Dari perbincangan dan dengar-dengaran dengan sesama penulis, beragam pengalaman mereka mengadu peruntungan di Media Cetak kelas nasional. Rata-rata berjuang lebih dari 1 tahun untuk menarik perhatian redaksi. Yang bertuah seperti 'Pedang' May Mon Nasution tak sampai tiga tahun untuk lulus pisau seleksi. Bang Jamil Massa harus bertarung selama 8 tahun baru dilirik harian KOMPAS meski sudah melanglang buana juga di Koran Tempo dan majalah beken lainnya. Bahkan cerita seorang sahabat, ada yang sudah menulis puisi dan cerpen selama 30 tahun tapi masih belum berjodoh dengan Harian Kompas.
Cerita kawan baik saya di dunia maya (menurut beliau hasil percakapannya dengan salah satu kartunis/ilustrator Kompas), bahwa rata-rata Harian Kompas menerima 5000 naskah puisi dan atau cerpen setiap minggu. sedangkan penulis yang laik tampil hanya seorang cerpenis dan maksimal 2 orang penyair. Jadi, untuk dilirik Redaktur memerlukan keunikan, kebaruan, kekuatan tema, tentunya juga kesabaran, kegigihan dan ridho Allah.
Maka tentu saja aku langsung memekikkan, "Luar biasa anugerah Tuhan buat saya" begitu membaca pesan inbox Bang Jamil Massa dan Anfalah Mulia yang mengabarkan ada dua puisi saya dimuat di Harian Kompas Sabtu 4 Juni 2016. Jantungku pun berdegup kencang, perasaan seperti orang melayang. Perjuanganku belumlah apa-apa dibanding banyak para senior yang menurutku juga luar biasa hanya belum mendapat tuah dariNya. Berjuang 3 tahunan, 12 kali mengirim puisi, Tuhan sudah melayakkan diriku lewat pisau seleksi redaktur yang mumpuni. Dari 12 puisi yang saya kirim pada kali ke-12 pengiriman, akhirnya 2 puisi yang berjudul 'KEMATIAN HANG DI PAYAU DELI' ynag bertema lingkungan dan budaya Pantai Timur Sumatera Utara yang terancam serta 'CATUR VOLKSRAAD NUSANTARA' yang bertema situasi para politikus negeri ini dilirik Bli Putu Fajar Arcana. Terimakasih untuk jerih payahmu dan ketulusanmu menilai Bli.
Inilah puisi tersebut:
KEMATIAN HANG DI
PAYAU DELI
1)
para
tengku bersama hulubalang
barangkali
juga angin keramat
selepas
tumbuh musim berburu laba
jatuh
dibabat penyusup bernafsu pengerat
babah
dan tuan kota pandai menyimpan rupa
memetik-metik
rancak gelegak ombak
dihempang
di kubang melintang
memetiki
kelong, merongrong parang garang
gedebum! sejak kerontang jadi arang
rumah
panggung malu berkaki panjang
diserbu rayap bersayap gemerincing, berhati kering
petuah
di tiang datuk dihempas berguling-guling
raungnya diraun-raun pantun
ikan-ikan
gagal menanam silsilah
pulang di tengah musim
bersama
arus-arus pembawa kepiting
dipalang dada tanjung
terusir
ke seberang
punah
di palung
2)
payau
segera mengubur rupa
dibunuh
berbatang-batang hantu perantau
dibawa
pemuja musim khalwat
tenar
sekarang bergelagat di baris pantai
cepat
dan pandai mengisi pundi
menguras
masa lampau sekukuh mpu
penghulu
ikut terpukau
pemburu
laut ramai-ramai diserbu racau
dirasuk
pelarian hantu bakau
Hang
pun terkurung malu
gagu
di lorong lereng karang
berjaga
tak segigih pasukan kekar pelebur debur
sia-sia
menunggu peziarah bertandang
siapa
orang kampung kagum memandang
kalau
tak bisa berkacak pendekar
sejantan
dua pemarang memuncak perang?
pendekar hanyalah nama tafakur
jika
terhuyung membawa takdir
tinggal tulang bergelimang gamang
pelan-pelan
dikikis habis gerimis tangis
pengakar
itikad sepanjang lengan
kekal
bermusim-musim menyekap perjalanan selat
menggantang
cermat rampasan sebunting tandan
seramai
armada bertaji maut, serakus gerigis bergelut
menyeruput
kering air tubuh negeri gagah
terkubur
si buyung lupa berniat laksamana
3)
selagak-lagak
lanun berguru di pangkal
tuan
Demang ikut berakal dangkal
serupa
koloni tumbuh bermuslihat nakal
sepakat
meliang-liang maksud menggoyang hikayat
sunguh
tak disangka pendek tirakat
nakal
berbisik-bisik mengguling Hang
menggulung jasadnya
serahasia payau hilang
lihat,
mesti banyak serempak doa berkalang
dalam
sekejap tak ada kubur penanda maut dapat kau susur
ombak terperangkap tak mau menunjuk sisa bencana
di
tanjung yang kau pikir asal hikayat
hanya
kabar-kabar burung mati mengapung
penghulu
kampung takkan membawa sesaji
tanda
sepakat menyanjung ruh jembalang laut
menghujat
Hang dan laut sekedar penepi
pecahan
sekutu ombak tak setia di musim maut
penyebab
lambung sekampung borok berkarat
tak
patut disanjung, sebab menggiring
hanya
sekerat berkat dapat dijerat
di
muara ramai pengerat
pada
koloni menggantung pundi berikat-ikat
tuan
demang, penghulu dan sekampung sungguh
kepincut
genap
menyerah sembah, mau dipasung
mengusung-usung mimpi
gadis-gadis penunggu emas pun rela menanggal cemas
bosan menunggui Hang berjuang tiba
pulang
paling merayu di pantun purnama
CATUR VOLKSRAAD NUSANTARA
menabalkan akal, duli mengangkat kuli
raja tuli memungut siasat Sisah
percaturan satu
serdadu dituntun jadi
tujuan
tujuh bidak jelata sudah kurban membuka jalan
dua gajah mati di
sisi petak satu dan delapan
dihimpit
benteng idaman di langkah
sembunyi tiran
delapan tumbal gugur satu-satu
menggenapi sejarah jengah rubuh
masa lalu
tak satu sempat
menagih-nagih
janji semusim upah
di atas dua barak
rubuh, dikubur para serdadu
tumbuh kastil penggiring penjuru
bidak tanggal belulang dikurung waktu
raja berkilah itu menara dituju
jelma
kemakmuran upah serdadu
dua tempat raja dan ratu bercumbu
di dua persil menteri perdana memetak ragu
bermain umpet dan
dadu
menakar-nakar
peluang tak tentu
dikawal dua jago tega
sekebal batu penjuru
berkuda inkarnasi bayangan
tak nampak murung mesti dibedaki
mata berlinang tak melarung daki
hitam-putih di petak tampak tumbuh serasi
sudah punah dataran
hijau-kuning
dua raja di luar
kastil akur bermain
seluncur kalbu
mengulur-ulur waktu
dalam perang tak
kalah-kalah menunggang ragu
kemenangan tak jadi mangsa diburu-buru
dipakat cincai
separo-separo
Selamat bro!
BalasHapusTrims Bro Oyes
BalasHapusbetapa penantian yang panjang, ya, Pak.
BalasHapussalam kenal, saya cerpenis pemula dari medan
Wah hebat benar Abang ini. Saat kirim dua puisi itu Abang sebenarnya kirim brp puisi?
BalasHapus