Bapakku lahir di sebuah
kampung (huta dalam bahasa Batak) bernama Sipallat. Sekarang ini Sipallat masuk
Desa narumonda VIII Kecamatan Siantar Narumonda (Dulu Kec Porsea) Kabupaten Toba Samosir (Hasil pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara). Bapakku dulu
hanya sempat mengecap sekolah HIS sampai Kelas 3 di Tarutung meskipun kakek dan nenekku menginginkan dia sampai MULO bahkan HBS. Tapi kedatangan
Dai NIPPON Bangsat telah membuyarkan cita-cita Bapakku lulus HIS. Cita-citanya menjadi Amtenaar buyar, rakyat sekitar Residen Tapanuli menderita.
Banyak kerja
telah dilakoninya dalam menjalani hidup. Bagiku, dia laki-laki yang sangat
bertanggung jawab untuk memberikan hidup berkualitas bagi anak-anaknya. Setiap jam 20.00 sampai jam 21.00 WIB sehabis makan malam, dia sudah ambil kapur dan menuliskan huruf-huruf, angka, lalu kata, lalu penjumlahan, pembagian dan perkalian sederhana di papan tulis. Aku pun mulai diajarnya. Hal ini dia lakoni selama 1 tahun kepadaku. Sehingga meski aku tak pernah merasakan jadi murid TK, namun berkat ajaran baca tulis bapaku sejak diumurku 5,5 diriku sudah dapat membaca, mengenal angka, berhitung sederhana. Hal ini mendapat pujian Ibu Simanungkalit wali kelasku di masa kelas 1 SD yang sangat terkejut melihatku telah bisa membaca, menulis, mengenal dan menghitung sederhana.
Bahkan Ketika suatu masa SMA aku jatuh sakit dan menurut mitos batak karena aku 'tarhirim" yaitu suatu kondisi yg menyebabkan seseorang sakit karena hasrat tak sampai, bapaku ternyata begitu memperhatikan. Ayahku tahu benar aku mengidamkan mesin ketik untuk menyalurkan hobby menulisku. Namun tak pernah berani meminta terang-terangan kepada bapaku untuk membelikannya. Aku sadar pada masa-masa itu kami cuma keluarga sederhana yang tidak punya tabungan berjuta-juta rupiah
Bahkan Ketika suatu masa SMA aku jatuh sakit dan menurut mitos batak karena aku 'tarhirim" yaitu suatu kondisi yg menyebabkan seseorang sakit karena hasrat tak sampai, bapaku ternyata begitu memperhatikan. Ayahku tahu benar aku mengidamkan mesin ketik untuk menyalurkan hobby menulisku. Namun tak pernah berani meminta terang-terangan kepada bapaku untuk membelikannya. Aku sadar pada masa-masa itu kami cuma keluarga sederhana yang tidak punya tabungan berjuta-juta rupiah
Hingga pada suatu sore di puncak rasa sakit bisul di kakiku yg mendekati meletus bagai gunung api, ayahku kulihat datang naik sepeda sederhananya. di sadel belakang sepeda itu terlihat sesuatu kotak hitam terikat rapi. Kuamati lamat-lamat ketika dia sudah mendekat. Kutanya dia dan bapaku cuma tersenyum. Begitu tali pengikat kotak itu dilepas, dan benda itu diserahkan padaku, kutahulah itu mesin ketik idamanku bermerek Royal yang dibeli ayahku dari pusat kota di Jalan Sutomo kota
Pematang Siantar, meskipun barang seken tapi bagus sekali. Satu jam setelah aku pegang mesin ketik itu, bisulku pecah, rasa nyeri hilang menjadi kelegaan. Aku Bangga punya ayah seperti dia, dan bertekad membalas kebaikannya dengan karyaku yang bermutu.
Besoknya setiap pagi Jam 6 pagi kembali ayahku sudah tangtingtung memukul-mukul lahar, as,
dan onderdil lainnya buat dipermak untuk dijual kembali mencari uang untuk keperluan hidup sekeluarga. Sore jam 5 sepulang
dari keliling kota mencari bahan baku, diapun punya kebiasaan lagi tangtingtung untuk
memperbaiki gardan agar bisa dijual dengan harga 300% dari modal kepada juragan
kapal ikan di Tanjung Balai. Itulah rutinitas kerja yang tak habis-habis puluhan tahun, yang hanya dihentikannya sejenak jika ada handai tolan punya hajatan atau kemalangan yang mengharuskan dia hadir. Dan ayahku sangat menghotmati setiap undangan pesta adat yang disampaikan kepadanya. Tak hanya di sekitar kota Pematang Siantar tetapi sampai ke Tapanuli Utara dan kabupaten lainnya. Kegigihan tanpa rasa malu, kegigihan tanpa memikirkan
baju parlente untuk dirinya tetapi masih menyempatkan diri dalam sosialisasi adat mengapresiasiku menulis puisi ini untuk dirinya:
Bunda dan almarhum ayahku tercinta
K E R J A
Menangkap angin di seberang pusat kebun kakek
Suara cangkul menderak tulang pangkal bumi
Tanah hitam, anak-anak pribumi
Semangat ini telah bangun kemenangan
Itu suara letih
Itu batuk berdahak
Itu tulang rapuh mendebar hening malam
bapakku pun bangun isi perut
Puisi ini telah dimuat di Harian Bukit Barisan
21 Desember 1986
21 Desember 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar