku, orang tuaku dan dua adikku perempuan turut mengantar nenekku (ompung) ke kampungnya dan membawa aneka makanan untuk keluarga besan Bapakku. Dan ternyata benar, satu bulan setelah diantar, Ompungku kembali menghadapNya dengan tenang. Padahal besoknya aku sudah harus kembali ke Kalimantan Selatan. Tiket kapal laut (Kambuna) ke tanjung priok pun telah kubeli, koperku pun sudah ku isi baju. Ompungku tak rela, bila aku tak menghadiri pemakamannya. Maka besoknya tiket itu kubatalkan ke PELN di Medan, agar aku bisa menyusul bapa dan mamakku ke Natolutali (darah seniku mengalir dari ompungku itu karena dia sangat pintar mendongeng. Zaman SMA ku tiap malam ia mendongeng. aku ingat beberapa diantaranya: Si Tapi Omas Palakki, Ultop ni si Jonaha, Simamora na Oto, Legenda Sitombom. Selalu diaturnya per setengah jam seperti cerita bersambung, biar aku bisa tidur jam 10 malam. dan ompungku adalah Putri Raja Ihutan Simanjuntak dari Sigumpar)

       Kesedihanku yang mendalam ketika itu (bahkan sampai pemakaman pun air mataku meleleh) melahirkan puisi di bawah ini.

Foto: Bapakku pun Menghadap Tuhan. Setelah bundaku membisikkan di telinganya keikhlasannya. Bapakku J Marpaung (Oppu Ganda Doli).
  
ISTIRAHATLAH DENGAN DAMAI
(Immemoriam Nenekku)

Tiba juga waktu itu
dongeng tua, perempuan tua kan pulang
pergi sendiri, menuju tanah Adam
di negeri ‘mana’
genaplah tiap amanat diturunkan

‘Dongeng tua, perempuan tua yang rapuh
berjalan di keterasingan
Aih, dukanya si buyung menitis mata kakeknya
Perempuan tua, senyumnya hitam!
dongeng tua ini bukan miliknya, besok
Ibu si Buyung yg punya

Meskipun dongeng ini dongeng tua dan selalu ada
duka si Buyung di matanya luluh
perempuan tua kan berjalan sendiri?
dongeng tua, negeri mana tak punya batas
negeri mana tak punya akhir
perempuan tua tak ada perhentian
(Si Buyung membesar dukanya)
di pundaknya perempuan tua punya perhentian

Ketika si Buyung di tepuk bapanya
dukanya berhamburan
dongeng tua, dongeng tua
kemana perempuan tua

Puisi ini telah diudarakan di Radio Bahana Nirmala Martapura

8 Agustus 1991

Foto: Tabo nai oppung nami on, nungga pajumpang dohot Tuhan Yesus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar