Kepada puisi-puisi Selendang Sulaiman aku banyak berguru tema, diksi, frasa dan metafor. Bahkan beguru diam-diam agar bisa menembus media nasional. Beberapa puisinya di Horison, Medan Bisnis dan Riau Pos dan kedaulatan Rakyat selain kunikmati juga kupelajari.
Lalu beberapa waktu lalu aku mendapat inbox dari beliau. Perbincangan tentang honor di satu media cetak di Medan. Menyusul lagi inbox periode ke-2 berupa perbincangan tentang permusuhan ala anak-anak di kota Pematang Siantar yang disebut 'musuh bub-bab', yaitu suatu kesepakatan permusuhan antara dua anak yang berseteru karena suatu perkara. Kesepakatan dimana seorang anak berhak meninju bagian belakang tubuh musuhnya jika tangan kiri musuh itu alpa memegang bagian siku kanannya dari arah belakang tubuh.
Beberapa hari lalu masuk lagi inbox dari beliau. Prolog berupa percakapan basa-basi khas orang timur lalu sampai ke satu topik bahwa beliau saat ini mengelola rubrik sastra di media online bernama nusantaranews.co yaitu di rubrik inspirasi. Beliau mempersilakan saya mengirim puisi untuk dapat dimuat di media online tersebut. Sebelum ku 'ya' kan, maka kuselancar dulu media tersebut. Ternyata isinya aduhai. Mulai dari persoalan politik dan hal-hal terbaru negeri ini, juga esai-esai budaya beliau sangat bagus dan pantas untuk pembelajaran bagi penikmat sastra dan budaya. Akhirnya kuputuskan mengirim beberapa puisi. Hari Minggu 26 Juni 2016, 3 puisiku berjudul 'RITUS AYAM', 'ASAL-USUL VOLKSRAAD NUSANTARA' dan 'HARIMONTING LELUHUR IBU' sudah tayang di nusantaranews.co/ritus-ayam-harimonting-dan-asal-usul-volksraad-nusantara/
Inilah salah satu puisiku tersebut yang merupakan puisi perdana yang tayang di media online tersebut.
RITUS AYAM
umurmu merasa
berkarat menggempur kehendak waktu
sedang aku menandai tapak putus-putus
di bekas
jembatan nasib, jejak menipis ke pucuk
segala bentuk
kau baca, lupa kepalamu tinggal labirin
kepompong dianginkan
pikiran sia-sia
dinding
keyakinanmu rapuh diguntur siasat.
Jejak mulai
oleng menahan penat bertahun
keberanian
jantungmu sangsi berguru bunyi-bunyi
mengerat kerak lusuh nasib yang melekat peluh segemar kesah
padahal pada
wajahmu akan kupajang
pengakuan bersih
sedatar kaca
menghampar maumu
sampai dipercaya
ingatan jangan lagi
hanya memikirkan
cermin pintar
menggandakan bayangan
membuat sembabmu
yang sedih terlihat mengada-ada
seperti tawamu mengitari
garis tangis
persis licik karat-karat
yang melepuhkan
membangun tabiat
sekuning hina
baiklah jangan
kau percayakan mata dan perasaan
mari kita pergi
menapaki cara moyangku
memaknai
perjalanan musim dari tubuh ayam
kiat temurun
mengungkit mutu waktu
mengungkap nasib karam terbenam dalam
mari seperti aku
meyingkap waktu
menyisir terang
dan gelap umur
bertubuh tampak
sepanjang 17.167 ruas
mari kutunjuk letak umurmu berkalut hitam
kuning jiwa
terancam, buram keluh berdahak
jejakmu terhunjam
pada masa terjebak
kutunjuk dari
sesobek perut ayam ini
terbaca ruas demi ruas bulir panenmu
hanya dengan memaknai usus terburai
lorong nafsumu tertebak
menimbun dusta
gagal mengakali
tanda-tanda
jangan tanya ke
hatimu kerap limbung
biarkan kandung usia terurai di belahan dada ayam
sesaji
seberapa timbul
kelak merambatkan najis nafsumu
atau untungmu sejelas
kapan terantuk batu-batu
upaya panjang
batas-batas kesabaran terlihat dicerna
kuterka pada
bentang 17.167 ruas umurku diagak
pasti tak jauh dari
rongga kepastian itu
tak serumit caramu
menghitung buah pikiran
lebih terukur jarakku
setahun melaju
sebelum almanak
yang kau susun-susun menunjukkan rupa
kutandai
tanggal-tanggal hitam musim bermuram
tanggal-tanggal
merah menyerahkan amarah
tengoklah, terpajang
jadwal senyummu
persis selagak
moyangku memilih musim tiba
hanya dengan
sesobek dada ayam
kutandai musim
tepat membuhul tunas
Medan, 2016
wuiiih keren. ada honornya, pak?
BalasHapus