Minggu terakhir Bulan Oktober masih membawa hujan suka cita bagi puisi-puisiku. Setelah dapat kabar dari Komunitas Seni Berkabung lewat facebook lewat pengumuman Dewan Juri Lomba Cipta Indonesia Berkabung yang mengabarkan puisiku termasuk diantara 39 Puisi terpilih dari seleksi 1.441 puisi (335 penyair) yang akan diterbitkan dalam Antologi berjudul DI BAWAH PAYUNG HITAM, maka lewat informasi dari Messenger, cerpernis SAM SEMBIRING menginformasikan bahwa ada puisiku dimuat oleh Harian Suara Karya. Aku sempat bertanya-tanya dalam hati puisi mana kira-kira yang dimuat harian itu pada tanggal tersebut, mengingat tak ada kukirim puisi baru sejak 3 puisi telah dimuat Suara Karya pada 22 Agustus 2015. Kejelasan kuperoleh dari info Kang Endang Supriadi lewat FB Sastra Minggu. Kubaca bahwa 3 puisiku dimuat di Harian Suara Karya 31 Oktober 2015 adalah yang berjudul “ KUNCI CINTA”, “LELAKI DI POHON ARA’ dan “YANG BERGURU SEUMUR-UMUR’. Lebih yakin lagi setelah kubuka Suara Karya Online. Surprised, Koran tersebut memuat ulang lagi puisi Kunci Cinta dan Yang Berguru Seumur-Umur. Tetapi tetaplah kusyukuri. Kuanggap saja Suara Karya begitu mencintai puisiku tersebut. Lagi pula masih ada satu puisi yang baru dimuat. Mengingat dua judul yang sudah pernah dimuat sudah kuulas pada tayangan blogku beberapa waktu lalu, maka kali ini cukup kutayangkan puisi LELAKI DI POHON ARA. Puisi yang kutayangkan sedikit berbeda dari versi terbit di Suara Karya karena memang kupikir puisi tersebut tak bakal tayang lagi di Suara Karya sehingga kuniatkan dikirim ke media lain dengan diksi dan metafor yang telah kuperbarui.
LELAKI
DI POHON ARA
siapa yang terkantuk-kantuk
meratapi pohon ara mematuk-matuk kutuk
berharap
menangisi luka bertakik
menggusarkan Musa lalu gampang bersungut
sampai menggusur sepasukan
lebah
agar langit terbuka menabur
sari searoma paling jantan
pengatup berahi carang perawan menganga menahun
berkali bulan hinggap ke peraduan meluruskan
senja
tergaris langit dan laut belum membelah
penantian
lelaki di pohon Ara selalu bersungut sebab tak ada asa dipungut
sepuluh
musim carang rontok,
sepuluh musim daun
bebal
sepuluh
musim putik rubuh berkatup berahi
lihatlah
janggut lelaki itu setinggi
akar memagut
sekukuh penunggu abad berlalu
bibir
telungkup menangkup bulan sabit
renta mengumpat redup dan kuncup
mencemburui tuan Natanael dikukuhkan
penjaga ara setia
hanya sekejap taat dari khianat taman tapi diberi rejeki tertawa
di laut memungut buah mengerut, diberi
azimuth
ke langit.
sedang
dirinya patok kekal dihanyut waktu
di persekutuan lapuk merayu peluh
tak dapat siasat membelah
lolong
masa terjepit
resah mengadu
ke
langit tak bertampuk
Ia kah yang harus menunggu sungut mendahului Musa
menjemput
kutuk sebatang ara yang ingin benar-benar berbagi?
sepuluh
musim berkejaran, sepuluh musim berpulangan
lelaki
di sepohon ara gelap terjerat
senyap
tak pernah ia berpikir jalan itu bukan laluan
guru atau nabi
jalan memanggil si anak luntang ternanti