Seperti terinspirasi teori bubur panas maka demikian juga kulakoni dalam mengirim puisi. Bubur panas mulai dimakan dari pinggir piring sebab disitu bubur berawal dingin. Baru pelan-pelan kemudian sesendok demi sesendok mulai ditangguk menuju tengah piring. Percaya diri yang tak seberapa membuatku juga mengawali langkah mengirim puisi dari media terdekat. Kumulai dari Harian Analisa Medan. Setelah dimuat, rasa percaya diri naik sedikit, lalu kutuju Harian Medan Bisnis. Bertambah percaya diri, kutapaki Harian Banjarmasinpost, lalu ke Buletin Jejak Forum sastra Bekasi, ke Harian Go Cakrawala, Jurnal Santarang Komunitas Flobamora yang dipimpin Mario F Lawi. Percaya diri yang menaik membuatku mulai berani mengirim puisi ke Media Nasional dan Media di luar Provinsi Sumatera Utara yang kuanggap tingkat kompetisinya juga ketat. Puji Tuhan, meski tidak semua koran yang kukirimi meloloskan karyaku tapi beberapa diantaranya memuat puisiku. Suara Karya adalah koran nasional pertama yang memuat 3 puisiku. Lalu ada Koran Pikiran Rakyat Bandung, Harian Rakyat Sumbar dan tanggal 17 Oktober 2015 ini media kaliber nasional Koran Tempo sudi juga memuat 3 puisiku berjudul 'BERGURU KEPALANG AJAR', 'TAFSIR DUA PEJUANG' dan 'BERHITUNG SETEBAL IQRA'
Beberapa penyair teman facebook dapat kujadikan teladan dalam meningkatkan mutu puisiku. Sebutlah Mas Budhi Setyawan Penyair Purworejo. Selain penyemangat dari kelas usia yang sama, aku banyak belajar dari metafor yang dihasilkan beliau yang selalu berhasil menemukan diksi yang pas untuk analogi puisinya. Lalu dari orang muda aku juga banyak belajar, seperti dari Maymoon Nasution yang sudah menemukan jati diri pada diksi 'begu', 'podang' dan 'datu yang selalu dimuat Harian Kompas'. Dari Muhammad Asqalani eNeSTe sudah sudah menerbitkan 4 Buku Antologi Puisi, aku belajar keberaniannya memakai diksi spontan dan seperti gol yang tak terduga dalam sepak bola. Dari Marsten L Tarigan, aku belajar gelora puisi anak muda yang matang dalam tema dengan diksi mempesona. Dari Marina Novianti aku belajar ketekunan mengamati situasi dan mencermati pengalaman yang dipadatkan menjadi puisi manis. Dari Mario F Lawi dan Cyprianus Bitin Berek aku belajar memakai kata-kata alkitabiah yang mempesona jadi puisi dan memudahkan pemahaman manusia tentang sebuah dogma. Dari penyair idola WS Rendra dan Chairil Anwar aku belajar menulis puisi dari situasi politik dan sosial terkini yang mesti dipuisikan. Dari Joko Pinurbo aku mulai belajar berhumor dalam diksi meski dalam tema memilukan. Dari Hana Fransisca aku belajar pesona diksi keseharian seperti bumbu dapur yang jadi wah di tangannya maka kucoba kuikuti menjadi diksi rimba yang akrab dalam pengetahuanku. Lewat karya Seorang Nurul Ilmi Elbanna aku juga belajar frasa yang sedap didengar dan diucapkan. Dan banyak lagi penyair yang kuanggap beken pantas kuteladani seperti Yudhistira Massardi, Sapardi Joko Damono, Dami N Toda, Remy Silado, Hasan Aspahani, Ook Nugroho, Endang Supriadi, Kiki Sulistiyo, Abu Nabil Wibisana, Isbedy Z Setyawan, Ramoun Aopta yang sering terbuai aku membaca puisi-puisi mereka. Semoga di umur 47 tahun aku masih dapat menyerap ilmu berpuisi dari mereka.
Inilah 3puisiku yang dimuat oleh Koran Tempo
BERGURU
KEPALANG AJAR
: ke negeri singa
1/
kutuju batu penjuru
batu terpungut dari babel itu
beranak tinggi dipercik peniru
kamilah terpendam pukau
yang silap-silap berguru kalbu
2/
hingga di bugis street
kutebus tubuhku berdada singa
seharga dua sesat pikiran
berendam amuk perasaan
jatuh semuka
seperti tandan semangsa
3/
dari Little India peluh inang
subuh mengumpul-ngumpul remah
sebelum senja disusun jadi siasat kaum
papa
sim salabim tiga tukang sulap
menujumnya sewaktu gelap-gelap
dijelmalah semacam rejeki
senilai terbeli nasib di pekan negeri
4/
ke orchad, semeja interniran
mendongak-dongak kepalan
terungkit bagai duli kehormatan
tapi matanya sehina lapar
bagai kaum gemar bercemar
penjual siapa saja demi apa saja
5/
sampai di sentosa anakku terpulau
cerita
demensia batu moyang
dikupak seharga remah
besarlah ia kelak tak tahu amarah
selempar batu ke seberang
laut moyangnya terjerang
Medan,
September 2015
TAFSIR
DUA PEJUANG
kau jelmakan tangga
untuk menyebut semangat dikebut
merekat serpih patah tulang belikat
pintas lenguh pikirku menempuh.
bukan, bukan kataku. hanya penggoda
benihku petarung hendak disesat
lalu jubah bertabal nama itu
tersebut marwah kau berikan
sungkup ke luka panjang moyang
upah perih tubuh tabahku berkurban
buuukan, buuukan gagapku. hanya pesolek
kelak rupa laluku lesap
kau kembang ranjang sepetak itu
menyebut-nyebutnya tujuan amin
hentian keluh mengaduh
buuuukaaaan, buuuukaaaan hardikku.
hanya semimpi
pasti
merayuku senyap
Medan, September 2015
BERHITUNG SETEBAL IQRA
aku hendak faham sepanjang apa aksara mengikat ruh
selembar kata kutempuh, sekejap kau cemas
belum kusebut soal khatam cinta
semakna
kau bilang aku pasti tertawan sekat
paling rahasia
pucuk yang tak faham persembunyian
ikhlas
akupun jadi enggan menghubungkan niat
kepada tanda baca
seperti memanjangkan tali seutas
dengan ketabahan mudah retas
katamu pula surga terbuka bukan sebab panjangnya
kusambung suara
tapi setipis-tipis perut menapis ingin
sampai angin tak mampu mendesis
kalau mau tercurah Amin
tapi aku bukan berhajat mengguruimu
Tuan!
Medan, Januari 2015
Dalam sekali makna puisi Bresman ini. Aku salut bangat. Darinya aku belajar bahasa Indonesia. Selamat berkiprah lewat tulisan.
BalasHapusTerimakasih Mata Bening Bigcity. menyemangati saya untuk belajar frasa dan metafor yg mengindahkan dan memaknakan puisi
BalasHapus