Ibu, apa kabarmu?
Masihkah tangismu sama seperti di awal engkau menjadi ibu kami? Bersusah hati dan berlinang air mata karena malaise 1000% inflasi itu? Atau laramu masih sama seperti berpuluh tahun lalu ketika beras hilang tapi berlimpah di pasar gelap, atau lara kuda gigit besi yang melahirkan para catut dan spekulan? Atau laramu menggunung karena kawan-kawan Thahir dan Kartika masih menimbun dollar Permina atau Migas di Singapura sambil terbahak di ranjang hotel makan steak, keju dan sosis lalu mengatur persekongkolan baru lagi, semenntara orang desa disuruh menekan ikat pingang ketat-ketat sampai kentutnya pun tak tersisa?
Kami melihat ibu.
Namun, Seberapa banyak anak cucumu yang susah hati, tak bisa kujumlah dengan angka absolut. Karena anak-anakmu yang amtenaar terbiasa mengajar kami soal prediksi, asumsi dan persentase dan grafik abstrak. Maafkan aku, ibu jika kusebut pantas kau bersusah hati. Hutan, gunung, sawah lautan seluruh simpanan kekayaan mestinya mendatangkan tawa bahagia kita dan bisa meneriakkan nikmatinya hidup di negeri 'gemah ripah loh jenawi'. Tetapi kenyataannya kita bertambah tua selama 69 tahun dengan paranoid, shizoprenia dan deja vu adil makmur berulang sejak zaman PKI Muso, dari zaman G30S PKI, zaman PRRI Permesta, zaman DII TII, Zaman Orde Baru, bahkan utopia reformasi dan sumpah serapah anak-anak yang semakin berani. Padahal di tahun 45 kita bisa sehati sepikir seperti imamat yang rajani, meniadakan perbedaan, menyepakati kebenaran bersama mesti tak punya tabungan melimpah. Karena memang saat itu semua anak-anakmu sama derajatnya, tinggi kebanggaan dan cintanya pada Ibu dan tak ingin mengkhianatimu. Meski ibu tak punya panen hutan dan minyak, meski ibu cuma beri sepeda, andong, delman, sepatu karet dan kain tetoron tetapi seluruh anakmu berlimpah panen keyakinan dan semangat menjalani masa depan karena tak ada yang berkhianat untuk menjadi lebih kaya dari yang lain. Sekarang engkau pasti iri, melihat anak-anak Singapura dan malaysia berak dan buang sampah di Batam dan Papua dan ibu mereka si Nyonya Singapura dan Emak Malaysia menikmati mandi sauna berdinding kayu damar dari lahanmu. Sedang dirimu masih diganduli anak dewasa rakus menyusu. Laramu makin menggunung.
Anakmu, sejak anak pertama, kedua, bahkan yang sekarang anakmu ke-6 selalu mengulang bual retorika yang sama, lagu nina bobo pengantar tidur yang lapar, perkasa Gajah Mada, Makmur Hayam Wuruk, Gagah Laksamana Hang Tuah dan rindu genapnya nubuat Joyoboyo dan Ronggowarsito. Mereka tiap tanggal 16 Agustus mendongeng Pertumbuhan perkapita ke atas mesti semua tahu tumbuh ke atas itu bak anak kurus, tinggi langsing kurang gizi tapi mereka dalilkan itu ciri sukses anak kota. Padahal semua tahu, sosok kurus tinggi dan menonjol tulangnya hanya memancing air lur serigala. Tetapi lagi-lagi mereka klaim itu kebanggaan fenotipe. Katanya yang tinggi gampang melihat dan dilihat dari tugu monas, dari menara eiffel, dari patung liberty atau kalau perlu dari menara babel. Tetapi mereka lupa bahwa mesti kayu jati atau meranti harus meninggi dulu, tetapi akan semakin berharga mahal ketika diameter riap pinggangnya tumbuh juga normal lalu menghasilkan volume optimal. Bahkan anakmu yang ke-6 ini tak bisa lepas dari ilmu ajar anakmu ke-2 si pemelihara mafia Barkley dalam memprediksi Asumsi makro ekonomi. Lihatlah pada APBNP Tahun 2013 yang 6,3% ternyata cuma 5,9%. Lalu laju inflasi yang dia kawal 7,2%, meluap menjadi 9,2%. Dan celakanya, dia menghapus cerita itu dari kalimat dongengnya tanggal 16 Agustus lalu untuk Rencana tahun depan. Dia hapus ihwal perkembangan diameter pinggang anak cucumu banyak yang semakin mengerdil. Padahal pemotongan anggaran jelas-jelas ada dipaksakan. Kesenjangan Indeks Gini kelas bawah, menengah dan atas semakin menjadi, menjauhi angka nol dari 0,37, 0,38, 0,39, 040. Artinya, ada keturunanmu yang berpesta pora tiap malam dalam jumlah sedikit bahkan merasa bisa membeli kekuasaan dan raja, mengatur skenario surga dan neraka dengan uangnya. Di sebalik itu ada yang meraung kelaparan dalam jumlah lebih banyak, bahkan tak tak tahu masa depannya, apa masih bisa bernafas merdeka atau tidak. Mereka ada 30 Juta orang terancam mati kalau tak memaksa menjadi pekerja informil, copet atau peminta-minta walaupun harus siap digaruk bahkan mati karena pentungan, belati dan pistol karena pemeliharaan amtenaar dalam traktat masih sebatas janji. Efek tetesan madu Trickle Down tak kunjung sampai ke jelata. Ada 50% anakmu yang bisa saja menjadi mati kalau 7 penguasa negeri seberang yang kaya beserta sekondan mafianya mengutak-atik definisi layak hidup minimal.
Namun, Seberapa banyak anak cucumu yang susah hati, tak bisa kujumlah dengan angka absolut. Karena anak-anakmu yang amtenaar terbiasa mengajar kami soal prediksi, asumsi dan persentase dan grafik abstrak. Maafkan aku, ibu jika kusebut pantas kau bersusah hati. Hutan, gunung, sawah lautan seluruh simpanan kekayaan mestinya mendatangkan tawa bahagia kita dan bisa meneriakkan nikmatinya hidup di negeri 'gemah ripah loh jenawi'. Tetapi kenyataannya kita bertambah tua selama 69 tahun dengan paranoid, shizoprenia dan deja vu adil makmur berulang sejak zaman PKI Muso, dari zaman G30S PKI, zaman PRRI Permesta, zaman DII TII, Zaman Orde Baru, bahkan utopia reformasi dan sumpah serapah anak-anak yang semakin berani. Padahal di tahun 45 kita bisa sehati sepikir seperti imamat yang rajani, meniadakan perbedaan, menyepakati kebenaran bersama mesti tak punya tabungan melimpah. Karena memang saat itu semua anak-anakmu sama derajatnya, tinggi kebanggaan dan cintanya pada Ibu dan tak ingin mengkhianatimu. Meski ibu tak punya panen hutan dan minyak, meski ibu cuma beri sepeda, andong, delman, sepatu karet dan kain tetoron tetapi seluruh anakmu berlimpah panen keyakinan dan semangat menjalani masa depan karena tak ada yang berkhianat untuk menjadi lebih kaya dari yang lain. Sekarang engkau pasti iri, melihat anak-anak Singapura dan malaysia berak dan buang sampah di Batam dan Papua dan ibu mereka si Nyonya Singapura dan Emak Malaysia menikmati mandi sauna berdinding kayu damar dari lahanmu. Sedang dirimu masih diganduli anak dewasa rakus menyusu. Laramu makin menggunung.
Anakmu, sejak anak pertama, kedua, bahkan yang sekarang anakmu ke-6 selalu mengulang bual retorika yang sama, lagu nina bobo pengantar tidur yang lapar, perkasa Gajah Mada, Makmur Hayam Wuruk, Gagah Laksamana Hang Tuah dan rindu genapnya nubuat Joyoboyo dan Ronggowarsito. Mereka tiap tanggal 16 Agustus mendongeng Pertumbuhan perkapita ke atas mesti semua tahu tumbuh ke atas itu bak anak kurus, tinggi langsing kurang gizi tapi mereka dalilkan itu ciri sukses anak kota. Padahal semua tahu, sosok kurus tinggi dan menonjol tulangnya hanya memancing air lur serigala. Tetapi lagi-lagi mereka klaim itu kebanggaan fenotipe. Katanya yang tinggi gampang melihat dan dilihat dari tugu monas, dari menara eiffel, dari patung liberty atau kalau perlu dari menara babel. Tetapi mereka lupa bahwa mesti kayu jati atau meranti harus meninggi dulu, tetapi akan semakin berharga mahal ketika diameter riap pinggangnya tumbuh juga normal lalu menghasilkan volume optimal. Bahkan anakmu yang ke-6 ini tak bisa lepas dari ilmu ajar anakmu ke-2 si pemelihara mafia Barkley dalam memprediksi Asumsi makro ekonomi. Lihatlah pada APBNP Tahun 2013 yang 6,3% ternyata cuma 5,9%. Lalu laju inflasi yang dia kawal 7,2%, meluap menjadi 9,2%. Dan celakanya, dia menghapus cerita itu dari kalimat dongengnya tanggal 16 Agustus lalu untuk Rencana tahun depan. Dia hapus ihwal perkembangan diameter pinggang anak cucumu banyak yang semakin mengerdil. Padahal pemotongan anggaran jelas-jelas ada dipaksakan. Kesenjangan Indeks Gini kelas bawah, menengah dan atas semakin menjadi, menjauhi angka nol dari 0,37, 0,38, 0,39, 040. Artinya, ada keturunanmu yang berpesta pora tiap malam dalam jumlah sedikit bahkan merasa bisa membeli kekuasaan dan raja, mengatur skenario surga dan neraka dengan uangnya. Di sebalik itu ada yang meraung kelaparan dalam jumlah lebih banyak, bahkan tak tak tahu masa depannya, apa masih bisa bernafas merdeka atau tidak. Mereka ada 30 Juta orang terancam mati kalau tak memaksa menjadi pekerja informil, copet atau peminta-minta walaupun harus siap digaruk bahkan mati karena pentungan, belati dan pistol karena pemeliharaan amtenaar dalam traktat masih sebatas janji. Efek tetesan madu Trickle Down tak kunjung sampai ke jelata. Ada 50% anakmu yang bisa saja menjadi mati kalau 7 penguasa negeri seberang yang kaya beserta sekondan mafianya mengutak-atik definisi layak hidup minimal.
Maaf ibu, akhirnya kita tertimpa tambahan utang ribuan triliun rupiah yang tak bisa dibagi nikmat. Engkau dan aku mesti pasrah dengan pemotongan anggaran tiap tahun dengan dalih optimalisasi, karena anak-anakmu yang sudah sarjana ini katanya tak mampu mencari ladang minyak baru, tak mampu bikin pabrik besar padat karya yang terlanjur dijanjikan, tak mampu menjadi bupati, walikota, gubernur yang membuat listrik tetap menyala 24 jam, tak mampu mendatangkan investasi yang memberi harapan nyata buat pengangguran. Mereka terbiasa memakai teropong dan loop dari meja kantornya untuk melihat nanah dan borok di Sabang sampai Merauke lalu merangkainya jadi kalimat-kalimat membingungkan. Malah sebagian anakmu yang amtenaar ini mencari rente lewat utak-atik tata ruang, tukar guling lahan, catatan pengeluaran eksplorasi tanpa eksploitasi yang mesti dibayar, pinjam pakai lahan dan tumpang tindih lahan bahkan bantuan sosial buat yang terdampar karam hidupnya. Sementara sawah ladang di desa kita berkurang. Lihatlah, presentase pengurangan sawah irigasi teknis/semi teknis sebesar 65,91% di Jawa hanya dalam kurun waktu 2007-2010. Warisanmu luas Bu, tetapi mengapa sawah harus diakuisi juga? Sedangkan kebutuhan beras yang kutahu untuk cucumu tetap bertambah dari 13.507.140 ton tahun 1970 menjadi 35.675.910 ton tahun 2005. Bahkan akuisisi sawah dalam jumlah dan praktek teknologi telah menggelandangkan anak perempuanmu mengembara jadi buruh ketika bernasib baik dan ketika sialnya tiba, dipaksa melacur di kota karena ani-ani tak dibutuhkan lagi. Pabrik yang dijanjikan berbasis desa entah kapan ditibakan. Cukup jetor, pupuk kimia, pestisida, tengkulak dan tuan tanah menyelesaikan semua perkara transaksi padi. Sekarang 57,8% keturunanmu cuma punya lahan 0,018 Ha/kapita, Sebanyak 38% bahkan tak punya apa-apa hanya mendapat beras menjadi buruh tani di desanya sendiri. Cuma 4,2%/ yang punya lebih 0,5 Ha/kapita lahan. Tetapi aku yakin sebagian besar tuan tanah ini pasti tinggal di kota dan mereka buknlah petani murni.
Ibu, kubaca sejarahmu dari buku 1926 dan buku 1928 ketika kekasihmu bersumpah. Di masa gadismu itu sudah kau pesankan kepada pemuda yang melamarmu, bahwa cintanya kau terima jika bersatu dalam bangsa dan bahasa pertiwi yang satu: yaitu bahasa kasih semesta yang melampaui batas egoisme batak, java, celebes, sumatera, kalimantan, islamiten dan kristen ke dalam tubuh Indonesia bukan tubuh radikal pencerca. Tetapi mengapa pula dari dekat rumah besarmu di Jakarta, beberapa keturunanmu (yang kuyakin bukan keturunan hasil selingkuhmu tapi juga anak sahmu) mulutnya berbuih, pikirannya dirusak dengki, amarah, dendam mau merobek sumpah itu. Bahkan dengan gaya anak muda vandalisme mencoret-coret 'airbrush' Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa, menyerukan dalil-dalil darah intoleran, berperang di belantara fatamorgana seolah ada dendam tak tuntas entah mencuplik dari buku resmi mana. Delapan kali mereka melakukan kekerasan dan amtenaar mendiamkan saja perilaku mereka seperti tak membahayakan walau sudah ada terlunta yang memuji Tuhannya di depan rumah besarmu, tercabut jiwanya bukan oleh Tuhan tapi karena dajjal. Dan anak radikalmu seperti tak punya rasa takut memiankan pentungan, makian. Mereka merasa pikiran dan jalan Tuhan mesti mengikut a lif ba ta nya yang masih terbata. Lupa Tuhan itu Causa Prima, tak perlu dibela, dilindungi karena Dia zat yang yang menyebabkan bukan disebabkan, Dia tak bisa digenggam, diraba, diintimidasi, dikerangkeng bahkan tak bisa didefinisikan akal pikir. Apakah mereka pura-pura lupa?
Ibu, maafkan kami keturunanmu! Janganlah sampai turun putus asamu, jangan pula sampai kau cubit sendiri lambiak mu (bahasa batak: artinya kulit pinggul) dengan kutuk tangis seperti ibu menyumpahi Sampuraga dan si Mardan yang menjadi batu karena sesalmu yang teramat dalam.
Hotel Majapahit dulu terkenal sebagai Hotel Yamato
Tempat heroik mempertahankan Indonesia yang satu
ORANG KAYA DAN ORANG NESTAPA
Ada orang kaya di
negeri nestapa
mengintimidasi dengan
media dan harta
bersuara kemana-mana
mendalilkan kuasa
baik suami, baik isteri, anak tiri dan ipar
sendiri
baik ibu, baik menantu
dan para sepupu
mereka membesarkan
oligarki dengan kuasa partai
Dengan centeng dan
ormas pendengki
mereka memburu
penentang
menindas sampai ke
tepi-tepi
Ada orang kaya di
negeri nestapa
membela diri dengan
harta dan media
bersuara kemana-mana
menutup dosa-dosanya
Berbicara tentang
aturan lupa etika
bahkan lupa peristiwa
ada istri berhenti dari bank lelakinya
karena setia pada etika.
Orang kaya di negeri
nestapa berkata-kata dalam media
katanya sah istri bikin
undang-undang di senayan
yang suaminya
duduk-duduk di gubernuran
menantu jadi raja
pulau-pulau kecil
ibunya menyusun
kekuatan di birokrasi
seperti kaum marxis yg
meludah Tuhan dan para nabi
mereka memberaki etika
merasa menggenggam kuasa
bisa membeli siapa saja
Ada orang kaya di negeri nestapa
dengan harta
mengakuisisi media dan kuasa
membenarkan pasal-pasal
melupakan etika
melafalkan hukum tanpa
adab
mengulang peristiwa
jahanam masa lalu
lupa Tuhan masih
pencatat setia
Seperti Louis tercampak
kepala
seperti marcos terlunta
bangkainya
seperti tuan tanah ditombak
dan dipanah
seperti Firaun hilang
di laut menganga
seperti burung mencabik
bangkai raja
mati terhina!
Ada rakyat nestapa
dibuai orang kaya
jadi pelacur menjual
masa hidupnya
rahimnya penuh bibit
derita
menular kemana-mana
dari nenek, ke ibu dan
dirinya
melahirkan anak-anak
cacat nurani
mengulang peristiwa
jahanam masa lalu
rakyat nestapa sadar
pilihannya menipu orang kaya secara kecil-kecilan
tapi lupa orang kaya
menipu besar-besaran seluruh silisilahnya
tubuh bau nanah,
anak-anak dormancy kurang vitamin
hidup menadah dan mengutang
Lupa Tuhan hanya
menepati janji
pada keturunan keempat
dan kelima yang taat etikaNya
bukan kepada penjual
derita
Ada orang kaya punya
kuasa
ada rakyat nestapa
sama-sama mengugurkan
etika
Sumber bacaan:
Jamil, Hidsal. 2013 Trend Negatif Indeks Gini Indonesia dan Indeks Entropo Theil, Bukti Ketimpangan Ekonomi di Tengah Kebanggaan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah RI. Sebuah Opini.
Karmana, H Maman. Ivonne Ayesha dan Sri Hery Susilowaty. Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem.
KH, Ramadhan. Ladang Perminus. Sebuah Novel.
Todaro, Michael P. 1998. Pembangungan Ekonomi Dunia III Jilid 1. Penerbit Erlangga.
Hessi, Rethna. 2009 Analisis Produksi dan Konsumsi Beras Dalam Negeri Serta Implikasinya Terhadap Swassembada Beras di Indonesia. Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor