Pertama kukirim puisi ke Harian Rakyat Sumbar adalah sekitar bulan Maret 2015. Lalu dua bulan tak ada kabar berita, membuatku semangat untuk mengirim lagi kali kedua beberapa puisi pada sekitar bulan Juni 2015. Lewat 2 bulan tak ada juga kabar berita, kukirim lagi puisi ketiga pada bulan Agustus 2015. Lalu pada tanggal 11 September 2015, Redaktur mengirim email padaku, meminta konfirmasi dari seluruh puisi yang kukirim pada pengiriman kedua mana yang sudah dimuat media lain. Dalam email itu redaktur menyampaikan bahwa Harian Rakyat Sumbar tidak akan memuat puisi yang sudah dimuat media lain. Apabila puisi yang saya kirim tersebut belum pernah dimuat media lain, maka akan dimuat oleh Harian Rakyat Sumbar pada tanggal yang ditentukan kemudian oleh Redaksi. Lalu saya sebut dalam balasan email, ada satu puisiku berjudul KUNCI cinta yang sudah dimuat Harian Suara Karya Jakarta. Selebihnya belum pernah dimuat dan kuserahkan keputusan kepada Redaksi. Begitulah proses dimuatnya puisiku di Harian Rakyat Sumbar pada hari Sabtu tanggal 19 September 2015.. Sengaja saya uraikan proses menunggu terbitnya puisi tersebut semata-mata sebagai penyemangat buat rekan yang bercita-cita puisinya dapat di muat di Media agar tidak cepat putus asa apabila dalam 2 minggu puisinya belum dimuat media. Tidak semua media yang langsung mendelete arsip email puisi kita setelah satu bulan atau dua bulan. Puisi email keduaku baru dimuat 3 bulan setelah pengiriman.
Dibawah ini saya muat dua foto koran oleh sahabatku Pak Ahmanuddin Bayer, temanku sesama Rimbawan yang bekerja di Balai Pengelolaan DAS Agam Kuantan Padang. Aku meminta tolong pada beliau sebab Harian Rakyat Sumbar sampai hari minggu tanggal 20 September belum juga memuat foto lengkap dengan nama penulis puisi, cerepen dan esai sebagaimana biasanya tiap minggu. Beliau juga berbaik hati akan mengirimkan koran versi cetak padaku. Aku sungguh bersyukur pada Tuhan Maha Esa telah memberiku kesempatan bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan, sehingga punya teman-teman yang baik hati dari Sabang sampai Merauke yang sudi kuminta tolong mengirimkan koran cetak yang memuat karyaku.
Inilah puisiku dalam versi JPEG dan tulisan asli
KISAH SEBIJI FICUS
bermula sebiji ficus terdampar
terhempas
angin cemburu
kemana pun lupa jalan pulang.
saat
langit terbuka panasnya tak terkira
ia
terdampar ke mulut bebatuan. tapi tak lama
seekor
Lutung gila mengeratnya
menggores
garis-garis kilaunya
bertanda noda
tercampak ke balik benua
sebatang
inang menjanda memungutnya
karena iba
sepenuh
usap
dan menimang
tercapai
maksud mimpi jauh
terbang dari negeri muasal
sejak itu dirinya
pun ditanam sebagai keluarga
sebatang
inang mengajar
tega mengkhianat
budi
membunuh
rasa ke jalan sempurna pengorbanan
penampakan
hidup
ikhlas tak ada pewarisan
sekejam
tabiat memecah benak
tanpa dendam.
untuk tetap ada.
dengan angin yang mahir
berkelit berangkulan
sebagai kawan
demi
menabur
abu inang yang dibakar
di kepala lutung
setelah dibelahnya sempurna jadi dua
semuanya tanpa
amarah. biasa saja.
sebagai
ficus sekarang sempurna tak
perlu kawan
KAMPUNG SUDAH PUNAH
: nelayan dan penambang
di
malam laut mabuk berguling
pasir
hitam tak hendak karam janji
menjerat
pelaut melambung ke pantai riuh
terkutuk jadi batu-batu tinggi
buaian
dewa langit menjejak kaki
mencari-cari
sesaji
di
ranum Jungku
porak
poranda lukanya
tiang-tiang penopang masa lalu
keriput dalam lapuk
dimasin laut
ingatan rubuh tenggelam bersama sunyi
meringkuk menahan perih
dalam sedih
semakin terasing.
sejak
malam itu satu-satu lelaki membatu
menandai
tahun-tahun putih berkabut
memudar
akar kenangan. luntur
di linang
perempuan
tak gelinjang berahim
gemuruh.
laut cuma tampak saat
berdandan di malam pilihan
menyendawakan
dewa-dewi asing wara-wiri
dari
bingkai pelaut membatu di pantai sepuluh.
satu-satu
kampung raib
karam sebagai sesaji
di
tiap-tiap bulan luruh
Belitung, Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar