Meski media cetak secara normatif menyebut bahwa rata-rata waktu tunggu terbit sebuah karya yang dikirimkan 1 sampai dengan 2 bulan. Namun ada beberapa kali karyaku baru dimuat oleh surat kabar lebih dari waktu tunggu tersebut. Salah satunya adalah puisiku yang dimuat tanggal 9 Januari Tahun 2016 di Harian Suara Karya edisi Sabtu ini. Seingatku puisi yang dimuat tersebut sudah saya emailkan ke Redaksi sekitar 5-6 bulan lalu. Saya tak ingat lagi tanggal pasti puisi tersebut saya kirim. Email pengiriman sudah saya hapus ketika beberapa puisi saya diterbitkan oleh Suara Karya pada tanggal 22 Agustus 2015. Mengapa saya hapus email pengiriman, dilandasari pemikiran bahwa 3 puisiku yang dimuat tahun 2016 ini takkan lagi diarsip oleh Suara Karya mengingat puisi saya yang terbit bulan Agustus tersebut saya kirim hanya dengan masa tunggu 1 minggu saja. Pikirku, tak mungkinlah pengiriman yang lebih lawas dimuat lagi. Bahkan oleh karena tak berharap puisi tersebut akan dimuat oleh Suara Karya, 3 puisi yang terbit di awal tahun 2016 ini sudah saya lakukan beberapa perbaikan dalam diksi dan metafor. Hasil perbaikan tersebut telah pula saya kirim ke Media lain. Terpaksa saya kirim email penarikan 3 puisi saya tersebut. Pada kesempatan upload blog saya kali ini sengaja puisi hasil editan saya tampilkan pada blog ini agar pembaca dapat melihat perbedaan puisi yang dimuat Suara Karya dengan puisi hasil editan. Sebab saya cenderung akan memilih hasil editan ini jika kelak saya menerbitkan antologi puisi.
Inilah 3 puisiku tersebut yang berjudul "LUKA KATA", "SAJAK SEPASANG-SEPASANG" dan "PANGLIMA TALAM".
LUKA KATA
diperam sedalam luka
kata bersetubuh nanah
beranak
sebanyak tanya
riuh menyumpahi lubang mata
hendak pulang membawa sesal
tak pernah bertemu tali penanda
induk kata mencoba mengingat-ingat
sebanyak tanda baca
pengikat patahan raga
tapi lupa aroma koma dan cara membujuk titik
apalagi menemukan tujuan paling rumit
bagaimana hendak berayun-ayun
dalam doa
jernih terbaca
bingung-bingung menabur-nabur asa
berkelit semirip koma. Diam di pintu paling ragu tak
setitik temu
terkepung gigi, mengatup dendam sedendam-dendamnya
SAJAK SEPASANG-SEPASANG
sepasang
kaki jagoan berkejaran ke bukit tujuan
engkau
pikir itu dua saudara berseteru kejantanan
terpukau
goda untuk saling meninggalkan
lihatlah,
mereka sekedar saling mengalah
menugal
amuk lelah
yang
kau tebar di tiap gigir jejak
hendak kau pancung
kebut semangat
di
tapak jarak mengengah nafas berkucur
sepasang
hati terjaga dipekik ibarat
memerah
tubuh segagap kalap
engkau
pikir itu kembaran disorak-sorak sumpah
memencar
darah ke keinginan terpecah
lihat
baik-baik sampai sedalam cahaya, kupas
matamu yang rapuh
si
cerdik mengahalau racun di lidah berkilah
balik
beriringan ke lubang sesat di sepanjang malumu
takkah
kau lihat sepasang buah zakarmu menerka-nerka
hendak
kau pilih apa terbelah dari batangmu hari ini?
takkah
kau rasa yang lepas dari lubang malumu
gelegak
nikmat atau khianat kian dekat?
kenduri di kampung ibu
menghadang lenggang seratus talam
sebab seribu piring
terhidang menghianati langgam lidah
selalu berkata penyungut di hati sendiri-sendiri
nikmat tak digenggam satu peramu sesaji
berpura dirayu beramai-ramai
diam-diam membusung penusuk
pongah setiap budi terpahat
meski pahit terkabar seperti
gurih remah tercuri dari tiap bisik
sunyi
talam menjunjung
puncak duli
menimang ratu pujian semayam di hati
di hati gampang cemburu
dan gampang mendua
talam setia meniti kenduri menatah tahta lebih 10 tingkat piring
menjaga hati pemabuk kalau memuji
diri dengan telanjang alibi
panglima talam dari pantai teguh
menjunjung lintah para petinggi
tak terjual setengah harga di
kabar terpagi gemuruh pantai
entah di malam hari ada
yang diam-dia menjumput kilau seharga
tertinggi
ketika peminang hati
berkubang segala maksud
pada kenduri di kota
kawanku, di tepian keping talam
berkeliling ruh inkarnasi setengah hati membekal meja
jamuan
sembunyi-sembunyi itikad meneguk
kabar bisik-bisik
siapa tahu panglima talam
mabuk santan
sejak bosan berlagak santun
melepas harga tafsir mimpi
duli dan menteri
demi sepotong dendam rindu meletup
dari bokong
langgam matlumat nasib kenyang
langgam matlumat nasib kenyang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar