Ada beberapa hal yang mendasariku untuk semangat mengirim puisi ke SUMUT POS. Pertama, Koran ini sejak awal tahun 2016, telah memberikan ruang sastra yang mandiri dalam separuh halaman untuk puisi. Tahun 2015 koran ini masih menampilkan puisi-puisi yang dimuat oleh Harian Indopos, sesama group Jawa POS. Patut saya acungi jempol perjuangan Redaktur Bang Ramadhan Batubara hingga bisa mandiri memilih dan memuat puisi di Ruang Hari Puisi yang diasuhnya.. Kedua, koran ini juga lumayan menghargai jerih payak penulis, dengan mengirimkan sagu hati ke rekening penulis, tanpa perlu penulisnya merengek-rengek. Hanya beberapa koran yang saya ketahui mau mengirim sagu hati tanpa perlu konfirmasi berulang penulisnya yaitu Kompas, Koran Tempo dan Koran Sumut Pos ini. Ketiga, karena ini koran yang terbit di Sumut, secara emosional aku akan selalu tergerak memberi sumbangsih untuk meramaikan khazanah sastra orang Sumut.
Maka demikianlah dasar maksudku mengirim puisi di SUMUT POS dan telah dimuat redaksi pada Minggu 28 Agustus 2016. Ada 4 puisi yang dimuat, yaitu SEPASANG CINTA MENGGENGGAM DENDAM, MENUNGGU USIA IBU, SEHARI SEBELUM SABBAT BUNGSU dan TAK PUTUS DIRUNDUNG MALANG. Saya tampilkan salah satu puisiku tersebut di bawah ini
MENUNGGU USIA IBU
:83 kalender
akibat sejak muda tak pandai berhitung
tak faham berapa sanggup menyimpang peristiwa
ibuku
bingung di loker mana ingatan bersisa
kenangan tinggal cita-cita setungkul
lupa wajah-wajah pemamah buah
menuduh tuan rabbi rampok
hendak menggunting usia
bisa tiba-tiba mencari-cari anak terkasih
yang sungguh sesunggukan
di
depannya
mengaduk-aduk hati tertusuk
di hari lain ibuku menenung
bagai pertapa agung
kupikir
saatnya masuk pintu pikirnya
barangkali terbuka
ingatan mengayun-ayun palungan
mulailah kuminta setandan berkat
bekal ajimat di itikad
tapi ibu tertawa menujukku si dungu usil
lancang memperburuk wajah murung
menggagalkan percik kenangan
siapa ditenungnya,
mengapa ia murung
membuatku benar-benar mutung
sebentar ia memanggilku anak
sulung
sekejap mengumpatku kisanak buntung
mengeja ruang hatinya ia
pun bingung
ragu dimana bilik dendam, bimbang menunjuk bilik kalam
tangan memapah dihujatnya beludak bersiasat
masa lalu dipandangnya teramat buram
hingga di suatu hari ibuku begitu ramah
bercakap-cakap tabah, bermata merekah
fasih menyebut kata-kata tuah lama senyap
seperti membisik sesuatu pada kenangan terkarib
kutanya kepada
siapa ia mengucap-ucap
“ayahmu mengajak dari masa lalu
mengejekku terlalu lama mengusung-usung waktu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar