Pada umur 5 tahun aku ingat satu peristiwa yang masih lekat
diingatanku sampai hari ini. Ibuku membeli seekor babi hitam ukuran sedang (sekitar
50 kg). Kubilang kepada bundaku: “Oma, ini babi peliharaanku kan?”. Jawab ibu:
“Olo, lomom (ya, sukamulah”. Maka ketika besok paginya sekitar pukul 6 pagi
kudengar ada suara ringkihan babi seperti kesakitan, aku pun melompat dari
tempat tidurku dan berlari kesatu arah. Ya, ke arah kandang babi hitamku.
Dari beberapa jarak, kulihat ada orang pegang pisau, maka reflek, kuambil balok
dan berlari ke arah pemegang pisau. Sebelum balok itu menghantam kepala
pemegang pisau, tiba-tiba ada orang memegang tanganku kuat-kuat sehingga kepala
orang itu tak terhantam. Aku meronta, tapi sia-sia tenaga kecil. Para tamu di rumahku riuh. Pak Tua Ralin, yang hendak kubalok itu terdiam sesaat. Itulah
pertama aku meronta, menangis dan berduka melihat kematian. Kematian babi hitamku
yang kuanggap peliharaan kesayangan, harus disembelih untuk acara kumpul
keluarga besar karena adik bapaku (Pak Uda Lindung) pulang merindu dari Singkawang.
Pada umur 7 tahun, aku menyenangi memelihara bermacam binatang. Seperti
semangat anak-anak, nafsu pelihara besar, tetapi sesungguhnya lebih kepada niat
menjadikan binatang itu hanya mainan selayaknya pistol-pistolan buat anak lelaki
atau boneka buat anak perempuan. Maka di suatu ketika, aku merengek kepada
ayahku minta dibelikan anak ayam. Dengan senjata air mata, ngambek dan raungan.
Bapaku pun luluh. Dibelikannya 5 ekor DOC ayam potong. Gembiraku tak kepalang. Tiap hari
kusediakan minumnya, kuberi makan beras. Tetapi anak ayam, walau masih kecil,
sudah punya tabiat memberontak mencari kebebasan. Satu dua ekor ayam,
berupaya tiap hari melompat dari kotaknya hingga berhasil. Tetapi pencarian
kebebasan mereka berakhir sia-siaa, Mereka kemudian ada yang masuk parit dan
mati, Ada satun ekor berlari ke sana-kemari lalu digigt anjing. Mati juga. Hingga tinggallah
satu ekor dengan besar segenggam tangan anak remaja. Ayam yang tinggal seekor ini
kusayang berlebihan karena kuanggap sebatangkara. Tiap malam kubawa ke tempat
tempat tidur, satu peraduan dengan aku dan saudari-saudariku. Namun di suatu
pagi, biasanya dia mematuk tanganku, tapi pagi itu tak kurasakan. Kucari ke sudur
kiri, tak ada. Di sudut kanan, tak ada. Kusingkap selimutku; Astaga, ayam itu
sudah mati menegang, tertindih badan ku rupanya malam harinya. Aku meraung, menangis
sekencang-kencangnya. Menyalahkan Ayahku menyalahkan ibuku yang tak memeriksa tadi malam,
menyalahkan adikku perempuan yang kutuduh telah menindih ayam itu. Itulah tangis
keduaku tentang kematian.
Pada kelas 4 SD, aku
punya anjing kesayangan, namanya Kemon. Kusebut nama itu berasal dari kata ‘Co
me on” hasil belajar bahasa Inggris dari kakakku Lince yang kuliah di FKIP
Nommensen Pematang Siantar. Nama itu jadi nama anjingku karena setiap aku
bekata 'Kemon", dia akan berlari ke arahku dengan ekor dikibas-kibasnya, lidah
menjulur dan tak lupa menjilati tangan dan kakiku. Si Kemon adalah anjing
betina yang sangat produktif melahirkan. Sebagian anaknya kujual, satu dua ekor dibesarkan menemaninya. Kemon ini termasuk anjing unik. Jika sebagian besar anjing melahirkan biasanya sangat ganas apabila ada yang memegang anaknya. Tapi tidak dengan
Kemon. Dia tahu siapa tuannya, dia tahu siapa yang serumah dengannya. Maka
ketika kakakku, atau adikku perempuan sengaja iseng mempermainkan Kemon,
seolah-olah mau mengambil anaknya, Kemon tak menerjang, mengaum atau menggigit.
Dia selalu berlari padaku. Menggaruk-garukkan kukunya ke badanku dan melompat-lompat, lalu berlari gelisah, melengking minta dikasihani dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Sepertinya minta
tolong agar aku mengambilkan anaknya yang dipegang saudariku untuk dikembalikan
ke tempatnya. Kepintaran Kemon yang lain: Jika kujulurkan tangan minta salam,
maka dia pun minta salam. Jika ku bermain ke luar rumah, dia pun maunya ikut
mengawal walau kularang. Demikian kedekatanku dengan anjing kampungku ini.
Namun di suatu ketika, Kemon menghilang tiga hari. Saat itu dia hamil besar dan
bakal melahirkan buat yang keempatkali. Kucari ke banyak tempat di sekitar gang kami, tidak
ketemu, hingga suatu saat, kulihat di parit besar di jalan Siatas Barita di depan
rumah Pak Tua Panggetong, ada seonggok sosok mengambang di parit itu. Dadaku
berdesir, tangisku meledak. Itu Kemon kataku. Kemon telah mati. Cerita dari Mak
Tua Panggetong, Kemon ditabrak mobil. Aku berduka untuk hewan peliharaan untuk
yang ketiga kalinya.
Tahun 1991, sepulang
dari Magang di HPH 4 bulan, aku berkesempatan pulang dari Banjarbaru Kalimantan
Selatan ke rumah orangtua di Pematang Siantar. Aku menemukan nenekku (boru
simanjuntak) mamanya mamakku (berumur 99 tahun ketika itu) sudah merasakan
keletihan hidup. Hingga seminggu aku di Siantar, keluarlah ucapannya kepada
Bapa dan Mamakku: "Antarkanlah aku pulang ke kampungku di Natolutali
Kecamatan Sitorang, Taput. Waktuku sudah dekat. Karena tiap malam Bapa dan
Mamakku sudah datang menjemput aku biar jangan repot kalian nanti".
Awalnya orang tuaku keberatan
karena membayangkan di kampung tidak akan ada yg mengurusnya se telaten di
Siantar. Tetapi setelah seminggu berturut-turut dia sampaikan permintaan itu,
maka Bapa dan Mamaku luluh. Dicarter Bapakku lah mobil dan aku, orang tuaku dan
dua adikku perempuan turut mengantar nenekku (ompung) ke kampungnya dan membawa
aneka makanan untuk keluarga besan Bapakku. Dan ternyata benar, satu bulan
setelah diantar, Ompungku kembali menghadapNya dengan tenang. Padahal besoknya
aku sudah harus kembali ke Kalimantan Selatan. Tiket kapal laut (Kambuna) ke
tanjung priok pun telah kubeli, koperku pun sudah ku isi baju. Ompungku tak
rela, bila aku tak menghadiri pemakamannya. Maka besoknya tiket itu kubatalkan
ke PELN di Medan, agar aku bisa menyusul bapa dan mamakku ke Natolutali (darah
seniku mengalir dari ompungku itu karena dia sangat pintar mendongeng. Zaman
SMA ku tiap malam ia mendongeng. aku ingat beberapa diantaranya: Si Tapi Omas
Palakki, Ultop ni si Jonaha, Simamora na Oto, Legenda Sitombom. Selalu
diaturnya per setengah jam seperti cerita bersambung, biar aku bisa tidur jam
10 malam. dan ompungku adalah Putri Raja Ihutan Simanjuntak dari Sigumpar)
Kesedihanku yang mendalam ketika
itu (bahkan sampai pemakaman pun air mataku meleleh) melahirkan puisi di bawah
ini.
ISTIRAHATLAH DENGAN DAMAI
(Immemoriam Nenekku)
Tiba
juga waktu itu
dongeng
tua, perempuan tua kan pulang
pergi
sendiri, menuju tanah Adam
di
negeri ‘mana’
genaplah
tiap amanat diturunkan
‘Dongeng
tua, perempuan tua yang rapuh
berjalan
di keterasingan
Aih,
dukanya si buyung menitis mata kakeknya
Perempuan
tua, senyumnya hitam!
dongeng
tua ini bukan miliknya, besok
Ibu
si Buyung yg punya
Meskipun
dongeng ini dongeng tua dan selalu ada
duka
si Buyung di matanya luluh
perempuan
tua kan berjalan sendiri?
dongeng
tua, negeri mana tak punya batas
negeri
mana tak punya akhir
perempuan
tua tak ada perhentian
(Si
Buyung membesar dukanya)
di
pundaknya perempuan tua punya perhentian
Ketika
si Buyung di tepuk bapanya
dukanya
berhamburan
dongeng
tua, dongeng tua
kemana
perempuan tua
Puisi ini telah diudarakan di Radio Bahana
Nirmala Martapura
8 Agustus 1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar