Aku mengucap syukur pada Tuhan. Meskipun tak banyak, paling tidak di tiap bulan sejak pertengahan tahun 2015 sampai sekarang ada saja puisiku yang dimuat media. Seperti di minggu-minggu penantian selama Februari ini akhirnya terjawab oleh Majalah Suara HKBP, Majalah di bawah naungan Gereja Protestan dengan jemaat terbesar di Indonesia ini.
Sebelumnya aku tidak tahu bahwa HKBP sudah menerbitkan sebuah majalah yang ternyata memiliki layout dan tata sampul yang sangat bagus. Bermula dari perkenalanku lewat facebook dengan Pak Hotma Di Hita Lumban Tobing, penulis senior yang saat ini bertugas di Kementerian Keuangan. Beliau Penulis cerpen tahun 70-an di Rubrik Sinar Remaja Harian Sinar Indonesa Baru (SIB), Waspada dan Harian Analisa Medan dan sampai saat ini masih semangat menulis. Meskipun baru beberapa bulan berkomunikasi dalam dunia maya, keakraban kami cepat merambat ke perbincangan lewat SMS dan Telepon. Kami banyak bertukar pengalaman dan cerita soal dunia kepenulisan, soal kehidupan beragama di kalangan etnis batak, soal kehidupan keluarga dan soal apa saja yang bisa jadi topik perbincangan. Dari percakapan itu terbersit juga bahwa beliau di sampin aktif menulis cerpen, opini dan kadang puisi di berbagai media ternyata juga mendapat tanggung jawab sebagai salah satu anggota Redaksi Majalah Suara HKBP. Meskipun majalah tersebut sudah terbit selama 12 tahun, ternyata minat jemaat untuk menyumbangkan tulisan berupa opini, cerpen dan puisi sangat rendah. Alhasil, majalah tersebut sampai saat ini lebih banyak diisi berita aktivitas gereja resort, aktivitas Distrik dan terutama aktivitas ephorus. Opini lebih kerap diisi oleh redaksi secara bergantian. Padahal menurutku Tampilan majalah ini tak kalah dengan layout majalah Forum dan Tempo. Barangkali sangat kurang dorongan dari parhalado, khususnya pendeta dan guru huria mensosialisasikan kehadiran majalah ini.
Sebelumnya, akupun agak segan mengirimkan puisi ke majalah ini karena dalam pikiranku puisi-puisi yang diterima hanya yang berbahasa Batak sedang diriku sangat sukar menulis puisi berbahasa batak. Di sampin itu aku pun bukan lagi jemaat HKBP tetapi sudah 19 tahun jemaat GKI Sumut Medan. Tetapi setelah Pak Hotma mengirimiku beberapa majalah tersebut yang pernah terbit, kutahulah bahwa majalah ini majalah berbahasa Indonesia, meskipun juga sesekali ada puisi dan cerpen berbahasa batak. Lalu aku menyatakan minat mengirim puisi ke majalah Suara HKBP. Puji Tuhan, pada Edisi 128/Februari 2016 Tahun XII ada beberapa puisi yang dimuat. Puji Tuhan juga, begitu kabar gembira yang kuterima ini kusampaikan juga dalam laman facebook, ito Marina Novianti, salah seorang penulis wanita Batak yang cerpen dan puisinya bertebaran di banyak media bahkan sekelas koran Sinar Harapan, Koran Tempo, Tabloid Nova dan Majalah Horison menyampaikan niat ingin berbagi karya di Majalah Suara HKBP sebagai bagian menjadi garam dan terang dunia, khususnya etnis batak. Semoga terwujud.
Di bawah ini salah satu puisiku yang dimuat berjudul "Orang-Orang Bersaksi" seperti yang saya sampaikan di bawah ini. Dan seperti yang sebelumnya, puisi yang kutampilkan berbeda dengan versi majalah oleh karena perenungan lagi, selalu muncul keinginan mengubah diksi agar semakin cocok menurut nilai rasa kataku.
ORANG-ORANG BERSAKSI
dari puncak dosa ia tenggelamkan
buah kejahatannya ke sungai penyerahan
tempat tiap orang mencebur masa lalu
seketika merasa terbasuh
pulang menggadang jubah tuan guru
sepotong bukti tanda didaur dari sampah tercelup
dari satu hati bermutu gerabah
ia gagas hari menggegas sumpah
sekekal dapuk wangi tubuh bertabur bahasa baru
pandai berseru-seru atas nama masa lalu
dikulumnya kesangsian di mata tertuju
tak ada yang mempersoalkan seperti apa bayang-bayang kelam
pernah berhamburan memagarnya
sekarang
sebagai saksi mujizat mengaku terpugar dari kusam abad lalu
seperti berkah tenggelam di sungai pembuangan
dari tubuh kelam, lubang dukanya subur menampang
cahaya
yang dipercaya pencari-cari kebenaran di keramaian tempatnya berdiri
hampar tanah terpanggil tempat mengumpul tujuan
hanya orang-orang merasa dipilih matanya
mengaku pasti menerima
di pasar segala perkara wanita
ia pisah-pisahkan buah dan domba mesti berkurban
dalam takaran selayak ia melewati lubang perasaannya
sendiri.
sekaranglah ia panggil dosa dan doa gigih sedaya pekik
bersekutu dari bebal jarak dua kutub
dengan itikad masih saling mengenyahkan
di tangannya tergenggam sebagai penglihatan mujizat
mutasi terkini dari kemustahilan
terterima pula bagi orang-orang terpilih sebagai upah lebih
semakin berani, bahkan ia mulai pandai menulis-nulis nubuat
anak
iseng yang menonton cctv tiba-tiba membisikkan:
“dia
hanya terlihat menenggelamkan
buah
kejahatannya mati di sungai Jordan
buah
yang sesungguhnya diam-diam
ditelan
bulat-bulat sesembunyi perut
sesaat
sebelum ia celupkan penyesalan
bermaksud
ia kecambahkan sebagai delik peneguk ludah
yang tak tahan bergumpal rahasia di perut”
duh, baru saja kepadanya kujual hidup!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar