Rencanaku mau lihat karya sastra apa yang dimuat di Rubrik Rebana adalah pada hari Minggu dini hari sekitar pukul 00.30 WIB. Namun aku ketiduran kira-kira sejak sabtu 24 Oktober pukul 23.30. Begitu terbangun di minggu pagi sekitar pukul 6.30 WIB, maka bagai tersentak segera kucari smartphoneku ingin mengetahui karya siapa saja yang dimuat di rubrik Rebana, baik puisi, cerpen dan esai. Sebenarnya tak berharap bakal ada puisiku yang dimuat, mengingat puisi yang kukirim pada bulan Agustus 2015, sebagian besar sudah dimuat pada Bulan September 2015. Di bagian atas rubrik Rebana terpampang 3 puisi Boegies O Sonhodor. Begitu mataku tertuju pada puisi keempat, ouww berbinarlah retinaku. namaku ada terpampang, lalu di bawahnya tertulis juga judul puisiku. Demikian juga di puisi ke lima, ternyata masih milikku. Pada tanggal 25 Oktober 2015 ini ternyata ada 2 puisiku yang nongol. Terimakasih buat Redaktur yang telah berjerih pikir dan tenaga dalam menyeleksi dan memutuskan memilih 2 puisiku tersebut. Puisi yang masih bertema politik dan kritik sosial. Inilah Puisiku tersebut masing-masing berjudul 'PRIMUS INTERPARES PICISAN' dari pengiriman sekitar bulan Agustus 2015 dan 'KEPADA PARA PEMBUAL' hasil pengiriman puisi sekitar bulan Mei 2015.
PRIMUS INTER PARES PICISAN
Sedikitpun kami tak khawatir roda ini mangkat
berputar
membunuh nasib dan keberuntungan. ada dan tiada selalu berulang
ditiap
kami hidup dengan nafas seharga sama. tanpa menghitung berapa jarak
harapan dan putus asa yang sudah berlalu
toh tak berbeda jauh
gertak dan iba yang ditentangkan. tiap kami
menangis
senasib
sepenanggungan hidup pun selalu beruntung
kami khawatir beribu-ribu waktu berlalu.
Roda berputar
lupa dihitung berapa kali menangis dan tertawa.
di pusat sumbunya rasa sakit tak pernah hilang
terdengar dari ratapan
penunggang dan
penumpang berganti dengan marah yang sama.
bertentang tanpa iba menyesatkan perjalanan
dari jarak tercatat.
lupa keberuntungan. roda berputar jauh melaju
tak bisa kemana pulang apalagi bertemu
harapan.
KEPADA
PARA PEMBUAL
Masihkah kau
mainkan pertanyaan usang itu:
“yang paling merdeka silahkan mematahnya mati”
lalu satu persatu pencemooh pulang membiarkan
tawananmu dalam jerat
meninggalkan batu rajam sebagai tanda malu.
menghimpun kemudian sebagai mezbah sesembahan.
engkau kan bukan penanya tua itu yang bebas dari
debu tubuh
bebas dari jejaring lusuh di rambutnya menjerat
kepolosan dan
semua kesempatan. lafalmu terbata
menandai kau peniru bukan
sempurna titah paling suci dari semua derajat
hapalan
baumu dipercik wewangian murah para sundal,
memperjelas selidik
engkau bukan juga sufi mendapat nubuat, apalagi nabi
penunggu tuaian sebagai tawanan terikat.
mereka rapal sepenuh ingat
mereka catat mana yang tak tepat
tak hanya dia, engkau dulu yang pertama disesah
kalau kau tak percaya,mainkanlah pertanyaan usang
itu
di ujung umur kau kan mengangguk:
penjerat sudah terjerat
Medan 9 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar