Sempat berkali bulan Ruang Sastra dan Budaya SUMUT POS hanya mendompleng sajak-sajak dan Esai yang sudah dimuat Harian Indopos Jakarta. Hal ini terjadi sejak Dachlan Iskan mengakuisisi Koran ini. Penggiat Sastra di Sumut mestinya berduka atas peristiwa tersebut. Puluhan tahun Sumut jadi barometer perkembangan Sastra di Indonesia, pelan-pelan menyerah dalam perangkap kapitalisme yang juga merasuk media.
Syukurlah, hal tersebut tak berlarut. Kurang lebih 3 bulan lalu, Redaktur Sastra Koran Sumut kembali merdeka menerima dan menyeleksi karya cerpen dan puisi guna diterbitkan di Harian SUMUT POS. Respon yang cukup positif dari penggiat sastra dari seantero Indonesia. Terlihat dari beragamnya asal penulis cerpen dan puisi yang dimuat Harian ini. Penulis yang juga sudah melanglang buana di banyak media kesohor negeri ini.
Aku yang mendambakan kejayaan penulis-penulis asal Sumut merasa antusias untuk berbagi karya ke koran ini. Kukirimlah beberapa puisi ke hadapan redaksi. Puji Syukur, dua minggu setelah pengiriman, ada 2 puisi yang layak terbit pada tanggal 28 Februari 2016, sebagaimana yang kupampang di bawah ini. Semoga Sastra Koran Tak Mati
PAGI YANG TERKUTUK
sampah mengetuk-ngetuk pintu bibirku
di pagi bengkeng seharum menepi
aku menyumpah
siapa mengirimmu jadi santapan hati
bagi hariku sebuta ini
gigi mencoba bertahan
sedaya kesabaran
kelimpung menahan remuk
tapi serapah tergoda
makin membuta
segala sesal terjerembab gelap
sampai mulutku banjir sampah
hatiku banjir sumpah
meluap luap berbau bangkai
di hanyut segala tabah
HUJAN YANG BERKABAR SORE HARI
mata yang memilah-milah derai dari bulirnya
mata yang memilah-milah derai dari bulirnya
berkehendak menyentak bumi sore itu
tapi linang
terpantul-pantul
tak mampu bergesek di sempit lorong hujan
airmata pertama perdana
pernah kuselip
menengadah iba setinggi gunung
awan
dijatuh bayu tak mempan dirayu
tak ada peninggalan mataku di tempat teratas
terterima mata tuhan
hanya pemancing gemuruh, tak iba
ternganga
perihku mengumpul pada
gumul gemertak ratap
aku cemburukan anak-anak
melambung tawa
patah gelombang tangisnya dipedang hujan.
Bersama lumpur sesal sempurna
terbilas hujan
tak ada kecut sisa mimpi basah tadi malam
dikecup-kecup bahagia
sepenuh lidah mata pedang langit itu
mengucur lagi kemanisan merasuk dada
anak-anak lalu mengemaskan terimakasih
dengan menepuk-nepuk kaki menatah hujan
bebas menarikan perjumpaan
tak terasa jejak sesaat
sudah memadat kenangan
mati gemuruh menggertak keberanian
hatiku pula diamuk gemuruh tak
setulus anak-anak kecil itu
hanya berani menerka-nerka makna semimpi bunyi getir hujan
berkekal tanya paling jerit di sendi
doa takut digodam cuaca.
lihat, air mataku lepas dari gantungan harapan pulang dari pucuk awan
jatuh terisak berkaram tanah hilang selama-lamanya
tuhan betul-betul tak menawar masin sembarang luka
tak membasuh perih tanggung di langit. apa harus kubelasah lagi
cara mendapat hakikat si tua pemeram tanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar